SHINJUKU DAN PEREMPUAN BISU
Cahaya mentari kian merangkak ke arah barat. Ia terus terbenam
hingga cahaya lampu bingar-bingar menggantinya.
“Habis ini mau ke mana?” tanya Kenzo.
“Entah lah. Mungkin langsung pulang,” jawabku sekenanya.
“Sepertinya kamu harus menikmati salah satu distrik di dekat
sini.” Aku mengernyitkan dahi. Tidak tahu akan menjawab apa. Sebagai orang
asing di Jepang, aku hanya bisa mengiyakan segala ajakan teman kerja baruku
ini. Baru dua bulan aku pindah ke negeri sakura. Semenjak kenaikan pangkat di
Indonesia, aku dikirim oleh atasan untuk kerja di sini.
“Kinerjamu bagus. Aku akan memindahkanmu ke pusat perusahaan
ini. Tenang saja. Untuk masalah gaji, aku akan melipatgandakannya hingga lima
kali lipat,” ucap atasanku dua bulan lalu. Hatiku tidak bisa menolak
tawaran gila itu. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan dan akhirnya berada di
negeri yang cukup asing untukku. Perlu waktu dua bulan untuk menyesuaikan diri.
Rasa makanan, budaya kerja dan kehidupan di sini berbeda jauh dengan di
Indonesia. Aku hampir kewalahan untuk mengikuti budaya Jepang. Namun, Kenzo
selalu mengajari dan memberitahuku untuk fleksibel di sini.
Seperti biasanya, Kenzo memberitahu hal baru kepadaku. Ia mengajak
ke tempat hiburan yang terkenal di dekat kantor kami bekerja.
“Tenang, tempat itu tidak akan menguras dompetmu kok.”
Setengah jam setelah kantor tutup dan karyawan sudah pulang semua
ia mengajakku masuk ke mobilnya. Kami berangkat tepat matahari telah hilang di
langit. Malam menjadi teman kami saat itu. Lampu jalan menerangi laju mobil.
Jalan-jalan yang dipenuhi pejalan kaki kadang mengganggu laju mobil kami. Namun
aku suka budaya Jepang yang selalu mengunggulkan pejalan kaki atas pengendara
mesin.
Tidak sampai setengah jam semenjak meluncur dari kantor, kami tiba
di distrik Shinjuku. Benar kata Kenzo, daerah hiburan ini benar-benar
menghiburku. Belum masuk ke salah satu bar saja mataku sudah dimanjakan oleh
gadis-gadis mungil Jepang. Mereka berjalan melenggak-lenggok di tepi jalan distrik
tersebut. Sebagian berjalan sendirian, sebagian bersama seorang laki-laki, dan
sebagian lagi bergerombol.
“Dari sekian bar di sini, ada satu bar yang selalu membuatku
rindu,” celetuk Kenzo ketika sedang menyetir.
“Apa yang membuatmu rindu akan bar itu?”
“Nanti kamu juga akan tahu.” Aku tidak melanjutkan
perbincangan dan pertanyaan. Kenzo pun terlihat asyik dengan kemudinya walaupun
mobil tunggangan kami berjalan sangat lamban. Perlahan tapi pasti ia memarkir
mobilnya di sebuah gedung khusus parkir. Kami turun lalu berjalan kaki di
distrik itu. Langkah kaki kecil Kenzo terlampau cepat bagiku. Aku sedikit
kesulitan mengimbangi jalan Kenzo. Kami hampir terpisah karena ramainya tepian
jalan dan perhatian mataku yang menjelajah.
“Dasar orang udik,” ejek Kenzo. Akhirnya aku harus fokus
kepada tubuh Kenzo. Aku mengikuti setiap langkahnya. Ketika ia berbelok, aku
pun demikian. Hingga kami masuk ke sebuah bar yang tampaknya jauh lebih kecil
dibanding bar lainnya.
“Tempat seperti ini yang kamu rindukan?” tanyaku.
“Iya. Bukan perihal tempatnya yang membuatku terkesima, tetapi
orang di dalamnya.”
Kenzo menghampiri bartender tempat tersebut. Ia memesan sebotol
sake untuk kami berdua. Kami duduk di sofa yang berada di pojok bar. Aku
melihat pemandangan langka dengan takjub. Sepasang muda-mudi Jepang saling
berinteraksi dan duduk bersama.
“Apakah kamu ingin memesan gadis?” Aku terkejut dengan
pertanyaan Kenzo. Aku baru tahu bahwa gadis itu seperti barang yang dapat
dipesan.
