DALAM
KEMBARA
kita dengar.
suara-suara menuruni ngarai.
di bawah cahaya
berpendar.
kita kejar
harapan, walau cuma setangkai.
lalu kabut.
sepotong berita dari lapis langit.
tapi langkah kita
tak surut.
memetakan
pendakian ke puncak bukit.
kita tunaikan
janji demi janji.
menenun cinta
dalam kembara.
kita catat hari demi
hari.
merajut usia
hingga senja pun tiba.
LELAH
engkaulah
kesabaran.
pasang gelombang
pun reda.
di tepian
kehidupan.
engkaulah pintu
terbuka.
angin leluasa
masuk.
tanpa harus
mengetuk.
engkaulah
kehangatan.
dingin pun
terbakar.
menghantar cinta.
menemu lautan.
engkau juga
dermaga.
kapal pun
berlabuh.
membongkar sauh.
sebelum karam.
angin pun haluan
dan buritan.
kelasi tegak di
atas geladak.
kibar berdera di
puncak palka.
tertebar jala bagi
ikan-ikan.
istriku, diri
lelah butuh belaian.
CINTA
SEPOTONG ROTI
di tangan waktu,
aku menunggumu.
dengan gelisah.
dan sunyi, tentu.
dan engkau lebih
tahu ihwal itu.
seperti katamu, aku
memang merapi.
teguh dan kukuh.
tapi itu dulu.
sebelum
puisi.
sebelum engkau
pergi.
kini aku sebatang
pohon.
hampir rubuh. tua
dan rapuh.
“jangan mengaduh,”
bisikmu tiba-tiba.
“lihat cucu-cucu
kita berlarian.
bermain
tembak-tembakan.”
ya, ya.
di tepian waktu.
mengalir cinta masa lalu.
di antara
batu-batu kenang. lalu kelebat bayang.
bagimu dan anak
cucu, cinta taklagi
sepotong roti
untuk dibagi.
DALAM
WAKTUKU DIRIMU
antara ruang dan
waktu,
benih kesetiaan
yang kausemai kini
tumbuh kembang
tanpa benalu.
ruangku dan
ruangmu adalah sekutu.
waktumu dan
waktuku bukan seteru.
ketika ruangku
adalah waktumu.
ketika waktuku
adalah ruangmu.
dalam ruangku
dirimu membayang.
takkenal waktu.
dalam waktuku dirimu meruang.
merabuk rindu.
dalam ruang dan waktuku,
senyummu mengembang.
membuka lembaran
masa lalu.
lambaian salammu
adalah mekar teratai.
walau gapaiku
takjua terurai.
denyar langkahmu
kudengar.
CAHAYA
DI SELA MEGA
engkaulah senja
yang menebar cahaya lembayung. melampaui patahan-patahan mega katulistiwa.
sebelum hari melengkapi diri menjadi malam. ya. cahaya di sela mega adalah
pancaran cintamu yang takpernah reda. karena engkau tahu. gelisah rindu selalu
saja menghardik diri. pada ruang-ruang dalam yang tersembunyi.
aku pun paham. di
sela lengang lembayung cahayamu, kata-kata berhamburan. semua minta dituliskan.
ah, betapa puitis indahnya cinta.
kita pun merawat
semampunya. sampai senjamu datang tiba-tiba.
SENYUMMU,
ISTRIKU, ADALAH KESABARAN YANG MEMBUATKU BERTAHAN
rumah cahaya.
rumah cita-cita cinta kita.
aku pun permadi
dan engkau bratajaya.
tapi ketika kini
aku sendiri. keris pun taklagi
pulanggeni.
panah pun taklagi
pasopati.
cuma senyummu,
istriku. adalah kesabaran
yang membuatku
bertahan.
dalam baris
antrean. menunggu cahaya lindap. seperti ketika tiba-tiba engkau nyelinap.
memagut senyap.
ya. engkaulah
kesabaran yang membuatku
bertahan.
menunggu
panggilan. karena pada saatnya
kita pun kembali
bergandeng tangan.
bersama membuka daun-daun
pintu yang terang.
YANG
HILANG
hujan bulan
januari. gelisah pun reda.
ketika engkau
turun berkerudung pelangi.
menebar kesturi
cinta. senyum cempaka
dan salam melati.
adalah baris-baris puisi
yang kutulis pagi
ini. rajutan benang-benang usia.
pada jarum jam
yang bergerak perlahan.
ketika kalender di
dinding tanggal.
engkau gamit
telapak tanganku dalam
bayang yang
memanjang. engkau baca rajah hidupku dalam senyuman. lalu hilang.
aku lihat lambai
tanganmu yang hilang.
hilang.
DI
BANGSAL INI, BERSAMA DINGIN
di bangsal ini
kita menanti.
bersama dingin,
bersama angin.
menunggu giliran,
menunggu panggilan.
dalam sebuah
pisowanan.
takada kepastian
waktu.
beberapa kali
jarum jam
melewati angka
demi angka.
kita pun takpernah
tahu.
“aku duluan,”
bisikmu.
“aku sudah dengar
panggilan
atas namaku,”
lanjutmu.
di bangsal sri
manganti aku sendiri. kini.
DI
SELA PASIR PADANG
di sela pasir
padang.
engkau sembahyang.
angin pun henti.
daun-daun
bertahan.
pada tangkainya.
engkau telah
pulang.
ke kampung
halaman.
baju baru dan
sajadah rindu.
sehelai tikar masa
depan.
kumandang agung
takhenti
mengawang.
terbuka lebar
tabir cakrawala.
bersama derai air
mata.
tanah pun basah
oleh cinta dan doa.
Tentang
Penulis
SUMINTO A. SAYUTI lahir
di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, 26 Oktober 1956. Pada
dekade 1970-an saat tergabung dengan komunitas Persada Studi
Klub Yogyakarta, namanya tidak pernah absen dalam forum-forum diskusi
sastra maupun pementasan-pementasan puisi dan teater. Di kalangan seniman
Yogyakarta, Suminto dikenal sebagai pemuda “bengal” yang tidak pernah puas
dengan ilmu yang didapat. Proses kreatifnya dimulai dari kegemarannya membaca
dan menulis sejak kecil. Semakin tersihir oleh dunia sastra sejak masuk
Yogyakarta sekitar 1974. Sejak bergabung dengan komunitas Malioboro, mulailah
ia “menancapkan kukunya” di dunia sastra. Penulis yang juga Guru
Besar UNY ini, juga menggeluti seni karawitan dan menggagas serta pengurus
Masyarakat Karawitan Jawa. Ratusan karya lahir darinya, baik berupa makalah,
diktat, buku, kumpulan puisi, cerpen, esai sastra, dan sebagainya.
Daftar ini hanya
memuat sebagian karya Suminto A. Sayuti :
- Kumpulan Sajak Malam Tamansari
- Resepsi Sastra
- Intertekstualitas: Pemandu Pengkajian
Sastra - Ensiklopedia Sastra Indonesia
- Evaluasi Teks Sastra
(2000, terjemahan The Evaluation of
Literary Texts karya Rien T. Segers) - Semerbak Sajak
(2000) - Berkenalan dengan Prosa Fiksi
(2000) - Berkenalan dengan Puisi
(2002)
Penghargaan
:
- Kedaulatan
Rakyat Award, Bidang Kebudayaan (2005) - Anugerah
Sastra Yayasan Sastra Yogyakarta (2014)