DI KEDAI KOPI
di kedai kopi dekat rumahmu
di antara dua bangku berhadapan
penjaga kedai sibuk menyeduh kopi
aku bersandar, menunggu kau datang
telah kupesan coklat matamu beserta
restu bapak ibu
di sepanjang penantian, kuletakkan
napasku pada pipihan meja
dan berharap angin dapat
menerbangkannya, mengiringi langkahmu
di antara orang-orang berteriak memesan
gaji
aku tetap menunggu kau menepi
Purwokerto, 2022
PADA SORE ITU
di antara gerimis dan senja terbenam
merah gincu dan sorot di sudut matamu
menusuk wajahku yang pasrah
sore itu, taman kota dan waktu
yang menggulungnya
es duren dan kepergianmu tertelan
menakutkan
kita duduk di kursi panjang
yang hanya menyisakan kau dan aku
waktu yang memburu
mengertakan pandangan
sore yang cepat selesai itu
pulang bersama doa dan dahaga
Purwokerto, 2022
HARI INI RESMI MILIKMU
hari ini resmi milikmu
setelah kita bergunjing tentang kawanan
burung
dan memar sayapnya
pilar masjid dan warna kubahnya
anak kecil melambai dan
es kepala yang cepat habis kepunyaanmu
hari ini resmi milikmu
setelah cemas itu pecah tepat mengenai
kita
diam yang merekatkan, dan
kembang-kembang yang merekah selepasnya
hari ini resmi milikmu
kau mengikat diriku menjadi deretan
pohon
yang berdiri di sepanjang jalan
Purwokerto,
2022
DUA JAM
dua jam melalui menit ini. Akan kupanjat
lekuk wajahmu. Patah hati yang tak mampu menyentuhmu itu selalu berkeliling
diam-diam di kepalaku. Meski begitu, merah kuku dan senja matamu masihlah doa
yang terbenam di ujung malam.
pintu pulang dan satu jam pertama. Kita
saling mengarahkan rindu dan melingkarkan waktu tunggu. Tatapanmu, sepenggal
kalimat yang jatuh di pematang sawah.
dua jam pada menit terakhir. Lambaian
tangan melepaskan aroma parfum paling kuat. Mengarah tepat pada tangisanku.
Purwokerto, 2022
BERKUNJUNG
barisan sajadah mengekor panjang
peci putih, mukenah putih
hangat opor di kepala
dua teh diseduh
lorong batinku
merekahkan terik matamu
lalu siang hari, di ruang tamu
tuan rumah mengunci pintu
aku terperangkap di lingkar bahumu
Purwokerto, 2022
RIMBUN KEPALAMU
rimbun pohon di kepalamu
hanya menyisakan malam para petapa
sedang aku tetesan gerimis
yang hanya bergoyang di daunmu
bau tanah yang menguar setelahnya
menjelma akar-akar
;mengikat dan menelan diriku beriringan
Purwokerto, 2022
RUMAH
;tubuh,
aku dan kepergian di masa corona
tubuh yang aku pinjam sebagai rumah
kini tergeletak dan tertawan di tengah
kecamuk
ia telah berbaring seharian, menanggung
kecemasan
tubuh tua yang aromanya menjulur keluar
ke persimpangan jalan, ke arah tiada
kini tiba waktunya, tubuh pucat dan
letih ini
memintaku mencari-cari rumah
agar ia dapat tidur santai dan tenteram
memintaku mencari-cari keluarga, agama
atau sesama manusia
yang bersedia memeluk dirinya
tubuh yang terkantuk-kantuk
kemudian memintaku menggambar rumah
di tubuhnya sendiri
memintaku untuk memasukinya dan tidur
bersama
Purwokerto,
April 2020
PENTAS
pada pentas kali ini
kita dilarang telanjang
meski gairah di sela napasmu berlarian
menyingkap selendangku
kita sungguh tak boleh telanjang,
apalagi naik ke panggung
di antara kita malam berangsur lebur
meninggalkan pertunjukan
meninggalkan jalanan
meninggalkan hutang
menuju rumah-rumah, singgah-menyinggah
menjelang subuh, kau terkantuk-kantuk
menabuh gendang
aku telanjang sendiri di ranjang
Purwokerto,
13 April 2020
Tentang Penulis
Efen Nurfiana.
Bergiat di Komunitas Pondok Pena Pesantren Mahasiswa An-Najah Purwokerto dan
Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Universitas Islam Negeri Prof. K.H.
Saifuddin Zuhri (UIN Saizu). Kini
ia menetap di Purwokerto, sembari berproses memperjuangkan pendidikan
Magisternya di Universitas Islam Negeri Prof.K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, koran dan media online. Dapat
dihubungi melalui Facebook Efen Nurfiana. Instagram Efennu.