DI BALIK KABUT NARMADA
Seorang dari kaum Rakshasa yang didandani dan mirip sekali seperti
Rahwana itu digelandang oleh prajurit Arjuna Sasrabahu, ia diikat dan diarak
berkeliling sebelum dibawa ke alun-alun Maespati. Tubuhnya yang gagah
telah penuh luka dan hampir tak bisa dikenali, tapi dia tak merasakan sakit di tubuhnya
sedikitpun, selain rasa sakit atas kesewenang-wenangan yang telah menindas
kehormatan perempuan, rakyat kecil, dan keserakahan yang menciptakan kerusakan
alam. Di tengah pidato kenegaraan Arjuna Sasrabahu, kesadarannya sudah hampir
hilang, dia tak dapat melakukan apa-apa. Tapi di balik tubuhnya yang terikat
tak berdaya, dadanya yang sesak, dan nafasnya yang tersenggal; api perlawanan
masih berkobar dan takkan pernah padam.
***
Kala itu di sebuah pertapaan di daerah Bhadravasvavarsa
dekat sungai Narmada, seorang laki-laki bertubuh legam, berperawakan
gagah dan kekar, tiba-tiba terbangun dari semedinya. Dia meloncat dan mengaum
laksana gemuruh guntur di musim ke tujuh. Perasaan kecewa dan marah tampak
jelas di sorot matanya yang nyalang. Orang-orang di sekitar pertapan yang
mendengar teriakannya itu segera menghambur dan menuju ke sumber suara tersebut.
Masih dengan napas yang memburu, laki-laki itu berkata dengan nada yang berat
dan berwibawa.
“Aku melihat genangan darah meluap dari sungai Narmada!”
Orang-orang di sekitarnya menunduk, kepala mereka diliputi dengan tanda tanya,
akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang menganggap perkataan itu adalah
mimpi atau halusinasi semata. Mereka semua sangat sadar akan pertanda yang didapat
oleh seseorang yang telah diwejang ilmu Sastra Jendra Vijnana (Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu). Dengan satu tarikan napas, laki-laki
itu melanjutkan
“Marica! Bawalah beberapa orang bersamamu, selidiki apa dan siapa
yang sedang membuat ulah di sekitar sungai Narmada.”
“Sendika dawuh, Sinuwun.” Ditya Kala Marica, Rakshasa ahli
penyamaran dan intelejen Alengka itu segera menyahut, matanya menatap ke
beberapa rekannya, memberi isyarat anggukan dan kemudian melangkah pergi.
“Untuk yang lain, segeralah evakuasi warga pertapaan atau pun warga
desa sekitar pertapaan, terlebih untuk yang tinggal di daerah yang lebih rendah,
bantulah mereka menuju ke tempat yang lebih tinggi. Aku punya firasat yang
buruk terhadap tempat ini!”
“Sendika!…. Sendika!… Sendika!…. Mohon pamit Paduka!” Orang-orang
Alengka itu segera menyahut dan segera melaksanakan perintah dari raja mereka;
Rahwana.
Selang beberapa jam kemudian, para penduduk di sekitar pertapan
mulai menuju ke tempat yang lebih tinggi. Mereka di bantu oleh
prajurit-prajurit Alengka. Salah seorang prajurit menghadap bersama beberapa
penduduk.
“Paduka Raja Prabu Rahwana…” Prajurit itu memberi hormat kepada
rajanya, kemudian mempersilakan penduduk itu untuk menghadap.
“Mohon izin, Sinuwun, hamba mendapat kabar bahwa permaisuri Raja
Maespati; Dewi Citrawati (titisan Dewi Sri / Dewi Kesuburan), mengingikan mandi
bersama selir-selir Prabu Arjuna Sasrabahu yang berjumlah delapan ratus. Untuk
mewujudkan keinginan permaisuri tersebut, Prabu Arjuna Sasrabahu melakukan triwikrama,
triwikrana berwujud brahala sewu itu tidur melintang dan membendung
sungai Narmada.”
***
“Ketiwasan, Sinuwun. Ada bendungan besar yang memotong
sungai Narmada. Bendungan itu berbentuk seperti seorang raja yang sedang tidur
melintang. Bendungan itu dibangun oleh raja Maespati, Prabu Arjuna Sasrabahu.
Pembangunan bendungan tersebut menjadikan air naik di hulu sungai dan
membanjiri daerah sekitar sungai. Tidak hanya itu, penambangan batu yang
dilakukan oleh orang-orang Maespati juga mengakibatkan beberapa desa di sekitar
sungai Narmada mengalami kerusakan lingkungan hidup” Kala Marica agak ragu untuk
mengatakannya, ia sedikit menunduk. Rahwana yang melihatnya segera tanggap.
“Katakan Kala Marica, akan kudengarkan.”
“Kami melihat air di sekitar bendungan berwarna merah seperti air
yang bercampur darah, Paduka.”
