AKU SEDIA
nona,
izinkan aku
menyajikan harap
akan kutuang ke
selembar kertas
dengan tinta
darah yang merona
sebagai sumpah
nyata seorang hamba
yang santun
menyanyi di depan pusara
nona,
aku bawakan
segenggam abu
dari rindu yang
terbakar hangus
oleh asa yang
mustahil tumbuh
waktu bahkan
teramat mahal dan terus menjauh
hingga kau aku
tak mampu berpadu
nona,
lama nian nona
terlelap
begitu nyaman di
dalam sana
benarkah kata
pak tua?
terbaring tanpa
nyawa membawa tenang
kalau benar
begitu, aku menyusul saja
menebus liang
lebih awal
asal di
sebelahmu, aku sedia
Purwokerto,
9 Januari 2022
TUNGGU DI
SITU
Ia bertaruh akan
sesuatu
Menjulang tinggi
menatap lalu
Saat putusan
telah ketuk palu
Gemuruh memenuhi
paru
Dan ragu
menghadap kelu
Sepiring nasi
teronggok meminta disuap
Secangkir kopi
bergeming menunggu teguk
Kaki-kaki
berpagutan mencari tenang
Lehernya kaku
sebab ratusan kali menjenguk waktu
Ia tidak datang
Tersesat dalam
labirin yang dibangun sendiri
Ia bahkan tidak
beranjak
Terjerat masa
yang tergulung kusut
Adinda,
Bukankah suaramu
amat lantang kala itu
Menjerit sampai
nyaris bisu
Mendaratkan
marah dengan tergugu
Lihatlah,
Awan biru
menatapmu malu
Menunggu waktu
yang tak kunjung berjalan maju
Purwokerto,
8 Januari 2022
SORAI WANITA
apa yang terbaca
dari pipi yang
merah merona
atau kilat mata
yang menyala
dan bibir merah
mengkilap
seorang wanita
di tengah kota
rambutnya
mengibas perlahan
warna warni kuku
memanjakan mata
tapak sepatunya
mengusik kucing jalanan
dilihatnya
lamat-lamat
hendak ke mana
kaki membawanya serta
apa yang terbaca
dari sorot mata
teduh
di balik
kacamata yang berembun
atau kibas kain
lebar yang membalut
dari ujung kaki
hingga ubun-ubun
seorang wanita
di tengah kota
jemarinya
mengurut bulir-bulir tasbih
dengan raut yang
tersembunyi di balik helai kain
langkah kakinya
mengikuti hembus angin
dibisikinya
baik-baik
waktu tak akan
berputar balik
apa yang terbaca
dari dua wanita
di tengah kota
tentulah tak ada
bedanya
semua mulia,
seindah mutiara
tak layak
direndahkan serta merta
apapun yang melekat padanya
Banyumas,
26 September 2021
KITA TAKKAN
PERNAH TAHU
deru mobil
terdengar di luar rumah
aku memejamkan
mata segera
lamat-lamat
cicak berdecak
kucing-kucing
bergeming
langkah kaki
mendekat ragu
berdirilah ia di
depan pintu
khayal menjadi
kesukaan manusia sepertiku
bahwa ia datang
dengan segenggam rindu
satu dua menit
menghilang
tetes kata
membasahi mata
berjejer rapi
dalam larik aksara
jerit menjelma
kepingan suara
merambat pelan
menusuk lorong hampa
ia bungkam
dengan senyum
tak mengerti
aku, atau tak mendengar aku
ia diam dengan
tenang
tak mencari
waktu, atau tak memiliki waktu
kataku,
ia rindu
ternyata cuma
aku
kataku,
ia tak ragu
ternyata cuma
mauku
kataku,
ia selalu
ternyata juga
berlalu
malam itu,
aku menggemuruh
kalah dalam
bertaruh
rasa takut itu
masih berseru
seperti takdir,
kita yang tulis
tapi untuk
berpadu, kita takkan pernah tahu
Purwokerto,
26 Mei 2021
HUJAN DAN
AKU
selama waktu
terangkai riang, hari enggan beranjak pulang
tak peduli
mendung yang diam-diam mengintai di balik terang
selayaknya
kejutan yang datang tanpa aba-aba,
hujan datang
mengguyur kering,
menjadikan
pasang-pasang kaki berlarian tanpa arti
ada yang
menatapnya marah,
ada yang memakinya
lantang,
ada yang
menatapnya sedih.
