Estetika
Perpuisian
Abdul
Wachid B.S. dalam Tafsir Hermeneutika
(Bagian 2, Habis)
Heru Kurniawan
Karakteristik
Estetika Perpuisian Abdul Wachid B.S.
Abdul
Wachid B.S. adalah penyair yang oleh Korrie Layun Rampan ditahbiskan sebagai
penyair Angkatan 2000. Adapun buku puisi karya Abdul Wachid B.S. yang telah
diterbitkan dan diedarkan secara nasional ialah Rumah Cahaya (1995), Ijinkan
Aku Mencintaimu (2002), Tunjammu Kekasih (2003), dan Beribu Rindu
Kekasihku (2004). Bahkan, buku puisi Rumah Cahaya dan buku
puisi Ijinkan Aku Mencintaimu keduanya mengalami cetak ulang ke-2 di
tahun 2004.
Secara
menyeluruh, perpuisian Abdul Wachid B.S. mencitrakan puisi yang mempersoalkan
hubungan transendensi, di mana dalam sebagian besar sajaknya memosisikan
aku-lirik sebagai hamba yang sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang
dikodratkan untuk selalu mengingat, merindukan, dan mencintai Yang Maha Indah
(Allah). Suasana yang dibangun dalam puisinya ialah suasana religius yang
berpangkal pada realitas dan cinta. Tema sentralnya banyak
mengangkat tema cinta-transendensi, di mana kegelisahan spiritual sangat
mengental. Perpuisian Abdul Wachid B.S., banyak menyuarakan peletakan
ke-Diri-an manusia untuk selalu bersandar bahkan mungkin menyatukan dirinya
dengan Yang Maha Hidup.
Kesadaran
transendensi sebagai tema sentral dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. yang
terdapat dalam buku Rumah Cahaya, Ijinkan Aku Mencintaimu, Tunjammu Kekasih,
dan Beribu Rindu Kekasihku memiliki karakteristik estetika yang
berbeda satu dengan lainnya. Adapun karakteristik estetika dalam perpuisian
Abdul Wachid B.S. memiliki dua corak, sebagai berikut.
Corak
pertama, karakteristik
estetika sajak Abdul Wachid B.S. memperlihatkan kesan pemberdayaan aku lirik
yang melakukan hubungan transendensi sebagai wujud kegalauan hamba terhadap
realitas. Dalam hal ini, aku-lirik mencitrakan manusia yang memandang hubungan
transendensi karena adanya benturan dari realitas, baik benturan dalam bentuk
kesadaran ataupun pengalaman. Kesadaran akan ketakmampuan memersepsi realitas
atau kekalahan terhadap realitas membuat aku-lirik akhirnya sadar akan
pentingnya hubungan transendensi. Karakteristik estetika sajak semacam ini
banyak terdapat di dalam buku puisi Rumah Cahaya, sebagian di dalam buku
Ijinkan Aku Mencintaimu dan Tunjammu Kekasih.
Corak
kedua, karakteristik
estetika sajak Abdul Wachid B.S. memosisikan aku lirik sebagai manifestasi
hamba yang merindukan penyatuan dengan Yang Maha Tunggal. Pada karakteristik
estetika ini, sajak Abdul Wachid B.S. banyak menyuarakan keinginan aku-lirik
yang selalu memburu cinta, yang membuatnya sangat obsesif ingin bercinta
(menyatu) dengan kekasihnya (Tuhan). Perburuan-perburuan cinta inilah yang pada
gilirannya membuat sajak Abdul Wachid B.S. terkesan profan dan hedonistik.
Karakteristik estetika semacam ini banyak terdapat dalam sajak yang terangkum
buku puisi Beribu Rindu Kekasihku.
Kajian ini membahas nilai estetika sajak Abdul
Wachid B.S, yang terdapat dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku (selanjutnya
disebut BRK); dalam buku puisi ini sajak Abdul Wachid B.S. banyak berbicara
tentang cinta transendensi yang disimbolikkan secara cinta profan. Karenanya,
sajak Abdul Wachid B.S. yang terdapat dalam Beribu Rindu Kekasihku ini
mempunyai perbedaan estetika dari perpuisian sebelumnya yang terdapat dalam
buku Rumah Cahaya (RC), Ijinkan Aku Mencintaimu (IAM), dan
Tunjammu Kekasih (TK).
