CATATAN AKHIR TAHUN 2008
Senja ini tahun berganti
Antara pintu yang tertutup dan daun
yang terbuka
Sayap-sayap zaman
Siap memekarkan sejumlah senyuman
Tapi sejauh manakah detik berjalan
Menyusun dan mengarang langkah ke depan
Esok yang mengintip dan esok yang
setia
Punya kartu yang berbeda
Alangkah berat merangkak dari satu
detik yang mau lepas
Meskipun terbangnya seringan kapas
Astaghfirullah!
Pada tahun yang pergi berbegegas
dimakan rayap
DAUN
Tak terpikir, daun-daun itu
Berkeping, berjuta keping
Tak bertulis, tapi kalau hatimu bisa
menyikat
Pastilah akan terdapat ayat atau
puisi
Tapi rimbunnya
Menyimpan laut untuk berlayar
Untuk diam atau untuk berkobar
Aku ingin membaca walau selembar
Atau sekeping yang gemetar
Daun yang urat-uratnya menyambung
Nyawaku ke perut busung orang-orang
lapar
Sekeping daun yang kering
Yang konon ringan dibawa angin
Akan mencatat cuaca,
Embun yang berkilauan yang dulu
memantulkan kasih
Hanya berbisik dalam tiada,
Karena fana bukan habis segalanya
Lembar demi lembar tak
Menampung perih bintang yang
mendidih pedih
Membaca bumi yang pulang tanpa kaki
Tapi daun tetap daun
Setelah luluh ke dalam tanah
Yang kering pun akan kembali mengolah hijau
LAYANG-LAYANG SINGKARAK
Singkarak di tepi danau
Tapi aku memilihnya untuk mengigau
Dalam mimpi yang indah
Dosakah igau? Nanti dulu
Kita berembuk dengan airmata ibu,
Untuk apa kita mengalir
Meniru Batang Ombilin?
Menjadi sungai
Adalah saluran bagi danau
Untuk mengalir
Untuk ketemu laut
Dengan ombak yang mengajar nelayan
Mencintai air
Singkarak tidak berombak
Tapi danaunya kadang beriak
Berharmoni dengan takdir
Layang-layang terbang di atas
Memacu darah masa kanakku
Melawan rambu-rambu yang tak tampak
O, dunia dengan darah penuh gairah
Irama gendangmu
Membuat tak bosan aku menari
Meniru layang-layang
Saat matahari bercerita dengan gerimis
Belalai pelangi datang dengan warnanya
Kubuka keramahan
Pelangi minum ke dalam jantungku
SEKITAR KINCIR
Terlambat. Biarkan kalau sudah
terlambat. Tidak!
Tapi orang bilang, terlambat bukan
kiamat
Waktu kadang bagai cambuk kusir
bendi
Tapi kadang bagai lembar-lembar bulu
merpati
Yang runtuh sehelai-sehelai
Tapi kincir terus berputar,
Mengulang kemarin yang sudah dihapal
Aku mencatat, dan engkau berjalan
Ke mana bulan tak pergi-pergi,
Tak sampai-sampai kalau benar bumi
berputar
Lalu hidup menjadi segar
Oleh air, oleh segala yang mengalir
Kecuali kincir yang merasa terkutuk
Oleh kebosanannya sendiri
Lalu kita memilih jangan dulu bicara
jernih
Kita menempuh masih demi masih
Yang kita sayangkan pada waktu, pada
detik-detik itu,
Seperti tak menderingkan kasih yang
basah
PEMANJAT TEBING
Kau memanjat tebing Lembah Harau
Pasti ada yang engkau cari
Dari kekar otot-ototmu sendiri
Bukan kursi, bukan mahligai
Tapi tafsir dari sebuah pengembaraan
Meskipun kau bukan musafir
Bukan penyair
Tapi barangkali engkau seorang
musafir
Yang tak mau gagal memberi tanda
pada umur
Dengan sumur yang kau gali
Antara teka-teki hidup dan mati
Atau mungkin juga kau seorang
penyair
Yang dianggap orang terlalu murah
Menghargai maut
Tapi engkau tidak menyahut
Atau sudah tak punya takut
Kulihat di atasmu langit miring
Tapi tanganmu menjalar melebihi akar
Meskipun pelan, ada sesuatu yang
dikejar
Yang padaku terasa asing
Tentang Penulis
D.
Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang,
Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal,
nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura,
Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan
Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku
Airmata (1985), (5) Celurit Emas
(1986), (6) Derap-derap Tasbih
(1993), (7) Berlayar di Pamor Badik
(1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang
(1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku
Angin (1996), (10) Madura, Akulah
Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis
Empedu (2003), (12) Cinta Ladang
Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi
Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve
(1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia
(MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002).
Sastrawan-budayawan ini memenangkan
Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA
Write Award 2011 dari Kerajaan
Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron
mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa
kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember
2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan
dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron,
atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan
kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.