LANTAS
HARUS KUNAMAI APA DIRIMU
Jika
antik adalah sepeda ontel dan sepi adalah pojok bilikku, lantas harus kunamai
apa dirimu?
Jika
tinggi adalah tembok dan rendah adalah buku yang tergerai talu, lantas harus
kunamai apa dirimu?
Pada
teguk kopi yang mengepul kabut di pinggir jendela pagi tadi; dalam pahitnya aku
menjumpaimu menjadi jeda yang meminta spasi malam-malamku kemarin
Pada
kemenangan yang sepakat untuk membayar tuntas janji bahagia; dalam tawanya aku
mendapatimu menjadi gelas kosong penuh kerompong
Bali,
2020
TUTUP
MATA SEMENIT
Dalam
pejamku
Aku
mengeja tiap pohon jati yang meranggas
Di sana
ada namamu yang dulunya sengaja ditenggelamkan pada riuh angin hutan
Mestinya
aku tidak perlu kembali untuk menjadi relawan atas rindu-rindu yang tidak
aturan
Sementara
daun-daun memisahkan dirinya untuk terjatuh
Dan
guruh itu; guruh yang dulunya aku takuti dan menjadi sumber dari segala peluk
yang akut- pelukmu
Tepat
di tiga catatan terakhir, kutuliskan selarik janji
Di mana
kita akan bahagia di linimasa putaran jam
Lalu
di seperempat jam sore itu, kau memelukku lebih erat
Katamu,
takut kehilangan
Purbowono,
2020
SETUMPUK
WANGIMU
Malam
itu di mana setumpuk wangimu masih tergambar jelas di antara rimbun yang
mengembun
Kota
yang ramai, desa yang sepi
Kunang
yang malam, malam yang sunyi
Pohon-pohon
yang menggugurkan daunnya, melupakan yang patah yang resah yang sudah
Kunang
yang membawa alang, cerita-cerita menyimpan kenang
Kenang
yang menimbun angan
Makna
atas makna oleh artinya sendiri
Sial,
ingatan ini selalu memuat tentangmu
Terlalu
banyak kenang yang kaku
Rumah-rumah
yang teduh
Atap-atap
yang tinggi menyimpan tadah tanganmu
Purworejo,
2020
LEKASLAH
KEMBALI, NARENDRA
Lekaslah
kembali, Narendra..
Di
puncak bukit pada terjalnya gunung di bawah pohon akasia pada samping bunga
edelwis pada manisnya, sudah kusiapkan tempat di mana kau pernah memesan sebelum
pulangmu yang terkesan paling menang
Di mana
kau bisa melewati sore paling bingung menikmati senja pada padunya
Mana
yang lebih terjal; di antara terjalnya gunung dari gunung-gegunung oleh
gunung-gunung itu, Narendra?
Senyummu
yang tak lagi bujangan
Wangimu
yang tak lagi rupawan
Purworejo,
2020
LENGAN
MALAM
Aku
masih terjaga dalam gelapnya malam, dalam dinginnya yang beku, dalam sunyinya
yang tanpa suara itu
Seperti
ejaan belanda pada batu kali di hulu, pada bekas sesapan bibirmu di kopiku, pada
lampu, pada buku, pada kedua yang terpaku
Aku
tertidur dalam bisu tak aturan, dalam lengan malam tak karuan, dalam benturnya
aku masih terjaga tanpa suara, tanpa nada, tanpa sajak, tanpa prosa, tanpa nama
Di
sini, di tanah kota tua ini, kita pernah membayar lunas semua janji bahagia
Di mana
setelahnya kau yang sibuk pada senangmu sendiri
Aku
yang tak kalah sibuk pada raguku yang tunggal
Lalu
waktu membawa kita berjalan lebih lamban, seolah biar supaya kita tak lagi
bising dari keramaian kenang
Biar
nanti kita lebih tenang
Purworejo,
2020
PUISI
SERIBU
Tak
ada perumpamaan kasmaran untuk puisi
Tinggal
angin, deru, dan serunya yang berguru pada lagu
Lagu
yang lugu
Lugu
yang lagu
Tak
ada yang perlu dibicarakan untuk puisi
Cuma
warna, bentuk, dan sifatnya yang candu
Candu
yang rindu
Rindu
yang biru, biru yang seru
Tak
ada yang mungkin dirahasiakan dari puisi
Ia
berani, di sini, dan inilah puisi; instuisi, ambisi, juga seni
Puisiku
mengeja matamu, matamu dieja buru-buru
Biar
memburu cepat pada sepi yang kusut
Puisiku
ini yang kasmaran berlebih
Biar
kenapa? Biar si kata tergila-gila untuk menggila lebih banyak
Biar
si bait terbirit-birit meluaskan barisnya
Biar
aku semaput oleh kata-kata
Purworejo,
2020
DESEMBER
Yang
kutahu di ujung kangen yang tak habis dimakan udara, yang menyebar melewati
celah, lalu istirahat di bawah batu; menemu Desember
Yang
kutahu, di sana hanya tertinggal rona yang jingga, yang berbisik menelan pahit
yang ditelisik hujan masa lalu, pergi menyeberang menjumpai sunyi
Di
pertigaan jalan itu, kabut-kabut bermainan dengan angin, burung-burung
bernyanyi, pohon-pohon menari, kaki-kaki kecil yang lugas mulai menyeka tangismu
Katanya
tangismu tangis paling sepi
Puisi-puisi
merekam kita
Kita
yang sok sibuk pura-pura lupa
Lupa
akan hujan, lupa akan siang, lupa akan malam
Parahnya,
kita lupa tempo hari pernah seasyik ini bukan?
