MENIKMATI PUISI DARI KALENG KHONG GUAN
Oleh Fajrul Alam
Judul :
Perjamuan Khong Guan
Penulis :
Joko Pinurbo
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
1, 2020
Tebal :
130 halaman
“Puisi itu merupa keindahan bahasa dan keindahan batin
dari isi puisi itu sendiri. Dan keindahan bisa saja dipancarkan dari
kesederhanaan ungkapan”, seperti itulah ungkapan dari sastrawan sekaligus
kritikus sastra asal Jogja, Abdul Wachid B.S. yang juga menjabat sebagai
direktur Sekolah Kepenulisan Satra Peradaban. Komunitas pegiat literasi yang
berusaha tetap eksis dan melek akan literasi di era gempuran
digitalisasi dan kurangnya minat baca dan tulis.
Tidak jarang kita temukan puisi yang rumit untuk
dipahami. Seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Mulai dari penggunaan
metafora yang sulit, susunan kata yang seolah tidak dapat dicerna, dan
simbol-simbol yang membingungkan. Memang benar kata Chairil Anwar, “Carilah
makna kata sampai ke putih tulang.” Tapi perlu diketahui, untuk mendapatkan
kedalaman makna puisi tidak mengharuskan dengan kata-kata dan kalimat yang
sulit dipahami oleh pembaca. Kesederhanaan penggunaan kata dan bahasa juga
dapat menuai makna yang dalam serta melahirkan keindahan bahasa. Sebagaimana
yang disebutkan oleh Maman S Mahayana, “Kedalaman makna puisi tidaklah mesti
dibangun oleh kerumitan. Tidak pula lewat penghadiran metafora yang cantelan
teks dan konteksnya berada nun jauh di sana.”
Keunikan bahasa juga sering tampak dalam puisi yang
terkesan sederhana. Dengan hanya deretan kata-kata yang tersusun rapih, yang
menjadikan puisi mudah untuk dinikmati. Karena dengan merasakan nikmatnya
menyelami puisi, akan timbul kemudian rasa suka dan cinta pada puisi. Begitu
juga membaca, orang yang tahu nikmatnya membaca akan mengarahkan dan
mengerahkan segenap waktunya untuk bercumbu rayu dengan buku. Pepatah
mengatakan “Sebaik-baik teman duduk adalah buku.”
Oleh karena itu, melalui puisi dengan kesederhanaan
ungkapannya yang mudah dipahami dan dinikmati, harapanya terbangun juga gairah
dan antusias membaca. Dari sini salah satunya, minat baca beranjak tumbuh dan
berkembang. Dengan demikian akan terlahir generasi yang melek literasi, yang tidak
mudah termakan hoaks dan manipulasi.
Puisi-puisi yang renyah untuk dinikmati tak mudah
dijumpai. Kebanyakan puisi terbilang berat untuk dipahami dan dicerna dengan
baik-baik bahasa dan maknanya. Apalagi bagi orang awam. Mendengar puisi,
konotasinya kembali pada serangkai kegiatan yang butuh berfikir ekstra dan
mencurahkan segala daya dan waktunya untuk dapat menemukan makna yang
terkandung di dalamnya. Karena terlanjur masyhur bahwa puisi adalah sulit,
rumit, dan berbelit-belit. Prespektif seperti itu seharusnya bisa sedikit
dihilangkan dengan adanya puisi-puisi yang renyah untuk dinikmati.
Puisi-puisi Joko Pinurbo yang terkumpul dalam buku
antologi puisinya yang berjudul “Perjamuan Khong Guan” merupakan salah satu
bukti nyata yang membantah prespektif khalayak umum kepada puisi. Buku ini
berusaha mengajarkan kepada kita bahwa puisi tak lain ialah makanan ringan yang
renyah untuk dinikmati dan mudah disajikan. Sebagaimana roti khong guan yang
praktis untuk dihidangkan dalam setiap perjamuan. Siap menemani secangkir teh,
kopi, ataupun susu atau bahkan air mineral sekalipun.
Dengan gaya bahasanya yang sederhana, Pakde Jokpin -panggilan
akrab Joko Pinurbo- mengajak kita untuk mengenal wajah puisi yang ceria, murah
senyum, lucu, ramah dan gemar tertawa. Ungkapan-ungkapannya yang renyah
layaknya peyek, keripik, ampiang, dan rengginang memberikan cita
rasa tersendiri yang membedakannya dari kebanyakan puisi. Pemilihan diksi yang
ringan dan penempatannya yang sesuai, membawa puisi ke ranah bisa dinikmati
siapa saja dan kapan saja. Tidak mewajibkan harus berpengetahuan banyak baru
bisa menyelami puisi. Juga tidak perlu terlalu memfokuskan pikiran untuk
menafsiri dan menemukan kedalaman makna puisi.
Melalui buku
ini, Jokpin mencoba membawakan puisi yang suka tertawa dan mudah bergaul dengan
siapa saja. Dalam buku ini banyak ditemukan momen-momen puisi yang sedang
bersenda gurau. Tidak hanya melulu bicara soal agama, politik, negara,
perjuangan, dan seruntutan kegiatan yang bersifat berat serta butuh perenungan
ekstra. Melainkan bicara perihal hal-hal sepele yang dikemas dengan menarik,
unik dan nyentrik. Sepertihalnya, bingkisan khong guan, keluarga khong guan,
mudik khong guan, rumah khong guan, dan lebaran khong guan dan masih banyak
yang lainnya.
Dari buku ini, kita juga dapat belajar bahwa apa saja
bisa jadi puisi. Kaleng guan pun yang di hari raya sering dipandang sebelah
mata bisa jadi puisi. Tentunya hal demikian ialah persoalan bagaimana kita
dapat menyerap hikmah dari apa yang sudah tercipta dan mencari makna meskipun
sampai ke putih tulang. Jadi buku ini sangat dianjurkan untuk dikonsumsi dan
dinikmati puisi-puisi yang ada di dalam kaleng khong guan. Agar nantinya
pembaca yang budiman merekonstruksi kembali prespektif awalnya terhadap puisi.
Juga supaya penyair-penyair amatir seperti saya bisa berkiblat kepada
kesederhanaan bahasa dan kedalaman makna puisi serta keramahan puisi yang sarat
akan canda, tawa, dan jenaka. Pesan Pakde Jokpin, “Minumlah puisi serindu
sekali.” Selamat menikmati!
Tentang Penulis
FAJRUL ALAM, lahir di Kebumen, pada 15 Februari 2001. Perjalanan menimba ilmunya yakni, MI Ma’arif Adikarso, MTS Al-Iman, MA Al-Iman Purworejo. Sementara sekarang masih berjibaku dalam misi perburuan ilmu di UIN Prof. K. H. Saifuddin Zuhri Purwokwerto. Semoga ia senantiasa diberikan umur dan ilmu yang bermanfaat, serta diberkati gairah berkarya yang berapi-api. Karya-karyanya pernah masuk dibeberapa buku antologi puisi, seperti Khatulistiwa (Kosa Kata Kita, 2021), Reminisensi (SIP Publishing, 2020), dan Senja di Pelabuhan Kecil (Penerbit Kertasentuh, 2021).