KENANGAN YANG BERUJUNG
KELAM
Jika burung gagak hitam berkoak-koak di atas bumbungan
rumah, maka kematian akan segera menjamah dan sudah semingu ini seekor burung
gagak hitam besar terbang berputar-putar, di atas bumbungan rumah Nabila sambil
berkoak-koak. Para tetangga saling bertanya-tanya, dari mana datangnya si
burung gagak hitam. Awalnya hanya satu dua orang tetangga yang melihatnya, tapi
kabar keberadaan burung gagak itu cepat terbawa angin, merambat ke pucuk-pucuk
daun, dan menerobos celah-celah dinding tetangga yang lain.
Tentang burung gagak itu, Nabila sudah mengetahui
keberadaannya sebelum orang lain mengetahuinya. Ketika para tetangga
memberitahukan perihal gagak tersebut, Nabila hanya bisa mengangguk. Namun, wajahnya
menggambarkan seorang perempuan yang diambang kesedihan.
Tepat malam sabtu, ketika Nabila sedang tidur pulas di
kamarnya. Sedang malam menyapa dengan keheningan yang dingin. Suara yang terdengar hanyalah jangkrik,
bersahutan satu sama lain. Nabila terbangun dengan mata yang begitu berat. Ia
memaksa untuk bangun. “Wush!!!” Semilir angin malam lewat begitu terasa masuk
ke dalam kamar, di mana ia tidur. Angin masuk menerpa seluruh ruangan dan
menembus pori-porinya. Sungguh dingin sekali kala itu. Ia tidak langsung bangun
dari tempat tidurnya. Hanya terduduk dan melepas lelah dalam tidur.
Langit semakin gelap.
Terdengar teriakan anak-anak yang bekejaran dan
tawa ibu-ibu yang bergunjing di tepi jalan. Pintu yang tak terkunci itu
perlahan terbuka dengan derit yang sudah akrab di telinganya. Di sana, di atas
karpet ruang tamu warna merah lengkap dengan motif bunga mawar yang merupakan
hadiah pernikahan dari rekan kerja satu perusahaan, terbaring Komar, suaminya,
dengan wajah pucat. Nabila merasa hatinya robek dari dalam, seakan hal yang ditakutinya ini akan
terjadi, dengan langkah yang gelisah. Ia pun
menghampiri tubuh yang sedang terbujur kaku itu.
Tubuh lelaki
itu sudah lemah tak berdaya. Matanya mengarah ke lampu gantung yang berada di
langit-langit ruangan. Perempuan berambut panjang itu membungkuk hingga ujung
rambutnya itu jatuh tepat mengenai telinga Komar. Kemudian ia dekatkan telinga
kecilnya ke hidung besar Komar, tak ia rasakan embusan nafas pun keluar
hidungnya. Ia masih tidak percaya. Lalu ia dekatkan tangannya ke pergelangan
tangan Komar, lagi-lagi denyut nadinya pun tak terasa. Dengan rasa yang masih
tak percaya, Nabila menyentuh leher Komar, dan ia merasakan kulit yang sedingin
air musim hujan.
Refleks, air mata Nabila turun, jatuh di kulit pipinya yang
berlimpit. Ia hapus matanya yang mulai mengabur itu. Secara tak sadar Nabila mengelontarkan
jeritan di mulutnya. Jeritan itu keluar lewat pintu depan dan terbang di langit
malam, menghentikan warga yang sedang beristirahat. Para wanita berdaster
berbondong-bondong mendatanginya, disusul dengan suami mereka yang kaget dengan
suara Nabila. Rumah itu langsung berguncang disebabkan jeritan Nabila dan
diikuti jeritan ibu-ibu kampung yang mendatanginya. Malam itu adalah malam yang kelam,
malam terakhir ia berjumpa dengan suaminya, Komar.
Malam itu juga
seluruh warga kampung berkumpul. Kemudian para lelaki menyiagakan keranda dan
para perempuan menyiapkan kain mori panjang. Beberapa remaja perempuan saling
mendengungkan ayat suci, sebagian lainnya meronce sedap malam, melati, kantil,
dan diselingi dengan potongan pandan. Ada pula yang duduk di sekeliling jenazah
yang sudah ditutup kain mori panjang. Namun, Nabila hanya terdiam di sudut ruangan
dengan pikiran yang berkelana di masa lalu, melihat kembali sebuah kenangan
indah dan kilas balik hidupnya bersama Komar.
Ia teringat ketika
Minggu siang di bulan Maret. Matahari begitu perkasa dengan teriknya. Menampar
wajah-wajah bumi yang sensitif. Keringat berkeluh membanjiri kulit-kulit yang berbalut
baju hitam, butiran keringat yang mungkin sebesar biji jagung itu membasahi
baju hingga jaket yang membungkus tubuhku, dan setiap orang menghabiskan waktu
mereka bersama keluarga dan orang terkasih. Menonton, mengobrol, makan bersama,
dan sederet kegiatan mengasyikkan lainnya.