Identifikasi
Simbol “kau” dan “aku”
Dalam
kata pengantar buku Beribu Rindu Kekasihku, seorang Doktor alumnus
Hamburg University yang berkebangsaan Jerman, Katrin Bandel, mengatakan bahwa
salah satu corak khas yang menarik perhatian dalam sajak Abdul Wachid B.S.
adalah penggunaan istilah “kau aku”.1 Kata
“kau aku” banyak terdapat dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku. Kata
“kau aku” dalam perspektif hermeneutika dapat ditafsirkan sebagai simbol, dan
simbol “aku” ini merujuk pada “aku” sebagai aku lirik, dan “kau” sebagai objek
yang dituju “aku” lirik yaitu “kau” kekasih. Dengan demikian, sebagian besar
sajak Abdul Wachid B.S., merepresentasikan simbol “kau aku” sekaligus merupakan
bentuk sajak yang mengungkapkan segenap pengalaman yang mengendap pada “aku”
lirik.
Ungkapan
yang direfleksikan “aku” dalam sajak Abdul Wachid B.S. sangat kentara
dengan ungkapan perasaan kecemasan, kegelisahan, kecintaan, dan kerinduan
“aku” kepada kekasihnya “kau”, seperti terdapat dalam sajak berikut ini.
Beribu Rindu
Kekasihku 2
dari
cakrawala yang
tak
sepenuh kumengerti
aku,
hayati : se-jati
cahaya
wajahmu membayang
malam
semesta sama suara
menyebut-nyebut
namamu juga
kebisingan
siang di mana aku
antara
mengenal dan gagu
seperti
mataair di tengah jazirah
menunggu-nunggu
datang orang istirah
matamu
mataair seluruh gelisah
menerka-nerka
aku takjub menjarah
demi
cintamu yang bijaksana
bertanya
lagikah surga neraka
beribu
rindu
kekasihku
seperti
panorama maha sempurna
matamu
cakrawala
yang
datang dan pergi
yang pergi dan kembali
merengkuh
seluruh aku
2003
Sajak
di atas mencitrakan kerinduan dalam percintaan “aku” lirik dengan “kau”
kekasih. “Kau” kekasih mencitrakan “se-jati”, yaitu “kau” yang
transendental, dan “aku” yang “hayati” hidup yaitu manusia yang hidup
dalam kehidupan nyata. Ada perbedaan mutlak antara “kau” dan “aku”, dan
perbedaan itu bersifat esensi, sama dengan perbedaan hamba dan Tuhannya, atau
perbedaan antara surga dan realita “/Tapi kau adalah kau/Dan aku adalah aku/Kau
aku bersepakat dalam kita/ Hingga tak berjarak surga-realita/” (sajak “Rumah
Gunung”, BRK).
Hampir
sebagian besar sajak Abdul Wachid B.S. mencitrakan hal yang sama, “aku” lirik
menempati dirinya sebagai hamba, dan “kau” kekasih menempati dirinya sebagai
Tuhan. Karena itu, suasana cinta, kegelisahan, dan kerinduan dalam sajak Abdul
Wachid B.S. berpangkal pada hal-hal yang bersifat transendental.
Lebih
merenik, cinta dalam estetika sajak Abdul Wachid B.S. terasa benar menyuarakan
pemujaan “aku” sebagai hamba kepada Yang Maha sebagai representasi atas cinta
yang tujuan utamanya adalah penyatuan, tersebab “merengkuh seluruh aku”
sehingga “/Kau aku bersepakat dalam kita/ Hingga tak berjarak surga-realita//”.
Di sinilah sajak Abdul Wachid B.S. mengungkapkan kerinduan yang demikian kuat
seperti dalam bait sajak ini:
…..
selalu
saja diammu
memanggil-manggilku
dengan isyarat
menerka-nerka
aku dalam lugu
hingga
rindu menengadah sekarat
…..
