ANGIN KEMBARA
angin
telanjangi senja
bunyi
tongkeret berputar di telinga
burung
kecil dibiarkannya terbang
melintasi
langit retak
bunga-bunga
kelapa rontok
sementara
angin tak diam
kaleng
berkeloneng
sabit
belum juga usai
pangkasi
rumput di pematang
senja
telanjang, tak ada anggun
di
sobekan daun pisang
tak
ada jingga maupun wanginya
kuncup
padi tak tersemai
tubuh
gigil kala senja padam
cangkul
tengkurap di punggung pematang
sementara
emak bapak asyik
bersihkan
sisa lumpur di tangan dan kaki
senja
dimakan angin berlaksa
hidup
tak hanya membungkuk
sekalipun
liar putik padi tak akan bermilyar
karung-karung
kosong atau
berlubang
oleh angin lalu
juni, 2015
BAGIAN SAJAK DARI TANAH KELAHIRAN
ingatkah
kau percakapan di kota yang terkatup kabut
di
sana kesepian tak pernah mau pergi
melahap
nama yang kita anggap sebagai raja
dan
kita hanya bagian dari ketegangan semata
ribuan
surat selalu dikirim kepada yang esa
dengan
perbedaan aksara dan tutur kata
kita
hanya tak pernah tahu ihwal rupa dan warna
di
tanah dingin segala urban adalah sangsi
bagian
yang tak pernah bisa dipisahkan
sebagai
langit atau buminya
jalanan
lengang, saat matahari mengintip dari celah gunung
mata
kita terbelalak saat waktu merangkak
dan
terus berdetak menggambar orang-orang yang bergerak
di
kota ini kita besar
kota
yang katanya subur dan makmur
dari
tepian kita selalu coba mengenalnya
mencari
bagian pulung yang ditinggalkan
di
rumah dan gedung-gedung
kemana
angin akan berlari
sementara
mereka selalu mengumpat, kita ini gila!
di
pinggir jalan anak-anak sulit tertawa
mereka
hanya menggigil
makan
dan minum dari kebaikan hari
tubuh
lemah terlalu lama menahan gelisah
untuk
pulang ke rumah
saat
senja pulang sama-sama kita lihat
banyak
orang tua tertunduk lemas di tepi pematang
ladang
garapan tak ditumbuhi harapan
angin
begitu cepat berlalu, melahap waktu
doa
membeku, mengingat masa lalu
masa
kecil penuh mimpi dan harap
di
dadaku akan selalu kuketuk pintu
untuk
yang benar-benar perlu
juli, 2015
IA
SEMAKIN DEWASA
: Pasar
Wonosobo
belum
genap usia di tengah musim
ia
membakar yang baru dimulai
hanya
sisa bau abu mengepul
kayu-kayu
berserakan di lantai
keramik
pecah hanya saksi
rumah
ini tak pernah mau sepi
dari
tangga ke tangga tersaji janji
lampu-lampu
tergantung sepi
lalu
apa yang mesti ditangisi
sedang
gedung-gedung dibangun
perempuan
penggendong bakul
tumpahkan
keringat mandul
ia
tak semudah itu lahir
dari
sampah-sampah kota
membakar
luka yang sama
di
jalan yang seharusnya
tak
ada antara
juli, 2015
GADIS PEMANTIK ANGIN
harum
bunga dari rahimmu
cumbui
hidung yang resah
sempat
kita nyanyikan kidung
untuk
hormati kematian terdahulu
kemudian
mencari hidup baru
mengigau
untuk habiskan waktu
sepi
menelikung jalan pulang
angin
dipantik dari ladang kering
seorang
gadis pergi menuju perigi
tak
ada air, tak akan tumbuh tunas
hanya
sisa bunga rahimmu
yang
gugurkan mahkota
juli, 2015
SETELAH JALAN
gadis-gadis
hibuk di trotoar
menunggu
musim berganti
rambu
jalanan digerogoti angin
trotoar
lusuh dan berlumut
tak
ada gorong-gorong muat
menampung
airmata
gadis-gadis
hibuk di trotoar
lupa
di desa emak bapak
kelimpungan
menggembur doa
nyanyi
terdengar di sepanjang jalan
dari
rumah kecil berlampu pelangi
gadis-gadis
hibuk di trotoar
bukan
sanak saudara ditemui
tapi
mereka yang tak dikenali
tak
ada senyum simpul atau
peluk
hangat seperti suasana
di
tepi tungku dari dingklik bambu
juli, 2015
WAKTU DAN KOTA
waktu
pandang melengkung
jauh
ke seberang pengasingan
kota
dikembarai angin menderu
bayang
di seberang tak tampak
di
kota mana sekarang berada