Nabila menaiki
bus yang biasa naiki ketika akan ke kantor. Namun, kali ini ia bersama dengan Andung
adik lelakinya untuk pergi ke sanggar seni kota, Nabila ingin menemani Andung
melihat pergelaran wayang yang diadakan setiap Minggu siang, kala itu adalah
kala pertama kalinya Nabila berjumpa dengan Komar. Komar adalah pedalang andal
yang baru saja memainkan wayang-wayangnya. Komar bukan hanya andal dalam
memainkan wayang tapi juga mempunyai sesuatu yang membuatnya menarik.
Seusai mendalang,
Komar mengambil tempat duduk di meja seberang dan memesan segelas kopi hangat dengan
sedikit gula. Ia mengangkat kopi dan tersenyum menghadap Nabila. Kemudian,
Nabila membalas dengan senyuman sederhana dan menganggap senyuman Komar adalah
undangan agar Nabila pindah duduk semeja dengannya.
“Kau suka
wayang?” tanya Komar begitu Nabila duduk di depannya.
“Aku suka.
Begitu juga adikku.” Nabila menunjuk bocah lelaki gemuk berambut ikal yang
sedang berusaha mengambil buku bergambar di rak nomor tiga. Rak buku yang berisi tentang buku-buku
sejarah Nusantara. Tangannya
menggapai-gapai ke atas sehingga lengan pendek dengan kaus
hitamnya tersingkap. Setelah beberapa kali percobaan, ia menyerah dan mengambil
buku itu di rak nomor satu.
“Oh, itu adikmu?
Ia pintar. Tadi ia sempat mengajukan pertanyaan kepada temanku yang sedang
membuka sesi tanya jawab setelah ia menjelaskan sejarah Majapahit. Aku jadi
bertanya-tanya apakah kecerdasannya menurun darimu atau dari ibunya?” Ujar
Komar sambil meminum kopi hangat yang baru saja diantarkan, sedangkan
pandangannya itu menyapu ke barisan orang tua yang sedang duduk di karpet ruang
sastra.
Nabila
tersenyum “Kecerdasan Andung, tentu turun dari ibunya. Ibunya sekaligus adalah
ibuku adalah seorang penulis, penulis buku sejarah lebih tepatnya.”
“Mungkin kau
pernah mendengar nama ibuku.” Cetus Nabila sambil menyebutkan sederet nama pena
ibunya.
Mata Komar
sedikit berkilat dan mulutnya membentuk lubang donat, seakan ia tau siapa
sebenarnya ibu dari Nabila.
“Itulah kenapa
aku membawanya ke sini. Aku ingin ia mencintai buku, seperti halnya ibunya.
Mungkin saja kelak ia akan menjadi penulis.”
“Aku yakin ia
akan menjadi penulis hebat. Bukankah kakaknya adalah penulis yang hebat pula?
Buah tak akan jatuh dari tangkainya.” Ujar Nabila sambil melontarkan gigi gingsulnya.
“Aku aminkan
saja. Kau dan adikmu akan mewarisi ilmu dari ibumu dan akhirnya bisa menjadi
seorang penulis yang hebat,” bisik Komar dengan pelan seakan ia tak mau obrolan
kita itu terdengar oleh orang ketiga.
Tiba-tiba
suasana hening, tak ada yang dipertanyakan Nabila, ia melihat
seluruh perempuan yang duduk di bangku taman itu gelisah. Mereka sama-sama
menunggu seseorang yang telah berjanji akan bertemu hingga mengungkapkan cinta. Tetapi, Nabila, salah satu di antara lima perempuan yang duduk di
lima bangku itu, tidak memperlihatkan aroma kegelisahan walaupun ia juga
berharap ada lelaki yang menghampirinya dan mengungkapkan cinta. Bagaimanapun
juga, menunggu adalah pekerjaan, pikirnya. Bukankah
bekerja tak ada yang sia-sia kecuali bagi yang putus asa?
Perempuan
berumur dua puluh lima tahun itu selalu bertemu dengan Komar, hampir setiap hari ia bertemu di
sanggar seni itu. Nabila merasakan ketenangan, kenyamanan, hingga jatuh hati.
Begitu juga dengan Komar yang tiba-tiba menyatakan cinta kepadanya.
“Aku mencintaimu.” Ucap Komar seraya bergumam dalam
hati bahwa Nabila adalah pendamping hidupnya kelak.
Di sini Nabila dipertemukan dengan Komar. Setelah
beberapa bulan pendekatan Nabila pun menjawab perasaannya.
“Aku juga mencintaimu.”[]
Tentang Penulis
Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Prof. KH Saifuddin
Zuhri Purwokerto. Lahir di Benda, Sirampog, Brebes, 1 Juni 2003. Penulis beragama
Islam dan bergiat menjadi anggota SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban). Karyanya pernah
terpublikasikan di Cerano id, Borobudur Writers, dan go kenje. Sekarang berdomisili
di ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan ponpes Darul Ghuroba Al-Hikmah
1. Penulis dapat dihubungi melalui HP 08572722834 atau Email: musyafaasyari03@gmail.com