KESEPIAN ITU
: mbok rebyah
penjual jamu
karena jiwamu menghikmati
kesendirian. setelah tahun-tahun piatu mendekapmu
kesepian itu lecutan api di malam-malam sepi
suara alu beradu lumpang. menumbuk lada, cengkih,
kedawung, kunyit, dan segala rimpang
kesepian itu perasan jeruk nipis
di sebatok kunyit asam. pesanan
seorang ibu yang judeg, sengkarut
harinya, berwajah masam
kesepian itu beras kencur
melunturkan duka pagi
membilas peluh hari
sampai tuntas rasa hati
setia kau tumbuki
lumpang dan alu itu
kini menumbukku
hingga lilitan dendam dan luka
remuk jadi serbuk, dan sepiku menjelma selendang
mengikat erat tegak di kalbu : alifku
kucecap perasan jeruk nipis
pedas kedawung, pahit brotowali
kueratkan lilitan selendang
agar bising di benakku tergelimpang
Depok, Januari 2019
TENTANG INAIKU
Kau tak bertanya
bahkan ketika kuku jemariku
sepias garam. dan rambutku
tak bersisir, hampir bergimbal
Lalu suatu hari
kutemukan sebuah catatanmu:
“tetaplah mencinta seperti
awalnya, meskipun
cintanya berubah. karena
engkau kelak akan ditanya”.
Tiba-tiba aku teringat
pertanyaan Dnun Nun
tentang inai di tangan Fatima
Tiba-tiba aku teringat
kecemburuan Ibn Khudruya
Dan inaiku? Ah, di sudut sepi
sekian lama ia menyendiri
menjumlah pagi dan senja
yang pucat pasi bersamanya
Depok, Januari 2019
DAUD AL-THA’I*
Berdiamlah
duduk di kaki para imam
tanpa mengucap sepatah
kata. seperti ia yang
mengasingkan diri
melarungkan buku-bukunya
ke aliran sungai Eufrat
membuang segala harapan
pada manusia
Dan tak semua laku
harus menjadi cerita
karena tanpa rahasia
engkau tak akan mengenal
nikmat buta, bisu, tuli
: laa ilaaha illa Huwa
Depok, April 2019
* Murid Imam Abu Hanifah
DAN ANGIN PUN BERTANYA
Selagi masih ada waktu
angin malam menyandarkan letihnya
di dinding rumah kayu
di sini rehat sejenak dalam sepi
seharian meninabobokan hari
tanpa riak, tanpa gelombang
hanya elusan dan belaian
penuh kasih, menumpang
dan menindih
selagi masih ada waktu
angin malam pun bertanya kepadaku bilakah hari terakhir
itu tiba. tatkala ia menyandang nama badai atau prahara
angin malam menyandarkan letihnya
: jam berdetak di dinding tercekat tiba tiba
Depok, 2010
PULANG
(pohon sawo depan langgar kampung
sisi jalan tegak pula jeruk gulung
di gerbang senja lengkung keluwung
tudungi sepasang kepodang wuyung)
kembali pulang lelaki kuli
sekian lama memanggul rindu
di tanah seberang engkau gigit
senyummu. agar tak habis
tatkala sisa waktu kian menindis
engkau terhuyung dimabuk bayang
: pelukan embun, kercik sungai, kerisik
dedaunan, kesah kering ilalang
berontak dicumbu angin petang
lalu suara simbok, dengan kinang
dikunyah, meludahi hatimu yang patah dan wajah piasmu
yang letih
diperas tandas derum jerih
: sesobek
bayangan melintas
tentang nisan kusam di ujung kampung
ah, tepiskan!
selembar kanvas di sukma, masih menyimpan lukisan:
darah dan ari-ari, tangis pertama memanggilmu menari
Depok, November 2019
SELAMAT PAGI, IBU
Pagi ini anakmu ingin menyusup di dadamu,
menyesap putik putik sayang yang lalu lalang di jantungmu
Engkaulah madu. Sayap lelahku ingin rebah dikunyah kunyah
doamu
setelah bercangkir-cangkir getir kucecap pelan-pelan
hingga lidahku paham akan rasa manismu
Ya, manismu, Ibu. Yang diam-diam menelan letih dalam
sudut ruang rumah kita, melayari malam buta dengan perahu
tua
menjaring serpih-serpih kasih untuk kau bagi pada mereka
yang tersisih
Ibu, kembalilah ajari aku, melayari doa dan airmata
dengan kepingan perahuku, agar segera tunai semua hutang
dan janji-janji
agar sampai rinduku ke seberang, karena layar terlanjur
kubentangkan
Depok, Desember 2018-2019
TEMBANG RINDU PENYISIR HARI
aku ini cuma abdi
mencoba menetapi kesetiaan
pada majikan
di jalanan yang sesekali landai
lain kali terjal mendaki
tak berani bermimpi jadi srikandi
yang pandai memanah bintang
karena hati masih lintang pukang
dan belum genap jiwa
menjadi si emban yang gemati
manah ing ati
tiap hari kurindukan tembang
nglaras jiwa yang seimbang
agar bumiku tak goncang
erat erat cari pegangan
engkaukah yang bersenandung
di tepian tepian kali yang mulai
kering. di gigir gunung kalbuku
di pinggir hutan yang
terjajah belantara loba
atau di bubungan atap rumahku
ketika senyap malamku sembilu
ketika sukma menangis
rindukan sajid, pengembara
yang menabuh gamelan cinta
seluas bumi tempat sujudnya
Depok, November 2018
LISTIN WAHYUNI, lahir di
Sleman Yogyakarta, Indonesia. Karya-karyanya dimuat dalam Antologi “100 Puisi
Tema Ibu se-Indonesia” (Sastra Welang Pustaka, 2012), Antologi “Kaung Bedolot”
Sayembara Sastra Sawtaka Nayyotama 2013. Beberapa puisinya juga terikutkan
dalam antologi puisi cinta” Di Tangkai Mawar Mana” ( Sastra Welang Pustaka,
2014), juga” Kitab Puisi Perempuan Indonesia” (Getar Hati, 2018) dan Antologi
“Pesisiran” DNP 9 (2019). Salah satu puisinya “Si Buta Dan Pendayung Perahu”
mendapat penghargaan dalam lomba puisi Islami Sabah Malaysia. Tinggal di
Yogyakarta. Kontak email: wahyuniduryat82@gmail.com