PARADIGMA BUDAYA DARI K-POP
SAMPAI MI INSTAN
Oleh : Musyafa Asyari
Judul buku : Dari
K-Pop Hingga Mi Instan: Esai-esai Kajian Budaya Pop, Media Sosial, dan Ruang
Urban
Penulis : Zulfatun
Mahmudah, Puji Rianto, dkk
Editor : Budiawan
Penerbit : Ombak
Tahun cetak : I,
2022
Tebal : xvi + 154
halaman
ISBN :
978-602-258-608-1
Tidak mudah untuk mengaitkan benang merah dengan
esai yang satu dan esai yang lain. Lalu, apa yang dapat dihubungkan antara
topik yang satu dengan topik yang lainnya? Jawabannya adalah cara
memproblematikanya itu merupakan implikasi logis dari seperangkat asumsi dan nilai
dalam memandang kenyataan. Atau yang biasa disebut paradigma. Tidak bisa
dipungkiri, sama halnya dengan paradigma, kita sering kali merasakan kesulitan
dalam menemukan jawaban keseluruhan tatkala menghadapi dinamika dan fenomena
yang absurd di sekeliling kita. Buku kumpulan esai hasil kajian budaya ini
mengajak para pembacanya ikut berkiprah dan berkontribusi dalam memahami
fenomena tersebut
Fenomena itu sudah jelas jauh dari norma
kebudayaan kita, bahkan lebih tidak masuk akal lagi. Dinamika itu di luar
logika yang selama ini kita yakini. Seperti, kita tidak pernah menyadari bahwa
sifat kejantanan laki-laki di akhir-akhir ini terakomodasi secara besar-besaran
sejak pria-pria cantik bermunculan dari Korea. Mereka tampil dengan postur
tubuh dan lenggak-lenggok di atas punggung yang lainya seperti halnya wanita
atau yang sering kita kenal dengan Boy-Band.
Sejak ribuan tahun yang lalu kita
senantiasa diperlihatkan oleh sesosok lelaki yang tergambarkan lewat keringat,
kekar, garang, darah, pemberani, dan lain sebagainya yang selalu dikaitkan
dengan otot dan fisik. Bukti tersebut semakin diperkuat oleh pengaruh yang
terus disuguhkan lewat film Hollywood,
sebut saja tokohnya yaitu Hulk, Thor, dan Superman. Indonesia juga tak kalah
dari film Hollywood banyak tokoh dari
Indonesia yang perannya sama dengan tokoh Hollywood
tadi. Seperti Eko Uwais dan Joe Taslim. Mereka semua dianggap mewakili citra
manusia dalam hal maskulinasinya. Akan tetapi, sekarang malah banyak lelaki
yang terjun dalam dunia wanita seperti tik-tok.
Berbeda halnya dengan sekarang, karena
citra itu sudah semakin padam. Terutama di wilayah Asia tenggara, laki-laki
harus mempunyai postur tubuh yang elastis dan berkulit mulus, wajah putih dan
mata yang menawan, rambut berponi dan berwarna-warni, baju yang serba elegan,
memakai perawatan, bahkan ada yang sampai operasi plastik agar dirinya itu
cantik seperti halnya wanita. Itulah dampak yang di bawa oleh budaya K-Pop.
Buku berjudul “Dari K-Pop Hingga Mi Instan” merupakan esai-esai Kajian Budaya Pop, Media Sosial,
dan Ruang Urban ini dapat memberikan jawaban yang jelas akan budaya yang
terkesan absurd ini. Bahkan, kita sulit untuk menemukan dasar budaya tersebut.
Tapi alangkah mudahnya budaya tersebut masuk sehingga banyaknya fans yang
menirukan hal tersebut, tidak terkecuali di Indonesia. Banyak dari pemuda
Indonesia yang sudah terlena dengan budaya tersebut.
Esai dari Zulfatun Mahmudah. Misalnya, di
dalamnya kita akan membicarakan tentang soft maskulinitas yang lembut.
Disebutkan bahwa lewat K-Pop, soft
maskulinitas lahir sebagai identitas baru. Akibat dari hal itu, ada
kewajaran-kewajaran yang ditimbulkan untuk perilaku seorang laki-laki, misal memakai
berbagai make–up,
seperti lipstik dan bedak, kalung, bahkan bunga untuk riasan kepala. Perilaku
tersebut hari ini diterima tanpa visualisasi, bahkan pada banyak fenomena,
generasi laki-laki sekarang rela untuk memperelok tubuh dan wajahnya agar bisa semirip
mungkin dengan idola K-Pop mereka.
Hal itu sampai menimbulkan konflik pada Jumat
(1/10/2021) di Tokopedia Tower, Jakarta. Fans K-Pop tersebut menominasikan Tokopedia, yang menunjuk BTS dan
Blackpink sebagai brand ambasador-nya. Fenomena itu mengajak kita untuk kembali
mencermati bahwa jender adalah tentang apa yang dicitrakan, bukan apa yang
sepenuhnya melekat pada tubuh yang ditentukan berdasarkan alat kelamin.