“Bukankah katanya bendungan itu untuk mandi permaisuri dan delapan
ratus perempuan lain yang dijadikan selir ?” kening Rahwana agak berkerut
seperti memikirkan sesuatu.
“Keparat! Itu hanya pencitraan dan ternyata benar firasatku.”
“Satu lagi, Paduka. Sang Sukrasana, Ksatria berdarah Rakshasa yang
tekenal dengan dharmanya itu telah tewas terbunuh beberapa hari yang lalu
setelah peresmian taman kerajaan.”
“Siapa yang telah membunuhnya?”
“Menurut kabar, ia telah tewas oleh kakak kandungnya sendiri; Patih
Sumantri. Kabarnya Sumantri yang
mempunyai warna kulit lebih terang sebagai tanda bahwa keturunan kaum
Arya, merasa malu dengan Sukrasana yang berkulit sebagaimana keturunan Kaum
Rakshasa. Tapi maaf, Paduka, menurut hamba itu agaknya tidak masuk akal, sebab
kabarnya Sukrasana mempunyai tubuh yang kerdil dan bermuka jelek, sedangkan
sepengetahuan hamba Sukrasana adalah manusia normal seperti kita, hanya saja
dia keturunan kaum Rakshasa di tengah kaum Arya.”
Mendengar penjelasan dari Marica, muka Rahwana semakin merah padam.
“Memang kaum Arya tidak pernah menganggap Rakshasa, Naga, ataupun
saudara-saudara kita yang lain sebagai manusia. Siapkan Pasukan! Kita gempur
Maespati atas nama kaum Rakshasa, perempuan, dan orang-orang yang telah
diinjak-injak oleh kesewenang-wenangan.”
“Ampun, Paduka Rahwana… Apakah sebaiknya dipertimbangkan dulu
sambil kita mencari celah bagaimana melumpuhkan Arjuna Sasrabahu dan pasukan
Maespati?” Patih Alengka yang bijak segera menyela.
“Ada apa, Paman Patih Prahasta yang bijaksana, apakah Paman
meragukan kekuatan Alengka?”
“Bukan begitu, Anakku” Patih Prahasta menarik napas panjang. Dalam
hatinya sama sekali tidak ada keraguan, hanya saja Patih Prahasta ingin Rahwana
lebih hati-hati ketika berhadapan dengan musuh yang mempunyai gerakan
terstruktur, sistematis dan terencana.
“Maespati merupakan kerajaan yang besar dan kokoh. Arjuna Sasrabahu
sendiri terkenal sakti dan pandai bertempur. Belum lagi kabarnya ia merupakan
titisan Wisnu dan dapat bertriwikrama menjadi brahala sewu.”
Patih Prahasta mencoba menjelaskan dengan halus tentang orang-orang Maespati
yang pandai membangun cerita dan citra.
“Paman Patih Prahasta, bisa jadi citra itu dibangun, toh laporan
dari Kala Marica mengatakan bahwa yang menutup sungai Narmada bukanlah brahala
sewu, melainkan bendungan yang sengaja dibangun menyerupai seorang raja
yang tidur melintang. Aku tidak meragukan kemampuan tempur Kaum Rakshasa yang
tangkas dan disiplin. Lagi pula, apa yang dilakukan orang-orang Maespati itu
harus segera dihentikan sebelum menimbulkan bencana besar dan menelan lebih
banyak korban.”
“Baiklah, Ngger… jika itu memang keputusanmu aku yang tua ini akan
tetap mendukung, tapi aku harap jangan sampai membawa terlalu banyak
penderitaan orang banyak.”
***
Pagi itu, surya telah menggantung namun langit mendung, awan-awan hitam seolah tak mengizinkan sinar
surya bersetubuh dengan tanah, hawa dingin perbukitan itu pun masih terasa
begitu menusuk kulit. Pasukan Alengka yang dipimpin Rahwana dengan perlahan
namun pasti mulai mendekat ke arah bendungan Narmada. Tidak seperti biasanya,
pasukan itu tidak menabuh iring-iringan perang, mereka hanya berjalan dengan
kesunyian dan dada yang terbakar. Semakin mendekat ke arah bendungan, Rahwana
dan yang lainnya semakin mencium bau aneh, seperti darah manusia yang masih
segar bercampur dengan bau tanah pagi hari.
“Paduka!” Teriak salah seorang bawahan Marica.
Terlihat di depan pesanggrahan di dekat bendungan itu penuh dengan
mayat-mayat yang tergeletak. Tanah telah berubah merah dan udara beraroma anyir
darah.
“Patih Sumantri!” Kala Marica tersentak. Rahwana dan beberapa
pembesar lainnya segera mendekat.
“Astaga! Cari tubuhnya, dan satukan, orang-orang ini layak untuk
dihormati sebagai ksatria” Rahwana segera memangku kepala Sumantri. Seketika suasana
menjadi tegang dan orang-orang tercengang.
