NYANYIAN BURUNG BELANTARA
Kepada
kawanan burung,
Masihkah
ia ingat
Cerita
sayap di kala masih mungil
Di
atas pulau belantara
Melewati
ribuan warna warni bunga
Deru
cicit yang menggema di angkasa
Dan
ranting-ranting menari
Mengikuti
suara alam
Yang
bersamanya sepasang kekasih
Memupuk
subur cintanya
Dalam
kemerduan nyanyian pusaka
Diiringi
lambaian daun-daun kelapa
Damai
menjadi rumah singgasana
Lantaran
langit masih biru
Membirui
samudera raya
Yang
merekam kisah mungil anak gajah
Bersama
bianglala yang mengitarinya
Tiada
jemu,
Berlari,
memungut buah delima
Lalu
berebut dengan kawannya
Kini
hari semakin larut
Gelap
malam memberikan ruang kabut
Hingga
coretan pada kertas hikayat
Tidak
lagi menceritakan
Kemerduan
nyanyiannya
Juga
pada dongeng ibu
Tidak
terdengar tangisan anak kancil
Sebab
pohon timun tiada yang berbuah
Dan
cacing tanah keluar dari sarangnya
Mencari
nafas yang hilang
Sebab
waktu telah mengalun
Melahirkan
gedung-gedung muda
Di
atas tanah dan air
Tempat
bertengger akar rotan
Juga
tumbuhnya rumput dan jamur
Dengan
rangkaiannya menembus awan
Tempat
burung parkit mengisi hari liburnya
Melagukan
syair kebahagiaan
Untuk
melukiskan senyum
Pada
bibir si yatim
Kini
nyanyian burung belantara
Telah
mencapai batas purnama
Di
akhir liriknya dilukiskan doa
Lalu
menguap bersama
Panas
atmosfer bumi hari ini
Hingga
menjadi titik-titik embun
Lalu
turun di antara hujan akhir tahun
Dan
menumbuhkan akar cita-cita
Sembari
menopang mimpi di atas daunnya
Serta
kuncup bunga yang mengangkasa
Purwokerto, 11 November 2019
SAJAK MENYAPA DI TAHUN KE DUA PULUH SATU
Pada
suatu hari lalu
Matamu
melihat dunia
Ragamu
terjerembab
Dalam
warna-warni semesta
Dan
angin surgawi mengantarmu
Pada
hangatnya musim gugur
Rumahmu
Kini
mentari menyapa
Dirimu
di tahun ke dua puluh satu
Nikmat
dan syukur memenuhi
Larik-larik
sajak usiamu
Sinar
bahagia terpantik
Dari
matamu kian membiru
Teranglah
segala cita dan cinta
Dan
di antara lirik doa
Aku
tidak pernah lelah
Menempatkanmu
pada singgasana
Banjarnegara, 13 Agustus 2020
BAIT SEMESTA
Dalam
alunan pagi
Jalanan
penuh air
Daun-daun
basah,
Dan
angin datang dari sungai
Tujuh
tangkai bunga yang menguning
Siap
meniti hari
Di
bawah rintiknya hujan
Aku
tidak berpikir menemuimu
Sebab
hasta terlampaui panjang
Berderet-deret
menghubungkan tiang-tiang listrik
Di
antara jalan dan gedung tua itu
Malam
ini jika hujan mereda,
Tidurlah
di gugusan sinar-sinar purnama
Biarkan
aku mengelilingi bait semesta
Mendenyutkan
lagu-lagu indah pengantar setia
Purwokerto, 1 Oktober 2018
PERAHU JINGGA
Kala
tangan menggandeng tanganku
Ke
hadapan lesung kayu
Yang
kau sebut perahu jingga
Sutra
pelangi di garis cakrawala
Seketika
berbalik arah lengkungnya
Dedaunan
mencumbui bunga-bunga yang dicintainya
Seperti
kora-kora di taman ancol
Yang
menghapus jejak pilu gadis desa
Barulah
