RUMAH MASA DEPAN
Langit menghitam, pertanda
hujan akan datang. Rintik hujan mulai turun membasahi desa. Di dalam rumah yang
sederhana, Slamet tengah asik menikmati secangkir kopi sembari membaca koran.
Tetesan air jatuh tepat di tengah koran yang sedang dibaca. Ia mengambil ember
untuk menampung tetesan itu. Hujan semakin deras disertai angin kencang, hingga setiap satu jam
sekali ia harus membuang air tersebut ke dalam kamar mandi. Bunyi decitan bambu
yang bergesekan terdengar, setiap kali angin berembus kencang. Slamet
membetulkan hordennya yang berkibar-kibar seperti
bendera tertiup angin,
lalu menghampiri kedua orang tuanya di ruang tengah.
“Pak, Bu, kelak ketika sudah
kerja nanti aku ingin bangun rumah ini menjadi rumah yang layak untuk ditempati.” ucap Slamet.
“Aamiin
nak, ibu dan bapak tak pernah hentinya mendoakan kebaikan untukmu.”
***
Slamet
pergi ke negeri seberang untuk mencari pekerjaan. Zaman
sekarang mencari pekerjaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Seminggu
sudah ia mencarinya, namun kata tiada lowongan selalu terngiang di telinga.
Bajunya lusuh serta rumput liar terselip di antara helaian rambut. Berjalan
gontai tak punya tujuan. Hingga ia putuskan
untuk mampir di sebuah warung kopi.
“Nak,
nak, zaman sekarang ijasah SMA tak berarti apa-apa kalau kamu tak punya
keterampilan, sekalipun
nilaimu sempurna. Terus rencananya kamu mau kemana sekarang?” tanya pak Jamal.
“Saya
belum tahu mau kemana,
Pak. Ingin pulang namun aku malu, tak pulangpun aku tak tahu harus kemana, karena sanak saudarapun
aku tak punya.”
“Begini
saja, anakku sedang menggarap suatu perumahan dan masih butuh orang untuk
membantu para tukang membuat pondasi. Jikalau tak keberatan, kamu bisa tinggal
di sana sementara waktu sambil membantunya.”
Terucap
tahmid di dalam hati. Ternyata di zaman yang modern ini, masih ada orang yang mau
menolongnya. Tak
peduli pekerjaan apa yang sekarang ia kerjakan, yang penting halal baginya. Ia
putuskan untuk berbohong, sekarang menjadi karyawan di salah satu perusahaan
terkenal karena tak enak hati memberi kabar kepada kedua orangtuanya kalau ia
menjadi kuli bangunan.
Sedikit
demi sedikit Slamet mampu memperbaiki rumahnya, namun bapak tak sempat melihat
hasil jerih payahnya bekerja, karena beliau lebih dahulu pulang kepada sang
pencipta. Gubuk bambu yang dulu rapuh kini terlihat kokoh dan sederhana.
Baginya rumah yang ia perbaiki sudah layak untuk ditempati, hingga ia putuskan
untuk menikahi Siti, anak pak RT yang telah lama mengisi hati.
***
Di sela istirahat, Slamet mengamati lingkungan di sekitar
tempat bekerja. Ia melihat perumahan Pondok Gede. Terbesit di benaknya untuk memiliki salah
satu rumah di perumahan itu. Suatu malam ia mengutarakan keinginannya kepada
sang istri. Hingga menempati sebuah perumahan yang megah dan mewah menjadi targetnya
kali ini. Ibu, istri, sekaligus tiga anak terasa
sesak jika harus tinggal dalam rumah
yang kecil. Ditambah lagi disampingnya terdapat rumah Bambang yang seperti istana. Pagar besi
mengelilingi rumah, serta
lantai marmer yang menyilaukan mata menjadikan Slamet minder bertetanggaan
dengannya.