(sajak
“Hingga Bergetah Ruh Ini”, BRK)
Kerinduan
inilah yang menyebabkan “aku” lirik ingin sekali bersatu dengan “kau”
kekasihnya (Tuhan). Kerinduan seperti ini dicitrakan pada sajak Abdul Wachid
B.S. dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku, kerinduan ingin bertemunya
seorang hamba dengan Tuhannya. Kerinduan dalam sajak Abdul Wachid B.S.
sedemikian menaklukkan karena kenyataannya “aku” dan “kau” adalah dua realitas
yang berbeda. “Kau” sebagai kekasih yang serba Maha berdiri dalam Realitas
Imani, sedangkan “aku” adalah realitas empiris yang tidak bisa menjangkau
Realitas “Kau” (Tuhan) sehingga kerinduan “aku” lirik dalam banyak sajak Abdul
Wachid B.S. melahirkan “kesakitan”. Tetapi, kesakitan yang disebabkan oleh rasa
cinta itu dipersepsi dan diposisikan oleh “aku” lirik sebagai sesuatu yang indah:
“/selalu saja cintamu/ menajamkan duri-duri sunyi/ menusuk-nusuk seluruhku/
hingga bergetah ruh ini// hingga bergetah ruh ini/ kekasih/ kesakitan
tersebabmu ini/ nikmat sekali/”
Dimensi
lain dari citraan “kau” dalam sajak Abdul Wachid B.S. adalah merepresentasikan
“kekasih” yang bersifat feminin. “Kau” identik dengan “perempuan” yang dipuja.
Karenanya, dapat ditafsirkan bahwa pemberdayaan “kau” sebagai kekasih yang
“perempuan” memberikan pemaknaan bahwa sajak Abdul Wachid B.S. berisi tentang
kisah percintaan profan. Tetapi, di balik percintaan profan itu dapat ditemukan
percintaan yang Ilahiah, hal ini terjadi di saat “aku” lirik melakukan
percintaan dengan “kau” perempuan, maka “aku” lirik membangun kesadaran bahwa
“kau” yang dicintai adalah manifestasi dari tajalli Tuhan. Hal ini
tersiratkan dalam sajak berikut ini.3
ML
/1/
Mengapa
sengaja memuja
Agar
karam Cinta
Mengapa
mesti birahi
Untuk
sampai Inti
Perempuanku,
dunia megah
Tercermin
pada wajah
Lekuk-liku
bayang tubuh
Semakin
memukau ruh
Lelaki
ini asyik
Heran
pada tarian-tarian
Apa
yang di balik
Satin
kain transparan?
Segenap
indra lena
Saat-saat
lelaki mengikut
Atau
mengangkut mesra
Hingga
gerak takberingsut
Yang
takpernah merasai
Megah
molek wanita
Bagaimana
bisa maknai
Pertemuan
yang takterbahasa
Perempuanku, sekalipun cinta
Kau
bukan tujuan
Tapi
adamu perantara
Pertemuan
demi pertemuan
Ada
yang dilambangkan
Dari
puncak kenikmatan
Ada
yang disembunyi
Dari
tampaknya birahi
Lelaki
takpunya bahasa
Takjub
pada kehadiran
Dalam
penyatuan cinta
Segala
pakaian ditanggalkan
/2/
Mengapa
sengaja memuja
Agar
karam Cinta
Mengapa
mesti birahi
Untuk
sampai Inti
Perempuanku,
jika aku
Buih
mengarungi lautmu
Gelisah
nasibku dipukau
Tanpa
tepian keluasanmu
Kau
dan aku
Senyawa
sekalipun beda
Disatukan
pelukan beribu
Dalam
gelombang, Cahaya!
Maka
aku takada
Kau
saja Ada
Buih
juga takada
Perempuan
: Mahasempurna
2004
Sajak
tersebut merepresentasikan percintaan “aku” lirik dengan kekasihnya (“kau” yang
perempuan) sehingga percintaan tampaknya profan. Tetapi, “perempuan” tersebut
dikatakannya sebagai yang “Mahasempuna”, dan karena itu dapat dipastikan bahwa
“perempuan” tersebut berkedudukan sebagai citra-simbolik dari manifestasi
Tuhan, pasalnya “//Maka, aku takada/Kau saja Ada/Buih juga takada/ Perempuan:
Mahasempurna.”
Mencitra-simbolikkan
eksistensi Tuhan dalam sajak melalui “sesuatu yang bersifat feminin” atau
melalui penyebutan kata “perempuan”, memang banyak diberdayakan dalam puisi
yang bernapaskan sufistik (bahkan sufisme!), dan estetika serupa itu
diberdayakan secara maksimal dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku
karya Abdul Wachid B.S. ini.