kesedihan yang berlalu lalang
Mencari
jiwa agar ia tumbuh segar
Lalu
aku membiarkan senyumku melayang
Menembus
langit merah sendu
Aku
tahu,
Dirimu
yang bertahun lamanya dirajai rindu
Ingin
bertahta tanpa usai
Dalam
alunan nadiku
Menjadi
melodi
Di
setiap nyanyian hidupku
Kala
tangan memelukku
Mengayun
lembut diri ini
Di
atas perahu sebelum melaju
Selendang
biru ibu bidadari
Membumbung
tinggi menembus angkasa
Membisikkan
ke alam semesta
Bahwa
surgaku
Bersemayam
di bawah kakimu
Banjarnegara, 11 Januari 2019
CERITA SANG
POHON KOPI
Di
antara dahan-dahan pohon kopi
Selalu
berbuah cerita-cerita manis
Dari
sekawan yang selalu lupa dengan tangis
Mereka
seperti riuh ombak
Pada
samudra raya lintas benua
Tampak
indahnya saat sinar emas
Pendar
dari ufuknya
Cubitan
di pipi mungil,
Terbalas
senyum oleh gigi gingsul
Lalu
tarikan pada poni
Yang
melengkung di atas alis
Menjadi
cerita putih tak berdalih
Berkubang
mengakar
Di
pulau melati yang mekar
Sampai
kini akarnya tetap menguat
Pun
ukiran tertanda pada batangnya
Segala
gelak tawa
Saat
dicengkeramai oleh cakrawala
Dari
embun hingga ke senja
Langit
berhias lembayung
Saat
mengulang catatannya
Gubuk
dan kebun
Jadilah
penampung hari
Bersama
ribuan cicit burung parkit
Kini
waktu bukan apa-apa lagi
Bukan
juga suara deras hujan
Yang
membasahi lari-lari kecil
Lalu
berteduh di pohon kopi
Hingga
bertambah lebat daun-daunnya
Purwokerto, 19 Februari
2019
DI SEPOTONG GIETHOORN
Aku
melihat sepasang hati
Tergeletak
di perahu yang melaju
Dayung
mengayun,
Air
muka turun berduyun
Menyusur
pipiku blood moon
Lorong
jembatan, jembatan tua
Tempat
penghubung pulau-pulau rasa
Yang
menyemayamkan
Pada
dalamnya palung di dada
Angin
membawanya ke bibir sungai
Tepat
depan gubuk kayu
Coklat
manis seperti wajahmu
Yang
terikat oleh sumbu pelita
Terpasang
bulan pada damainya
Jalanan
Giethoorn
Bertabur
daun yang gugur
Serta
keemasan bunga yang jatuh
Di
curamnya leher hatiku
Cinta,
sinarnya kupantik tiap detik
Agar
terang seluruh dunia kita
Sampai
pada keabadian nanti
Banjarnegara, 30 Desember 2018
SI PELAFAL RINDU
Dari cemara tegak di depan
Mendekap
indah menambah hijau sang bilik
Di
hati tempat bertemu dua senyawa
Dongeng
terbaik di sepanjang malamku
Pembalasanku
tidaklah serupa
Sengaja
menusuk sampai ruang darahmu
Dan
caraku berjalan menjadi racun
Bagi
tulang dan nadimu
Tanpa
sesal dan tak kenal menyerah
Sesampai
berakhirnya waktu itu
Kini
ada dan bersama senyumku
Harmoni
mengalun di setiap hembusan nafas
Menyejukkan
lagi menentramkan
Mawar
di tepi ombak menggulung pantai,
Mengiringi
setiap serpihan cerita
Dari
sudut pandang hati ceria
Ditambah
merdu kicauan burung camar
Menghiasi
atap sepasang kursi
Yang
enggan beranjak dari bahagianya
Tak
kenal waktu, sampai lupa di mana ia berada
Akankah
selamanya begini?
Atau
ada hal lain yang mencoba mencuri kedamaian?
