APA
ARTI UANG TANPA KASIH SAYANG
Di sebuah desa hiduplah
seorang remaja cantik, kaya, pintar bernama Laras. Tapi, dari itu semua
hidupnya tidak puas akan kasih sayang orang tuanya. Dari kecil dia besar
bersama sang nenek, sedangkan kedua orang tuanya sibuk mencari uang di luar negeri. Ia
menyadari orang tuanya kerja keras juga untuk kebutuhanya bersama sang nenek.
Tapi, apakah orang tuanya lupa bahwa ada gadis cantik yang haus akan kasih
sayangnya.
Pada suatu hari dia
minta untuk dibuatkan sebuah rumah yang megah, bertingkat, dan bergaya rumah
joglo. Dengan senang hati orang tuanya pun mengabulkan permintaanya karena
apapun yang dimintanya bisa membuat ia bahagia akan dilakukan.
Setelah rumah yang
diinginkanya berdiri kokoh dengan segala kegemegahanya, tapi ia tidak selalu
tidur di dalamnya, karena selalu merasakan kesepian. Maka dari itu ia memilih
untuk hidup di pondok pesantren sambil menyelesaikan sekolah menengahnya. Di pondok ia merasa
terhibur karena memiliki teman yang bisa mengerti keadaanya dan teman-temanya
pun sangat sayang padanya.
Singkat cerita, ia
sudah lulus SMP dan berniat untuk mencari sekolah SMA yang berbasis Negeri.
Tapi, sayang, keinginanya tersebut jadi dinomer duakan karena sekarang ia
sakit, sakitnya cukup banyak dan butuh penanganan khusus oleh medis. Lambat
laun, penyakitnya banyak mengalami
penyembuhan karena ia menjalani berbagai terapi bahkan sempat beberapa kali
kemoterapi yang mengakibatkan sehelai demi sehelai rambut hitamnya meninggalkan
kulit kepalanya. Tapi, ia tak pernah menampakkan rasa sakitnya kepada teman
sebayanya karena ia tak mau dikasihani oleh teman-temanya. Ia bisa menunjukkan
rasa sakitnya cuma pada nenek dan kedua orang tuanya. Sempat ia berkata
”Bu, pulang. Aku sakit.” Ujar Si Gadis.
“Kalau ibu pulang, siapa
nanti yang akan membiayai pengobatanmu Nak?”
Jawab
Si Ibu.
“Aku mau ibu pulang!”
Jawab Si Gadis sembari mematikan sambungan teleponnya.
Setelah terjadi percakapan singkat itu
ia langsung menangis sesegukan, ia merasa yang dibutuhkan untuk saat ini hanyalah
pelukan hangat orang tuanya, bukan uang ataupun semacamnya.
Pada
keesokan harinya ia meminta kepada
orangtuanya
untuk membelikan sebuah mobil.
Ia berfikir pada saat berobat jalan atau
terapi yang biasa dilakukanya,
tidak
mungkin jika harus menyewa mobil orang lain, maka dari itu ia minta dibelikan
mobil. Pada sore harinya, ia kelihatan begitu ceria seperti orang sehat pada
umumnya. Ia berniat ingin naik kereta mini mengelilingi desa ditemani
sepupunya, dengan senang hati sepupunya pun mengiyakan keinginannya.
Pada malam harinya,
siapa yang menduga tiba-tiba penyakitnya kambuh begitu saja. Lantas nenek dan pamanya langsung membawanya ke rumah sakit biasa ia berobat.
Selama di perjalanan ia meronta-ronta kesakitan.
“Kenapa sakitnya begitu
terasa, Ya
Tuhan.” Ujar Si Gadis.
“Sabar Nak, sebentar
lagi kita sampai.”
Jawab sang nenek.
“Jika engkau mau
potonglah saja tanganku ini,
Ya
Tuhan.” Celetuk Si Gadis.
“Jangan bicara seperti
itu!” Jawab tegas sang nenek
Ia tidak menjawabnya
lagi, hanya suara tangisan yang keluar dari mulutnya. Sampai di rumah sakit ia langsung
dibawa ke ruang ICU dan mendapatkan tindakan khusus. Waktu terus berjalan,
sampai akhirnya sang dokter keluar dari ruang ICU dan mengatakan, “Keadaannya sudah membaik, anda
membawa kesini dengan tepat waktu.” Kata sang dokter.
“Syukurlah Dok kalau
begitu.” Jawab sang nenek.
“Baik, saya tinggal
dulu.” Jawab sang dokter singkat.
Pada keesokan harinya ia dijenguk oleh kedua temannya
semasa di pondok dulu. Awalnya ia tidak merasakan sakit apapun karena keasikan
ngobrol. Tapi dengan tiba-tiba dadanya terasa sangat sakit, perutnya mual
serasa ingin memuntahkan
semua isi perutnya. Lalu ia bergegas ke kamar mandi dan yang ia muntahkan itu
sebuah darah. Sontak kedua temannya
begitu kaget dan tanpa pikir
panjang salah satu dari mereka memanggil sang dokter. Kedua temannya disuruh menunggu di luar selama
dokter memeriksanya. Semua muka terlihat sangat cemas, karena dokter yang
menanganinya tak kunjung keluar dari ruangan.
Dan pada saat pintu
ruang ICU terbuka sang dokter harus menyampaikan kabar tidak mengenakkan kepada semua keluarga bahwa Laras
sudah meninggal dunia. Sontak semua keluarga menangis tersedu-sedu siapa yang
menyangka seorang gadis yang selalu terlihat ceria kini sudah tak bernyawa. Pada saat itu juga sang nenek langsung
memberi kabar orang tua Laras, bahwa Laras sudah meninggal. Sang ibu
menangis sesegukan didalam telepon tersebut.
“Ya Tuhan. Mengapa engkau mengambil anakku
secepat ini?” Kata
sang ibu terbata-bata.
“Yang sabar Nak, mungkin
ini sudah takdir.” Jawab
sang nenek sambil mengusap air mata.
Sesampainya semua
keluarga beserta jenazah di rumah duka, ramai warga, teman, dan saudara jauh
yang berkunjung. Terlihat lewat telepon genggam milik paman Laras sang ibu
hanya menangis sesegukan melihat jenazah sang anak karena ia tidak bisa pulang
pada saat itu juga karena cuaca sedang tidak baik-baik saja maka penerbangan
ditiadakan.
Dua hari setelah
kepergian Laras
barulah mereka sampai di rumah pada pukul 9 malam dan tanpa pikir panjang
mereka langsung bergegas ke makam Laras.
Sesampainya mereka di makam Laras, air mata sudah tidak bisa ditahan
lagi sang ibu langsung terduduk lemas di samping gundukan tanah yang masih
basah dan berbau wangi.
“Maafkan ibu tidak bisa
menemani disaat-saat terakhirmu, Nak.”
Kata
sang ibu dengan muka frustasinya.
“Menyesalpun sudah
tidak ada artinya, Bu. Anak kita sudah tiada.” Jawab sang ayah sambil mengusap
punggung istrinya itu. Mereka
berduapun hanya saling menangis di samping makam Laras.
Tentang Penulis
Barrotut
Taqiyyah.
Kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 17 Februari 2003. Mahasiswi Prodi Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang. Penulis dapat dihubungi melalui HP 08979022401
atau Email: barrotutqyh@gmail.com