OBROLAN DI MEJA MAKAN
Sore itu, saat gerimis mulai membasahi dedaunan. Aku melihat ibuku mondar –
mandir keluar masuk rumah.
“Ibu sedang apa?.” Tanyaku
“Bapakmu sampai
jam segini belum pulang, nak. Kemana dia?.”
“Oh iya Bu, Ani
lupa. Bapak tadi bilang akan pulang malam karena Pak RT juga minta dipijit oleh
bapak.”
“Owalah nak,
ibumu ini khawatir kok ya malah kamu lupa ngasih tahu ibu.”
“Hehe.” Aku terkekeh
sambil melanjutkan mengerjakan PR.
Pukul 8 malam Bapak sudah kembali ke rumah. Ibu menyambut bapak dengan pertanyaan bernada kekhawatiran
khas ibuku
“Kok sampai
malam, pak? Kata Ani, bapak ke rumah pak RT ya?.”
“Iya, Bu. Tadi
ketemu Pak RT dan beliau minta dipijit setelah bapak selesai memijat Kang
Samsul.” Jawab Bapak sambil menyodorkan Kresek putih
yang sedari tadi dipegangnya
“Apa ini pak?.”
“Makanan dari
Pak RT, Bu. Ibu belum masak kan?.”
“Belum, Pak. Lhawong
tidak ada bahan apa-apa pak, beras juga habis.”
“Alhamdulillah
dikasih makanan sama Pak RT Bu, dan ini uang bisa untuk belanja besok.”
“Ani, ayo makan
nak.”
“Baik Bu.” sahutku dari dalam kamar
aku keluar dan bergabung di meja makan bersama bapak dan ibu
“makan yang
banyak nak, ini ikan untuk Ani saja.”
“buat bapak sama
ibu saja, Ani makan telur ini saja Bu.”
“makan, nduk
biar kamu pintar dan nantinya bisa menjadi orang sukses. Jangan seperti bapak
dan ibumu ini. tidak berpendidikan jadi ya begini nak, hidup seadanya. Kerja
sebisanya bapak. Dari dulu ya begini-begini saja.”
“Sudah pak, ayo
makan. Ani besok juga harus sekolah.”
Kami makan dengan penerangan seadanya. Kami sudah sangat
terbiasa dengan keadaan seperti ini. bukan karena tidak ada listrik di kampung
kami melainkan karena keterbatasan biaya sehingga aliran listrik di rumah kami
diputus oleh pihak yang bersangkutan.
Setelah makan. Aku pergi ke kamar tidur sedang bapak dan
ibu masih mengobrol di meja makan. Aku mendengar jelas obrolan mereka karena
memang ruang makan terletak di depan kamarku.
“Bu, tadi Pak RT bilang sama bapak, ada
tawaran pekerjaan Bu, jadi kuli bangunan.”
“Adiknya Pak RT
yang jadi pemborong itu butuh orang
di mana pak.”
“Di kota Bu,
kata Pak RT kalau bapak mau, nanti berangkat sama Kang Samsul juga.”
“Jadi bapak mau merantau pak? Bapak kan
belum pernah jadi kuli bangunan pak?.”
“Kalau bapak ya
tergantung bagaimana ibu saja, kalau ibu boleh ya bapak berangkat. Lho belum
pernah jadi kuli bangunan gimana to Bu, bapak ini sebelum menikah sama
ibu ya kerja jadi kuli bangunan, ikut sama adiknya pak RT itu. Bapak memutuskan
untuk tidak merantau ya sejak neneknya Ani sering sakit-sakitan jadi bapak di
rumah dan kerja seadanya Bu. Bapak jadi tukang pijat itu mulanya ya Kang Samsul
itu, minta dipijit dan bilang, pijatanmu wenak lho kang Mad, gimana
kalau kamu jadi tukang pijat saja kang, bisa buat tambah-tambahan penghasilan
kang. Setelah itu bapak jadi tukang pijat dan menikah sama ibu itu.”
“Owalah pak, lha ibu kok ya nggak tau, wong
sudah 15 tahun menikah.”
“Hahha Bu buuu..
ibu ini.”
Mereka terdengar tertawa bersama.
“Jadi gimana Bu,
boleh bapak merantau? Nanti bisa buat biaya sekolah Ani Bu, sebentar lagi
dia juga masuk SMA, butuh biaya banyak Bu.”
“Kalau ibu sebenarnya
berat pak, bapak nanti jauh dari keluarga, belum tahu keadaan di sana seperti
apa. Tapi kalau dipikir-pikir lagi ya mau gimana pak, ngandelin uang
dari ibu buruh nyuci sama hasil pijat ya cuma cukup buat makan sehari-hari, itu
saja masih kurang pak.”
“Jadi bapak
merantau saja ya Bu? Besok bapak bilang ke Pak RT kalau bapak ikut merantau.
Ibu tidak apa-apa kan di rumah sama Ani saja?.”
“Tidak apa-apa
pak, bapak di sana ya hati-hati.”
“Iya Bu, ibu ini
khawatir sekali, wong bapak dulu ya sering merantau.”
“Itu kan sudah
lama pak, waktu bapak masih muda, sekarang bapak sudah tua, apa-apa Bu apa-apa Bu,
nanti di sana bapak mau bagaimana.”
“Halah ibu ini,
kok ya kayak anak muda saja, bapak ya bisa di sana Bu. Sudah,
ibu jangan khawatir, yang penting ibu sama Ani baik-baik saja di sini, bapak di
kota juga akan baik-baik saja. Ya sudah Bu, sudah larut besok pagi bapak mau ke
rumah Pak RT dan minta tolong besok pagi siapkan barang-barang bapak ya Bu.”
“Baik pak, mari
kita tidur.”
Aku mendengarkan sambil menangis, bapak yang sudah kepala
tiga mau berangkat merantau. Ah berat rasanya. Tapi aku tidak bisa membantu
apapun. Aku hanya bisa bertekad harus lebih rajin belajar.
Bapak dan ibu selalu mengatakan padaku sejak masih kecil
sampai sekarang aku kelas 3 SMP
“Nak, kamu harus rajin belajar dengan penerangan seadanya
supaya kamu menjadi orang sukses dan nantinya kamu bisa mengangkat derajat
keluarga kita. Kamu harus selalu semangat meskipun fasilitas belajarmu tidak
seperti teman-temanmu yang lain. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari
nak.” Dalam
hati aku selalu bertekad harus menjadi orang sukses agar nantinya orangtuaku
tidak perlu merasakan susahnya hidup seperti sekarang ini.
Tentang Penulis
Sri Nur
Handayani. Mahasiswa Prodi Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang. Lahir di Jepara 08 Februari 2002. Tempat tinggal di Jepara, Jawa Tengah.
Penulis dapat di hubungi melalui HP 081543337643 atau Email :
srinurhandayani2002@gmail.com.