Mereka
tidak pernah tahu
Yang
berusaha bertahan dalam ribuan pekan
Mengajak
sepotong buaian rindu
Di
setiap tepian senja
Untuk
menemani sang cakrawala
Terlihat
pelangi dalam laut yang tenang
Seakan
kita tahu kalau ini tidak ada yang kekal
Alangkah
bahagia hati jika sampai sekarang
Nikmati
pemberian Robb-Mu Yang Maha Rahman
Masa
depan biarlah Ia Pengatur segala ruang dan waktu
Rindu
memang selembut itu
Tidak
ada yang salah dalam pelafalannya
Mari
gabungkan dua senyawa dalam darah
Biar
tidak lagi menjadi racun
Dalam
peraduannya seiring ikatan suci
Di
keabadian
Purwokerto, 2018
BAYANGAN DI
DINDING DOA
Menjelang petang, malam yang kelap
Barangkali, wajahmu yang temaram
Tenggelam dalam larutan suci
Seperti langit bersama air
Yang menghendakinya tumpah
Pada bibir yang manis
Namamu melambung ke angkasa biru
Berhias bintang di indah jagad tubuhmu
Seluruh kulit dan sendiku bergetar
Mengguncangkan selaput darahmu
Yang memerahkan dadaku
Angin di pantai asmara
Melabuhkan putik kembang sariku
Lalu menghembuskan nafas pada jelmaan mawar merah
Di warna yang merekah marwah
Purwokerto, 30
Agustus 2019
DI BAWAH
KAWANAN HUJAN
Di bawah kawanan hujan
Aku tidak berkeluh
Sebab basah hariku
Juga lusuh sarungmu
Tetaplah kopi yang hangat untukku
Aku menghitung rintiknya
dengan sederhana
Setiap tetes adalah kehangatan
Setiap derasnya adalah telaga
Meraup habis lelah dan dahaga
Dan aku bersamamu
Lebur dalam butiran kesejukkan
Bersama nafas yang selalu pagi
Di bawah kawanan gerimis
Yang gemerciknya memancur
Di bawah kawanan hujan
Aku tidak berkeluh
Meski petirnya menyambar denyut nadi
Tetapi harmoninya
Menjadikan kita sepasang
Tanpa perlu alasan
Melangitkan hati dan hari
Di keabadian lembah asmara
Hujan hari telah menyibukkanku
Bersama bibir lembut
Yang bertemu di ujung kerut garisnya
Hingga siang meninggi
Petirpun kembali ke khayangan
Purwokerto, 7
April 2019
DALAM
PERHELATAN
Kala waktu yang dituliskan di
hadap mata
Maka apa yang dapat dihina
Sedang aku dalam genggaman
Sang Maha Cinta
Aku tak ubahnya putri embun
Yang merayu kepada bapak subuh
Hendak pecah dari daun talasnya
Meleleh diri kepada hati belahan
nafas
Mempercaya bahwa sinar kehidupan
Memancar di tiap sudut waktu
Ramai orang datang
Dan saling memelukkan tangan
Bertukar kisah dari desa kepada
desa
Menjadi yang terpandai
Perihal daging di tengah lalapan
Sambil memanja diri
Pada keindahan bunga-bunga kain
Berlapis lampion keemasan
Menggantung di atap tenda merah
muda
Juga di keasrian dinding-dinding
tirai
Tubuh ini memanglah anggun
Berbalut kain panjang penyejuk
aura
Menjulur-njulur di tangan dua
gadis cantik
Mutiara menambah kilau
Seri wajahku sebab rembulan
Berbutir mengusap seluruh debu
Hingga hatinya semakin tertawan
Sejak hamdalah menjadi akhir
Di setiap perjalanan
Mengharap ridho empat sekawan
Purwokerto,
18 Februari 2019
MAULIYA NANDRA ARIF FANI, berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Sekarang dia menempuh pendidikan S1 di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto, Prodi Pendidikan Agama Islam. Dia aktifis di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) UIN SAIZU. Karyanya dimuat di beberapa surat kabar, buku antologi bersama, dan pernah jadi Juara 3 Lomba Puisi Nasional Event Hunter Indonesia sehingga dia berkesempatan melakukan kunjungan sastra ke Singapura. HP 085726377842; Email mauliya.nandra@gmail.com; Facebook Mauliya Nandra Ariffani; Instagram @mauliyanandra