Fenomena tersebut hampir sama dengan esai
yang ditulis oleh Puji Rianto tentang “Hijab”, Musik Rock, dan Negosiasi
Identitas. Penulis mengamati sosok YouTubers
bernama Siti Melani Sumartini, gadis berjilbab asal Garut, Jawa Barat, yang
terkenal gara-gara kemampuan bermain gitar dalam membawakan lagu-lagu bergenre rockmetal.
Kejadian itu menjadi perhatian publik,
hasil cover itu ditonton oleh jutaan orang dan mendapat pujian dari vokalis Metal,
James Hetfield. Oleh karena itu, Puji Rianto sangat fokus tentang hijab yang
selama ini diidentikkan sebagai simbol kesalehan perempuan sehingga menempatkan
dialektika tubuh berdasarkan norma-norma doktrin keagamaan.
Akan tetapi, fenomena Siti Melani, sedikit
banyak melampaui batas-batas itu, terutama saat ia yang berhijab dan memainkan
genre musik metal yang identik dengan dunia kaum Adam. Walaupun pemakaian hijab
tidak semata-mata dilihat dalam maknanya yang satu, tetapi perempuan dengan
kesadaran diri memutuskan untuk berhijab berarti ia telah sepenuhnya mengetahui
tentang identitas atas tubuhnya.
Identitas itulah yang kemudian dibaca
dalam bingkai; sejauh apa pun perilaku perempuan, hijab yang dipakainya akan
menjadi objek untuk terus dikritisi. Oleh karena itu, banyak kita jumpai
perempuan dihujat karena kesalahan atau kekeliruannya kemudian dihubungkan
dengan dirinya yang berhijab. Seolah-olah hijab menjadi subjek, dan sekaligus tolak
ukur tentang perilaku perempuan.
Dalam konteks yang demikian apa yang
dilakukan Mel menjadi fenomena ganjil, mengingat ia memainkan musik rockmetal,
tetapi dalam suasana religius yang
total. Musik cadas itu berisi dinamika yang mengentak, keras, bahkan
menjatuhkan, sementara kuasa identitas yang dibangun dari perempuan berhijab
adalah santun, sopan, dan ramah.
Masalah yang hampir serupa dapat ditemukan
pula dari esai karya Nirwansyah Putra berjudul ”Peci dan Dasi, Refleksi
Menggugat Indonesia”. Esai itu kembali mempertanyakan tentang esensi keaslian
peci dan dasi sebagai simbol identitas ”kostum keindonesiaan”. Peci dan dasi
adalah dua sinergi yang bertolak belakang. Mereka dipakai berbarengan dengan
jas, celana, dan sepatu. Menjadi baju formal, tetapi dari yang formal itu
sejatinya dibentuk dari pertentangan-pertentangan.
Dalam konteks berbusana orang Eropa, hal
itu tak pernah ada. Apabila peci dan sarung adalah wujud pertentangan kaum Indonesia
dalam menentang kolonialisme lewat busana. Bagi kaum Indonesia, berpikir ke
rana Eropa itu penting, disimbolkan
dengan memakai dasi, jas, dan sepatu. Namun, mereka harus tetap membumi, yakni
dengan berpeci. Sama seperti ketika para kiyai Jawa memadukan antara sorban dan
pecinya. Atau kalangan Ulama memadukan jas dan sarung. Jas ialah hanya sebatas
simbol moderat, tetapi peci dan sarung mengikat dirinya dengan identitas yang
ada.
Buku ini adalah kumpulan esai yang ditulis
oleh beberapa mahasiswa di Program Doktoral Kajian Budaya dan Media, Sekolah
Pascasarjana UGM. Dan dieditori oleh Budiawan. Buku ini cukup bagus untuk
dicermati lebih dalam lagi. Dikarenakan buku ini terdiri dari delapan esai,
yang hampir semuanya mengambil tema-tema klasik tetapi dikupas dengan
pendekatan kajian budaya yang terkesan elegan, sehingga dari yang klasik itu
menampakkan kompleksitas lapis-lapis wacana yang menyenangkan untuk diikuti.
Buku ini sangat bagus dijadikan koleksi
bacaan bermutu. Karena ditulis oleh mahasiswa yang sedang menempuh studi
doktoral. Maka dari itu bahasan dari buku ini sangat akademis, sehingga dapat
menyajikan sajian konsep dan teori yang sangat menarik didiskusikan. Dengan demikian
fragmentasi dari buku ini tentulah untuk masyarakat tertentu tapi alangkah
baiknya jika masyarakat umum juga ikut menikmatinya dikarenakan sisi positif
dari buku ini sangatlah banyak. Sampul
berserta judulnya pun sangat menarik sehingga seseorang yang melihatnya akan
tertarik untuk membaca dan mengetahui isi dari buku tersebut.
Tentang Penulis
Musyafa Asyari. Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri KH Syaifuddin Zuhri Purwokerto. Lahir di Benda, Sirampog, Brebes, 1 Juni 2003. Agama Islam. Bergiat menjadi anggota SKSP (Sekolah kepenulisan sastra peradaban). Moto hidup: kalian adalah pemimpin dan pemimpin akan dikenai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Domisili: Ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan Ponpes Darul Ghuroba Al-Hikmah 1, Ig/musyafa Asyarie, no hp: 085727228346. Dapat dihubungi di musyafaasyari03@gmail.com