“Apakah kau sudah gila? Mana mungkin hal itu terjadi.”
“Hey orang baru. Selama kamu punya uang, apa yang kamu
inginkan akan ada di depan mata.” Kenzo melambaikan tangannya ke bartender
tadi. Sang bartender meneruskan pesan Kenzo dengan tepukan tangan. Seketika
muncul gadis-gadis dari salah satu pintu di sana. Aku semakin terkesima dengan
tempat ini. Beberapa gadis berpakaian seksi mendekati kami. Walaupun aku
senang, namun aku merasa canggung akan hal itu.
“Ayo nikmati malam ini, Sayang.” Seorang gadis Jepang
membelai pipiku lembut. Ia kemudian mengelus pahaku yang dilapisi celana bahan
hitam. Aku semakin merinding ketika gadis-gadis tersebut bringas membelai.
“Walaupun banyak gadis di depan kita. Namun aku lebih tertarik
dengan salah satu gadis yang belum muncul,” bisik Kenzo persis di telinga kananku.
Aku tidak menyahut perkataannya. Aku sudah telanjur kaku. Di depan dan kiriku
sudah ada gadis yang menggoda. Mereka menarik-narik tanganku untuk berdiri.
Ketika aku sudah berdiri, mereka kembali menarik tanganku. Aku dibawa ke pintu
tempat mereka keluar. Setelah melewati pintu, sebuah lorong kecil terlihat.
Kanan dan kiri lorong terdapat beberapa kamar. Di salah satu kamar itu aku
dibawa mereka. Sebuah kamar sempit yang hanya menyediakan satu ranjang tidur.
Aku duduk di bibir ranjang dan dihadapkan dengan dua orang gadis. Mereka
menggoda dan aku dipenuhi birahi.
Setengah jam yang penuh syahwat telah lewat. Aku keluar dari kamar
meninggalkan dua orang gadis yang tergeletak lemas. Saat aku keluar, Kenzo
berada di depanku.
“Sudah selesai?” tanyanya sambil membenarkan resleting
celana. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Kenzo. “Kamu hebat juga
ya bisa mengalahkan dua gadis sekaligus. Oh ya, ini Kazumi.” Kenzo
mengenalkan seorang gadis yang tampak berbeda dengan yang lain. Wajahnya tidak
seperti orang-orang Jepang. Jika aku tak salah, wajahnya seperti orang-orang
Indonesia dengan kulit sawo matang.
“Apakah wanita ini yang membuatmu rindu akan tempat senakal
begini?”
“Tentu saja. Dia sangat manis dan liar. Sayangnya dia ini
bisu. Makanya kalau kamu bertanya kepadanya, kamu tidak akan pernah mendapat
sepatah kata pun keluar dari mulutnya,” terang Kenzo dan Kazumi hanya
tersenyum ketika lelaki itu berusaha menjelaskan tentang dirinya.
Kami keluar dari lorong. Kami mengajak Kazumi duduk ke tempat awal
minum sake tadi. Mulai saat itu aku selalu memerhatikan gerak-gerik Kazumi.
Walaupun ia tak pernah bicara, raut mukanya sangat menggoda. Aku hampir terbuai
dengan kecantikannya. Namun aku sadar ia milik sahabatku.
“Aku sudah tidak kuat lagi. Aku ingin pulang, apakah kau ingin
ikut atau ingin bersenang-senang dulu disini?” tanya Kenzo yang mabuk
berat.
“Aku ingin menikmati suasana baru dulu di sini.”
Kenzo pergi diantar oleh beberapa orang wanita penghibur keluar.
Tinggal aku dan Kazumi yang berada di lingkaran itu. Lagi-lagi aku dibuat
canggung. Aku tidak tahu akan berbuat apa kepada perempuan bisu. Kami hanya
diam hingga suasana bar tersebut benar-benar sepi. Untuk mengisi waktu sepi
ini, aku mencoba mengasyikkan diri dengan gadget—membuka beranda akun sosial.
“Sumi. Namaku Sumi.” Dua kalimat lirih keluar dari mulut
bisu Kazumi. Sontak aku kaget bukan main mendengar suara halusnya. Label bisu
yang disandangnya kini hancur oleh dua kalimat yang menggunakan bahasa ibuku.
“Sumi?” Aku mendekatkan diri dan berusaha mengobrol
dengannya. Dan tampaknya berhasil. Kazumi benar-benar berbicara kepadaku namun
dengan suara yang lirih.
“Ya, nama asliku Sumi. Aku berasal dari tempat engkau
berasal,” jelasnya lagi dengan bahasa kami—bukan Jepang.