Pergi
pagi pulang larut malam menjadi kebiasaan Slamet. Istrinya selalu menunggunya
pulang, bahkan sampai
ia ketiduran. Kalau ditanya, Slamet selalu menjawab “Bapak sedang berusaha agar bisa
membeli rumah disalah satu perumahan Pondok
Gede mah, jadi tiap hari
harus lembur.” Segala macam cara dilakukan
demi mendapatkan sebuah rumah impian. Padahal istrinya tak pernah mengeluhkan perihal rumah
kepadanya. Baginya rumah sederhana ini cukup layak untuk ditempati. Namun tidak
bagi Slamet, apapun keinginannya harus dituruti.
Berkat
kerja keras,
akhirnya Slamet kini berhasil membeli salah satu rumah impiannya ini.
“Lihat
Bu, aku bisa membeli rumah ini dengan jerih payahku selama ini.”
***
Genap
setahun setelah Slamet menempati rumah impiannya tersebut. Kini baginya rumah
impiannya adalah rumah yang besar, halaman luas serta mobil mewah yang
terparkir di garasi rumah. Sebisa mungkin ia harus bisa membangun rumah itu.
Keluarganya tak pernah meminta rumah yang mewah, bagi mereka rumah yang
sederhana asalkan nyaman untuk ditempati itu sudah cukup. Namun lagi-lagi
keinginan Slamet tidak bisa dibantah sekalipun istrinya sudah berulang kali
membujuknya.
Kebiasaan
pulang malam terulang lagi. Istrinya selalu mengingatkan tentang kesehatannya
namun tak pernah ia gubris. Hingga suatu malam Slamet tak pulang ke rumah, juga tak memberi kabar
keluarga sehingga membuat panik istri yang selalu menunggu kepulangannya. Pagi harinya, teman kerja Slamet
datang menjemput Siti dan membawanya
ke sebuah rumah sakit. Tubuh Siti gemetar saat melihat
suaminya yang kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia menangis melihat kondisi suaminya.
Slamet
terbangun dari tidur panjangnya. Pandangan serba putih yang pertama kali
dilihatnya serta bau obat-obatan menyeruak di dalam ruangan ini. “Apakah sekarang ini aku
berada di rumah impianku,” pikir Slamet. Namun
pikiran itu ditepis kasar saat jarum infus tertanam di punggung tangan kirinya
serta selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Akibat kurang tidur sekaligus
makan yang tidak teratur ia kehilangan konsentrasi. Ia terjatuh saat menaiki
tangga lipat. Untungnya luka yang dideritanya tidak cukup fatal, namun ketika
tidak langsung mendapatkan pertolongan mungkin ia akan banyak kehabisan darah.
Beruntung Tuhan masih menyayanginya.
Luka
sakit belum sembuh, ia memaksakan diri untuk terus bekerja, agar apa yang
diinginkannya itu cepat terlaksana. Begitu semangatnya bekerja, ia melupakan
bahwa kesehatannya pun butuh dijaga. Pandangannya kabur, saat sebuah hebel jatuh mengenai kepalanya. Dunia
terasa gelap baginya.
Harum
mewangi, inilah rumah impianku saat ini. Tapi mengapa begitu gelap, dan terasa
begitu pengap. Di mana keluargaku, mengapa hanya ada aku disini.
“Selamat
jalan, Pak. Sesungguhnya
inilah rumah Bapak yang sebenarnya, berbahagialah di sana.”
Ia
hanya mampu mendengar sanak saudara mengucapkan selamat jalan kepadanya tanpa
melihat rupanya. Hasrat hati ingin bangkit mencari mereka namun ikatan-ikatan
yang ada di tubuh ini membuatnya kaku tak bisa digerakan, suaranya tercekat
tertahan di tenggorokan, ia hanya bisa
melihat tubuhnya kini dipenuhi cacing tanah, lintah dan kalajengking.
Hanya pasrah yang dapat ia lakukan.
Tentang Penulis
Rahma
Anggita Laras, lahir di Brebes 25 Desember 1999. Berdomisili di Pondok
Pesantren Al-Hidayah Karangsuci Purwokerto Utara. Saat ini ia masih berstatus
sebagai mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Satra
Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. E-mail: rahmaanggitalaras25@gmail.com