Dari
penafsiran ini, sajak Abdul Wachid B.S mengetengahkan sinyalemen ironisitas
paradoksal. Di satu sisi perpuisiannya menghembuskan risalah Cinta yang
transendental, namun di segi lain jika dilihat dari perlambangannya terkesan
bahwa Cinta yang transendental itu tidak meng-Ada, dan justru yang tampak
adalah percintaan profan. Karenanya, sajak Abdul Wachid B.S. seperti sedang
“dalam permainan petak-umpet”, yaitu sengaja menyembunyikan hakikat
percintaan agung melalui kemasan perlambangan profan dan bahkan terkesan
hedonistik. Oleh sebab itu, memaknai perpuisian Abdul Wachid B.S. tanpa bekal
pemahaman filosofis religiositas yang memadai, maka pembaca akan terjebak
kepada pemaknaan cinta profan belaka, percintaan lelaki-perempuan. Walaupun
penafsiran cinta profan demikian juga tidak dapat disalahkan, namun pencapaian
makna melalui perlambangan yang hakiki yang dapat mencerahkan Hati jika
demikian tidak akan diperoleh oleh pembaca.
Memang,
pengemasan tema cinta agung dalam citra-simbolik profan bahkan hedonis banyak
terdapat dalam puisi Abdul Wachid B.S. Di dalam sajak “ML” itu
pun menggambarkan percintaan lelaki dengan kekasihnya: “… //Perempuanku,
dunia megah/ Tercermin pada wajah/ Lekuk-liku bayang tubuh/ Semakin memukau
ruh// Lelaki ini asyik/ Heran pada tarian-tarian/ Apa yang dibalik/ Satin kain
transparan?// Segenap indra lena/ Saat-saat lelaki mengikut/ Atau mengangkut
mesra/ Hingga gerak takberingsut//… “ Namun, jika pembaca lebih dalam
menafsiri ungkapan selanjutnya, tentu akan sampai kepada makna hakiki sajak
tersebut : “… //Perempuanku, sekalipun cinta/ Kau bukan tujuan/ Tapi adamu
perantara/ Pertemuan demi pertemuan//… //Lelaki tak punya bahasa/ Takjub
pada kehadiran/ Dalam penyatuan cinta/ Segala pakaian ditanggalkan//…”
Wanita sebagai subjek sekaligus objek percintaan tidaklah melulu percintaan
yang fisik, melainkan sebagai perlambangan untuk menjagakan percintaan dengan
Yang Mahasempurna (Tuhan).
Pemahaman
citra Tuhan yang feminin dalam sastra ini sesungguhnya berangkat dari tradisi
perpuisian sufisme yang menggambarkan pengalaman mistiknya. Dalam terminologi
ini, Tuhan sebagai Realitas Transendental dimaknai melalui pencitraan yang
indah, dan yang indah itu dimaknakan kaitannnya dengan sifat feminin Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Karenanya, dalam tradisi sastra sufi, Tuhan
sebagai Yang Maha Kekasih dihadirkan melalui citraan-citraan feminin itu.
Dalam sebuah artikelnya, Abdul Wachid B.S. pun pernah menuliskan fenomena ini
sebagai berikut.
Mencitrakan Allah yang feminin (dalam sajak) sebagai
objek afinitas cintanya disebabkan oleh sifat-sifat Allah yang mencurah kepada
penempuh jalan mistik yang berupaya keras mendekatinya agar menjadi
kekasih-Nya. Di antara sifat-sifat Allah itu yang melembaga dalam nama-nama-Nya
dapat diidentifikasi bahwa Allah lebih mengenal diri-Nya sebagai yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, daripada Yang Maha Murka. Sifat pengasih dan
Penyayang adalah konsep yang menjurus kepada citra yang feminin.
Dengan
pemahaman itu tidak berarti Tuhan selalu mencitrakan diri-Nya melalui sifat
Pengasih dan Penyayang-Nya (feminin) saja, melainkan bersifat timbal-balik.