ada yang
menyambut tersenyum,
dan ada yang
memandangnya lugu, diam tanpa seorang pun tahu
adalah aku, yang
memandangnya lugu, diam tanpa seorang pun tahu
ia turun membawa
ribuan rintik, mengusung kisah yang pelik
ia datang
membawa suara, deras mendera telinga
riuh berbenturan
dengan tubuh
airnya membasahi
kepala, lalu tergenang di dalam tempurung
mendidih dan
menguap, mendobrak keluar namun sia-sia
adalah hujan,
yang menimpaku tanpa ampun
menyembunyikan
rahasia yang disampaikan waktu
menutup
kebenaran yang dibisikkan angin
tetapi hujan
adalah nyaman
ia tak hanya
turun di lautan yang luas,
ia mengguyur
sumur dan lembah tandus
yang kering
kerontang tak terurus
Purwokerto,
21 Mei 2021
NANTI JUGA TUHAN KASIH KABAR
Kalau hidup
ibarat ujian,
Maka berapa
nilainya supaya lulus?
Haruskah jadi
ahli matematika?
Atau jadi ahli
kimia?
Kalau hidup
seperti halang rintang,
Maka serumit apa
jaring laba-labanya?
Apa harus
belajar akrobat?
Atau dengan otot
yang kuat?
Ah kamu mumeti!
Padahal gampang,
kecil!
Jalan,
Pelan-pelan,
Rehat,
Lalu lanjutkan.
Jangan tanya
sampai kapan
Nanti juga Tuhan
kasih kabar
Banyumas,
30 September 2021
LAUT
apa kau tidak
mendengarnya
debur ombak itu
ramai sekali
seperti tawa
riang anak-anak
bersahutan
saling mengharmoni
apakah kau tidak
melihatnya
daun-daun kering
ikhlas berjatuhan
bersama angin
menjelajah awang-awang
dan tabah
menyentuh tanah
apakah kau tidak
merasakannya
belai lembut
angin memeluk tubuh
menyibak pelan
derai kerudung
membawakannya
padamu sekuntum harum
wahai,
aku ada
di balikmu
Purwokerto,
15 Januari 2022
PESAN DARI
TUHAN
Kalau tak
kunjung menemui usai
Barangkali
kakimu masih harus menggapai
Jarak demi jarak
yang terurai
Menapaki waktu
yang kapan saja bisa memuai
Kalau tak juga
menemui rehat
Barangkali
waktumu amat bermanfaat
Dipelihara
langkah dan wajah pucat
Diterpa angin
yang mengusung kuat
Kalau tak
diizinkan menemui malam
Seolah duniamu
tak mengenal gelap terang
Maka tak apa,
sayang
Waktumu tak
hilang
Ia abadi,
sebagai abdi sampai mati
Purwokerto,
19 November 2021
Tentang Penulis
Suci Wulandari, perempuan kelahiran Banyumas, 23 Mei
2000. Saat ini sedang menempuh pendidikan di UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri
Purwokerto pada program studi PIAUD. Suci bergabung di Rumah Kreatif Wadas
Kelir sejak Desember 2021. Suci sangat menyukai gambar dan sketsa, pernah
menjadi juara 1 Workshop Watercolor Architectural Sketch di UKRI Bandung tahun
2019. Suci juga gemar menulis, salah satu puisinya tergabung dalam Antologi
Puisi September Terik dari Ellunar Publisher, dan tulisan-tulisan lain
masih bersarang di blog pribadinya di sumurkeringkuuu.blogspot.com. Selain
itu, Suci juga beberapa kali mengunggah konten tarik suara, bisa dikunjungi di
instagram @bolususulembangggg. Kesibukannya saat ini menjadi mahasiswa,
tutor Bimbel Rumah Kreatif Wadas Kelir, dan freelancer editor buku.