“Bukankah kau seorang perempuan bisu?”
“Lebih tepatnya pura-pura bisu.” Kazumi alias Sumi
mengambil bungkusan rokok dan korek api gas yang berada di atas meja depan
kami. Ia mengambil sebatang rokok di dalamnya lalu mengampitnya dengan sepasang
bibir yang manis. Rokok disulut dan ia menghisapnya dalam-dalam. Kemudian
menghembuskannya dengan lepas. “Aku tak kuat menahan beban ini lagi. Aku
ingin bercerita namun aku takut melimpahkan ke orang yang salah,” jelasnya
lagi.
“Maksudmu?” Aku benar-benar tidak mengerti perkataannya.
Ketidaktahuan dan kepolosanku nyatanya membuat Sumi tertawa.
“Kau ini laki-laki bodoh ya,” ia kembali tertawa.
“Apa kau tidak pernah berpikir bagaimana rasanya seorang perempuan menjadi
pelacur untuk negeri lain.”
“Pastinya menyedihkan. Lalu kenapa kau memilih menjual diri di
sini dan berpura-pura bisu?”
“Ceritanya sangat panjang. Yang jelas aku dikelabui oleh orang
sini dan dijual di sini. Jika aku berani kabur, aku dan keluargaku bisa-bisa
habis oleh orang-orang biadab itu.”
“Lalu, kalau bisu?” tanyaku yang dibalas oleh gelak
tawanya.
“Selain bodoh, kau juga seorang yang tak sabar ya.” Ia
menghisap kembali rokoknya dan menghembuskan asap itu tepat di wajahku.
“Apalagi yang bisa dibanggakan dari pelacur yang menjual diri ke negeri
orang lain? Aku ingin merdeka, namun tubuhku saja sudah dijajah. Maka salah
satu cara agar aku merasakan merdeka adalah dengan memerdekakan bahasaku
sendiri.”
Sebenarnya aku tidak paham dengan apa yang dikatakannya. Namun aku
takut dihina lagi oleh wanita ini. Aku pun memilih menangguhkan pertanyaan
hingga ia sendiri yang akan menjelaskannya kepadaku.
“Aku bersumpah tidak akan menggunakan bahasa mereka untuk
berbicara kepada mereka. Walaupun itu sulit, aku sangat merasa senang dapat
melakukannya. Jika tubuh ini tak bisa merdeka, setidaknya bahasa yang aku
miliki jangan sampai dijajah,” jelasnya dan diakhiri oleh hisapan panjang
rokok di tangan mungil itu. “Ya sudah itu saja yang aku ingin bicarakan.
Setidaknya aku telah lega mencurahkan isi hati kepada orang yang baru aku
kenal. Namun aku juga bangga bisa berbicara dengan bahasa ini setelah sekian
tahun tak terucap.”
Aku hanya terdiam. Aku tidak bisa berkata-kata setelah mendengar
penjelasannya. Tidak habis pikir, ada saja orang hebat seperti dirinya di dunia
ini. Aku seperti terhina karena terkadang merasa bangga menggunakan bahasa
asing. Aku terus merenungi perkataannya. Sehingga menimbulkan kebisuan di
antara kami berdua. Kebisuan yang bertahan lama membuatnya jenuh dan
meninggalkan aku sendirian. Aku pun tidak akan menghabiskan waktu sendirian di
tempat ini. Aku pulang membawa beban pikiran.
Hampir semalaman aku tidak bisa tertidur pulas. Pikiranku diganggu
oleh ucapannya. Untuk membayar rasa penasaran, aku mengunjunginya lagi di
keesokan malam. Usai sampai di distrik Shinjuku, aku tidak menemukan Kazumi
alias Sumi di bar itu. Aku semakin penasaran. Kucoba mencari tahu kepada
bartendernya.
“Aku dengar ia mati bunuh diri kemarin malam. Tapi biarlah, masih banyak gadis-gadis di kota ini yang bisa
Anda pesan.”
Bagus Sulistio, lahir di
Banjarnegara, 16 Agustus
2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci,
Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan
Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra
Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia
juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan
anggota di KPBJ. Karyanya pernah menjadi nominator sayembara
esai Balai Bahasa Jawa Tengah, Juara 2 esai bahasa Arab FAC FEBI IAIN
Purwokerto, Juara 2 Lomba Cerpen Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasikan
dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada beberapa media seperti Suara Merdeka,
Kompass Id, Islami.co, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra
dan masih banyak lagi. Nomor Hp/WA. 083126620440.
Facebook : Bagus Sulistio.