Tatkala hamba sebagai makhluk-Nya yang berupaya menjalankan seluruh aturan yang
bersumbu dari al-Qur’an dan al-Hadis, melalui jalan sufi sehingga memiliki
tujuan utama dari pencariannya, yakni demi mengenal Allah dengan cara yang
sebenarnya, maka dalam keadaan demikian pelaku sufi bertindak secara maskulin
untuk mencari cinta Allah, sedangkan Allah “diposisikan” secara feminin. Begitu
halnya saat Allah mencurahkan kasih-sayang-Nya, Allah bertindak secara feminin;
sebaliknya tatkala hubungan itu dalam konteks pembalasan Allah disebabkan
kemungkaran manusia, maka Allah bertindak maskulin. Namun demikian, menurut
al-Hadis terkenal mengenai singgasana Allah (al-Arsy) tertulis “Sesungguhnya
kasih-sayang-Ku melampaui kemurkaan-Ku”. Di dalam al-Qur’an Allah lebih
sering diulang Nama-Nama-Nya yang menunjukkan sifat kasih-sayang Allah seperti al-Rahman
(Maha Pengasih), al-Rahim (Maha Penyayang), al-Gaffar (Maha
Pengampun), dibandingkan dengan penyebutan nama-nama lain. Bahkan, di setiap
surah dalam al-Qur’an (kecuali satu surah saja) selalu diawali dengan penyebutan
nama Allah Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Yang Maha Penyayang (al-Rahim),
dan bukan nama-nama Allah yang menunjukkan kekuasaan-Nya. Al-Qur’an juga
menyatakan bahwa al-Rahim merupakan hakikat Allah, “Serulah Allah
atau serulah al-Rahman” (Terj. QS., 17: 110).4
Dari
konsep tersebutlah pencitraan cinta Tuhan disimbolkan oleh Abdul Wachid B.S.
dengan “sesuatu” yang bersifat feminin. Karenanya, memahami estetika perpuisian
Abdul Wachid B.S. melalui perspektif realitas empirik mengesankan estetika cinta
profan. Tetapi, di balik penggambaran percintaan yang terkesan profan itu,
ternyata ada dimensi cinta yang transendental, yang memberi pencerahan hati
kepada pembacanya.
Identifikasi
Simbol Profan HP dan SMS
Simbol
lain yang banyak terdapat dalam sajak Abdul Wachid B.S. dalam buku puisi Beribu
Rindu Kekasihku adalah “HP” dan “SMS”. Keprofanan dari simbol
HP (Hand Phone) dan SMS (Short Message Service) ini karena
keduanya merupakan alat komunikasi praktis sebagai hasil peradaban modern.
Penggunaan simbol HP dan SMS ini banyak terdapat dalam bagian
pertama buku puisi ini, SMS Harap-harap Cemas. Dalam bagian ini, hampir
seluruh sajak Abdul Wachid B.S. menggunakan simbol SMS sebagai
judulnya, mulai dari “SMS Biru”, “SMS Putih”, “SMS Semu Merah”, “SMS Pucat
Kapas”, “SMS Sahaya”, “SMS Tak Hingga”, “SMS Pagi”, “SMS Tak Terkirim”, “SMS
Harap-harap Cemas”, “SMS Firdausi”, “SMS Sarie untuk Steve”, “SMS Steve untuk
Sarie”, dan “SMS Rindu”.
SMS
ini
dapat ditafsirkan sebagai media HP yang digunakan untuk mengirim pesan
yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Seseorang melakukan SMS dapat
dipastikan ada keterpisahan jarak. Memang, sajak Abdul Wachid B.S. yang
menggunakan simbol SMS seluruhnya berbicara tentang keterpisahan di
antara sepasang kekasih. Dalam hal ini ungkapan Katrin Bandel benar bahwa
sebagaian besar sajak yang terdapat dalam bagian SMS Harap-harap Cemas ini
bertemakan keterpisahan secara fisik: sang “aku” lirik berjauhan dengan
kekasihnya, dan segala cinta, kerinduan, dan kecemasannya diungkapkannya lewat SMS.5 Akan
tetapi, yang luput dari pemaknaan Katrin Bandel bahwa kerterpisahan “aku” lirik
itu disebabkan oleh dimensi ruang-waktu yang berbeda dengan “kau”, maka SMS menjadi
semacam doa yang terus-menerus dikirimkan, sebagaimana diungkapkan
penggalan sajak di bawah ini:
Bila Hpmu kau matikan
melulu
Lama-lama
padam pula hatimu
Kau
aku tersekat ruang waktu
Lantaran
itu sms kukirim selalu
…..
(sajak
“SMS Tak Terkirim”, BRK)
SMS
dalam
konteks ini menjadi lambang bagi doa yang secara terus-menerus dikirim melalui
“HP jiwa” dari aku-lirik kepada kekasihnya yang “…tersekat ruang
waktu”.