gadis
membujur ke arah maut
angin
meneriakan teka-teki
tangis
membuncah
ia
mati dari jerit ibunya
begitu
mengalir ke awal
kesakitan
tertinggal di kota
tapi
bukan miliknya
juli, 2015
tak
ada yang lebih sedih lagi
seperti
beringin rontokan buahnya
lalu
lebih sedih lagi seperti
sendang
yang mengering
dan
buah-buah tadi tercebur
langsung
ke dasar yang batu
puing-puing
bertumpuk sisa masa lalu
lebih
mirip setumpuk tanah uruk
lenyap
sudah sejarah murninya
rumah-rumah
semakin ramai
jalan-jalan
tempat dulu
memulai
kerja penuh waktu
kini
mulai pecah
luput
dari catatan sejarah
september, 2015
JEJAK ANGIN I
tak
ada jejak di pegunungan Dieng ini
hanya
angin hibuk menangkap titisan Drupadi
dan
kalian yang datang dari bumi tepi
nujumata
air tancapkan dupa pada kuil semadi
pada
hampar dingin, mendesir tangis dekat muasal
anak-anak
minum dari mulut hujan
angka
masehi deras mengucur dari sendang
menyepuh
airmata pada deras Serayu
wangi
belerang menguat dari dasar telaga
sementara
petilasan mulai renggut dahaga
anak-anak
menarik kabut dari derita
seorang
pertapa menangkap derap moksa
yang
hilang pada putih ufuk nirwana
bila
Bima tersuruk ke balik goa
maka
jauh ke lembah doa terbangkan malaikat
yang
sayapnya mengepak turunkan hujan
basahi
bibit-bibit kentang yang mulai tunas
dalam
bahasa yang padam dan hambar
biarlah
emak bapak telanjang
berbual
dalam syukur dan mendengkur
saat
tidur menghadap surau
menghisap
aroma tembakau
adakah
anak-anak seperti sorga
tempat
berpijak duka setelah musim berkelakar
rintih
angin mengarak dengung peristiwa
mengecup
atap rumah yang landai
sepi
terpelanting pada punggung bumi
barangkali
Drupadi mengaca ke dalam bening telaga
menitikan
airmata yang jelma nyawa
hingga
waktu makin purba dan berwarna
memulas
langit tanpa perantara
anak-anak
nyelip di rindang pohon karika
oktober, 2015
JEJAK ANGIN II
di
kotaku tumpang-tindih lembar hidup masai
segala
muasal tak pisah dari siang malam
berita-berita
telah sampai pada alamat tepat
harap
menjadi kekasih paling setia
duh
mak, kuputari jalan terbenam pilu
getir
lintasi manusia tak henti
sebagaimana
takdir nafas berat mengudara
jam
tak lagi menunjuk waktu yang tepat
anak-anak
minggat dari rumah adat
angin
turun dari langit kitari kota
seperti
aku turun dari gendonganmu
pijakkan
kaki pada tanah lapang berdebu
kenangan
terlontar pada pasar berserak
kupandang
langit dengan tangis terisak
kubawa
buku dongeng pemberian kakek
kuselipkan
pada malam yang kehilangan bunyi tokek
lagu-lagu
nostalgia mengalun lirih di riuh pasar
lagu-lagu
kebangkitan leleh di lubang sejarah
ia
bisikkan sendiri cerita pada bumi
di
pasar hanya cemas yang diperjualbelikan
sementara
gelas bekas kita sulang airmata
tergeletak
pada lapak-lapak dan mulai retak
kepada
siapa masehi akan dititipkan
putarannya
semakin menepi mereka lapar
di
tengah pasar ini
tawa
bentuk dusta dengan harga paling murah
tak
dijual di pasar manapun
pedagang
musiman jajakan aneka barang
sementara
aku mencari masa kecil
yang
hilang di bawah bayang bianglala
duh
mak, aku ingin beli mainan anak-anak lagi
di
lapak yang dulu sering kita sambangi
tidakkah
sekarang mereka berkeluh
mereka
mundur dari pusat kota
ke
pasar-pasar yang dibuka di tanah lapang
tidak
setiap waktu berdiri menjulang
oktober, 2015
Tentang Penulis
ARDY SURYANTOKO,
kelahiranWonosobo, 19 Desember 1992. Penyair ini beralamat di Binangun 002/004,
Gunungtawang, Kec. Selomerto, Kab. Wonosobo. Saat ini dia menjadi pendidik di
SMA Takhassus al-Qur’an Wonosobo, dan bergiat di Komunitas Sastra Jejak Imaji.
Pos-el: ardysuryantoko@gmail.com.