MATA MAUT
Mata maut menatap
dukaku!
Tuhanku
Kuketuk pintuMu
dengan peluk lapuk
Jalan panjang keabadian
Telah tiba di pelupuk mata
Siap tak siap
kusapa senyap
Menggigil jiwaku
meratapi lorong gelap
masa lalu
Sendiri dan yatim-piatu
Tuhanku
Hanya istighfar
yang menjadi tikar
terakhirku
Bahkan dalam kubur
Terus kugelar istighfar itu
Semoga jalan berjelaga
di masa lalu itu
hanya fatamorgana
Semoga tabungan cinta
dan amal rindu ini
tak hanya sia-sia
Tuhanku
Berbekal akal
Ternyata tak mampu menajamkan
pikirku
Membaca Kekal
Dengan peta takwa ini
kujalani tegak lurus
akhir hayatku
Pada Kun firmanMu
Kuterima dengan tunai
fayakun cinta ini
Gus Nas Jogja, 31 Juli 2021
HIJRAH
Dalam hijrahku ada tapak kaki yang
mengucap sunyi
Mengikuti jejak nabi di rimba berduri
Kuberi nama puisi
Dalam puisi ada derap kata-kata
Mengibarkan salam dedaunan di
keindahan alam
Kusebut ia rindu
Dalam rinduku kusebut nama
Menanti semesta kepastian untuk hidup
bersama
Kupuja ia dengan sebutan cinta
Dalam hijrahku akulah puisi
Dalam hijrahku akulah rindu
Dalam hijrahku akulah cinta
Kuhijrahkan puisi dari rindu ke
cinta
Dari cinta menuju Sang Maha
Segala!
Gus Nas Jogja, 9 Agustus 2021
KEMERDEKAAN ITU
Kemerdekaan itu makrifat
Ia sempurna bagi ruhani yang telah
sampai
Memerdekakan itu syariat
Ia berjuang untuk pembebasan jasmani
yang dipasung oleh nafsu dan syahwat
Sedangkan tarikatnya adalah mencintai
Ibu Pertiwi
Kemerdekaan yang tak menistakan dan
menodai bangsa sendiri
Kemerdekaan itu rumah megah tanpa
pintu
Terbuka dengan segala macam pinta
Tangan menadah menatah doa
Hati menunduk menjauhi dosa
Atapnya cakrawala
Di rumah kemerdekaan
Kebebasan menentukan sendiri takdirnya
Akal budi merayakan jati diri
Akal sehat mengucap selamat
Tak ada yang lebih utama selain cinta
Di rumah kemerdekaan
Agama dan kebangsaan saling menguatkan
Ekologi dan ekonomi tak saling
melukai
Kebahagiaan dan kesejahteraan seiring
sejalan
Indonesia adalah rumah bersama
Kemerdekaan itu melestarikan
Merawat alam semesta dengan kekuatan
cinta
Memakmurkan bumi dengan keindahan hati
Kemerdekaan itu menyempurnakan
kemanusiaan
Mengembalikan pada fitrahnya
Gus Nas Jogja, 16 Agustus 2021
Tentang Penulis
H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi
sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru
sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin,
Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di
berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan
Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya
berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah
nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar
Harapan dan lainnya.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di
TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian
Writers Conference di National University of
Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik
dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih
penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun
Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor
Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw
Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah
menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI;
menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy
Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di
kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi
Pembicara Kunci pada World Culture Forum
yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.