Dalam
sajak-sajak dengan judul SMS, seluruhnya menyiratkan keterpisahan cinta
yang tak mungkin bisa disatukan. Keterpisahan serupa itu hanya bisa terjadi
jika Yang Dicintai dan yang mencintai “hidup” di dua dimensi yang berbeda,
jelaslah yang demikian ialah antara manusia dan Tuhan. Keterpisahan dimensi
inilah yang menjadikan aku-lirik dalam situasi ke-”gila”-an (jadzab)
yang sangat, rindu pertemuan sekalipun sesungguhnya aku-lirik juga mengetahui
bahwa pertemuan di dalam satu dimensi ruang-waktu hanyalah mustahil:
“…//Kekasih/ Telah kau suguhi aku/ Tarian surga di hadapan/ Hingga aku hilang
akal/ Jiwa ragaku menolak sekian pakaian/ Kecuali gila pertemuan” (sajak “SMS
Pagi”).
Melalui
pencitraan profan serupa itu, perpuisian Abdul Wachid B.S. mempresentasikan
cinta yang transendental, diharu-biru oleh kerinduan kepada Yang Maha Indah.
Karena perburuan Cinta tersebut ada keterpisahan dimensi ruang-waktu antara
hamba dan Tuhannya, maka perburuan Cinta berakhir kepada puncak kemaharinduan
sang Hamba. Tetapi, kemaharinduan itu mampu tertembus melalui “sms-sms” doa
seorang hamba kepada Tuhan, dengan cara membaca terus-menerus terhadap
“tanda-tanda” yang dikirimkan Yang Maha Kekasih melalui sinyal-sinyal ayat-Nya
yang terbentang pada diri manusia dan alam semesta. Hal itu sebab Tuhan lebih
dekat dari urat-leher manusia sehingga sebagaimana diungkapkan Nabi Muhammad
SAW bahwa “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Penutup
Dengan
begitu, penggunaan simbol profan seperti halnya penggunaan idiomatik “HP” dan
“SMS”, dan semacamnya, dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak
mengubah arah konsep Cinta Transendentalnya.
Dengan
demikian, keseluruhan perpuisian Abdul Wachid B.S. berbicara tentang cinta yang
transendental melalui karakteristik estetika: pertama, cinta
transendental yang berpangkal kepada kesadaran terhadap realitas, dan
karakteristik estetika ini dapat ditelaah dalam buku puisi Rumah Cahaya (1995),
Ijinkan Aku Mencintaimu (2002), dan Tunjammu Kekasih (2003).
Kedua, cinta transendental yang berpangkal kepada Cinta sekaligus Rindu
kepada Yang Maha Indah (Allah), dan karakteristik estetika inilah yang dominan
kita temui di dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku (2004).
Daftar Bacaan
1Abdul
Wachid B.S., Beribu Rindu Kekasihku (Yogyakarta: Amor Book, 2004), hal.
vii. Ulasan ini ditulis oleh Katrin Bandel, Ph.D. wanita berkebangsaan Jerman
yang aktif meneliti sastra Indonesia.
2Ibid.,
hal. 64-65.
3 Ibid.,
hal. 88-90.
4 Abdul Wachid
B.S. “Citraan Cinta Erotik di antara Estetika dan Etika Cinta Ilahiah dalam
Puisi Sufi-Penyair”, koran Minggu Pagi, Minggu ke-I-III, Juni 2004,
hal 8. Di dalam artikel panjang ini, tentang pencitraan-pencitraan erotik dan
feminin dalam puisi sufi, Abdul Wachid B.S. mengungkapkan argumentasinya mengapa
dalam sastra sufi sering mencitrakan Tuhan dengan sesuatu yang feminin.
5 Katrin Bandel,
“Kangen Tak Terbilang Abdul Wachid B.S.”, dalam Beribu Rindu Kekasihku, hal.
viii.
Biodata Penulis
Heru Kurniawan, lahir di Brebes, 22 Maret 1982. Dia merupakan pengajar di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Menulis banyak buku mengenai parenting, bacaan anak, pendidikan dan pengembangan kreativitas. Dia adalah founder Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK). Dengan RKWK yang dikelola telah mendapatkan penghargaan dari Bupati Batang 2016, Kemdikbud RI 2017, Integritas Taman Baca KPK 2017, dan Gramedia Reading Community 2018.