Kulonprogo,
2020
PELATARAN
PUISI
Aku
bertemu lelaki dalam draf puisi
Dari
dalamnya aksara yang semestinya kata-kata tak akan lapuk dan segala doa ada
menyalami tanganku
Di mana
seutuh tubuhnya ada, terbit di pinggiran kata-kata
Dan
mimpi, kini seperti semburan ombak di pesisiran pantai
Sungguh
asyik, apabila sore kita tenun dari gemuruhnya air laut
Dari
karamnya luka dan liku yang meredup
Dari
karangan syair yang menutup jeda dalam suara
Kita
telah lewati empat belas jam berlalu
Berkendara
di putaran bukit
Menikmati
belantara
Bercengkerama,
bernyanyi, dan tertawa
Semestinya
puisi ini jadi nyata, Sayangku
Wonosari,
2021
MENGUNJUNGI
PUAN
Seluruh
bekas omong kosongmu ada di air yang tenang ini, Ra
Sekarang
malu sendiri
Kulingkarkan
syal di lehermu, terpikat aku dimabuk cinta oleh si pacar kawat pagar danau atau kesengsem
Ah
kangen tak akan sampai padamu
Angin
membawa debu, deru-deruan terapung di air, sejuk di orong-orong pagi, melintir,
memendekkan bicaraku pada kuda-kuda di taman, perasaanku ringan tapi
asal-asalan
Duh
syahdu! Aku duduk termangu dalam pelukan pagi
Puisi
sudah kuselam berapa kali, biar puisi punya isi
Tidakkah
aku sia-sia menulis ini?
Ah,
kangen belum sampai padamu, Ra
Aku
terduduk lagi
Sekarang
malu sendiri
Memetik
bunga camelia, menghirupnya, wangi sekali
Temanggung,
2021
ASTUNGKARA
Pada
ruang yang entah kapan, kita berdua; mengarang puisi berhalaman buku-buku
Pada
waktu yang entah kapan, kita berdua; berhasil labuh pada dermaga
Sebelum
suara telah jauh mendalami telinga
Dan
jemu, aku bayangkan bulan berpendar membaca malam
Dan
pena ini menari ayu di tembok-tembok gang
Di sana,
di tempat kita beradu kesedihan; sepotong es krim mencair dengan leleh cokelat
kesukaanku
Terlebih,
kau lebih suka keindahan
Pagi
itu ditumbuhi mendung dan sepayung hujan
Dengan
asam gerimis dan rintik pahitnya
Aku
lebih ingin menyukai ketenangan dalam air kolam
Purwokerto,
2021
Tentang Penulis
ZAKIYYATUL FUADAH lahir
di Purworejo, 18 April 2003. “Kiyya” begitu kiranya panggilan kesayangan
teman-temannya. Mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unsoed
ini aktif di beberapa komunitas seni, salah satunya KTP (Komunitas Teater
Purworejo), Lingkar Jelma, dan SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban)
Purwokerto. Ia mulai mengakrabi dunia kepenulisan sejak di bangku SD, mulanya
hanya iseng membaca diary milik si bunda, lama-kelamaan asyik sendiri.
Beberapa karyanya telah di muat di majalah Purworejo
tahun 2020, lalu dua puisinya berjudul “Javad” dan “Awak Kapal Terenggut Sepi” berhasil
masuk dalam kategori puisi terbaik Nasional tahun 2020 dan diterbitkan dalam
antologi bersama.
Kini, ia sedang menulis antologi solo untuk yang
pertama kalinya. Doakan semoga cepat tuntas yha!