Di sela-sela ketercengangannya, pasukan itu kembali dikejutkan oleh
sesuatu yang bergerak di antara tumpukan mayat yang menggunung. Sebuah lengan
yang tertimbun mayat-mayat bergerak, jari-jarinya menggapai-nggapai, sontak
para prajurit Alengka segera menyingkirkan mayat-mayat yang menimbun. Orang itu
tampak lemas dan sekarat. Rahwana segera mendekatinya.
“Beri dia air!” teriak Rahwana.
Setelah meminumkan, beberapa prajurit mencoba mengevakuasi dan
mengangkat tubuhnya, tapi orang itu menolak.
“Tidak usah repot-repot, Paduka. Hamba sangat berterimakasih…, tapi
hamba rasa kematian telah semakin dekat dan segera menjemput hamba.” orang itu
berkata dengan suara serak dan pelan, serta sesekali terbatuk.
“Ada yang ingin hamba sampaikan sebelum hamba menyusul
saudara-saudara hamba ke swargaloka….” Orang itu menghentikan kata-katanya
sambil melirik mayat-mayat yang sedang dievakuasi oleh pasukan Alengka.
Ia menghela napas lalu melanjutkan dengan mata nanar
“Kampung hamba telah hancur. Orang-orang itu telah mengambil dan
merusak semuanya. Setelah pembangunan taman Sriwedari, mereka belum juga puas,
mereka ingin membuat bendungan yang sangat besar dan batu-batu yang membangunnya
ditambang dari desa kami. Tanpa kesepakatan apapun. Ratusan prajurit tiba-tiba
mengepung kampung kami, dan langsung merudpaksa tanah kami yang asri.
Tanah kami yang dulunya bukit itu kini telah hancur bahkan tidak layak untuk
kehidupan binatang”
Orang itu berhenti dan air kesedihan mulai menetes dari kedua
matanya.
“Patih Sumantri dan
orang-orangnya tidak sependapat dengan kebijakan raja. Patih Sumantri dijadikan
kambing hitam atas kematian misterius Sang Sukrasana di taman Sriwedari, taman
yang bangun sendiri. Sepengetahuan hamba, Sang Sukrasana, ksatria berdarah
Rakshasa yang bijak itu telah terbunuh setelah menolak pembangunan bendungan.
Kami selama beberapa waktu dapat selamat di bawah perlindungan Patih Sumantri.”
Ia menatap ke arah kepala Sumantri, ia sedikit terisak, dengan
menahan perasaannya dan kembali bercerita.
“Tapi apa daya… kami hanyalah orang kecil sementara mereka datang
dengan berlaksa-laksa tentara. Fajar tadi, di bawah pimpinan Patih Sumantri,
kami menginginkan keadilan, tapi beginilah akhirnya. Kami tetap kalah dan
terkapar di bawah tirani kekuasaan” orang itu menatap ke langit, nafasnya
semakin payah.
Dengan sisa kekuatannya ia melanjutkan “Anak dan istri kami sedang
berjalan menuju ke Bhadravasvavarsa, tolong selamatkan mereka, Paduka…”
Ia menarik napas panjang “Kemarin tanah
kami.. bukan tidak mungkin… be..sok.. hal ini terjadi di ta..nah.. ka…li…an…”
Orang itu memandang sekelilingnya sebelum pandangannya mengarah ke
langit dan setelah beberapa saat kemudian matanya tak lagi berkedip.
Rahwana dengan perasaan hati yang bercampur segera memerintahkan
pasukannya untuk mengevakuasi para perempuan serta anak-anak, yang suami dan
ayahnya telah gugur menjadi mayat. Sebagian pasukan yang lain, memindahkan
mayat-mayat dan memberikan pada mereka upacara kematian sebagaimana seorang
kusuma bangsa yang gugur. Hati Rahwana terasa sesak, ia ingin sekali menggempur
Maespati, tapi ia tidak bisa membiarkan anak-anak dan perempuan terlunta-lunta
tanpa suaka.
***
Mengetahui Rahwana telah sampai ke Maespati dan telah mengurus
mayat-mayat pasukan Sumantri, Arjuna Sasrabahu geram. Raja Maespati itu
memerintahkan pasukannya untuk mencari seseorang berdarah Rakshasa dan
mendandaninya seolah-olah seperti Rahwana. Orang yang dimirip-miripkan dengan
rahwana itu diikat dan diarak keliling Maespati sebelum dibawa ke alun-alun. Setelah
sampai di alun-alun dengan lantang Prabu Arjuna Sasrabahu naik ke mimbar “Wahai
rakyat Maespati! Sumantri telah gugur, sekalipun dia telah berdosa membunuh
adiknya, tapi jasanya tetaplah besar kepada Negara Maespati. Patih Sumantri
telah gugur sebagai kusuma bangsa. Ia dengan gagah melawan Rahwana, Raja
Rakshasa yang bejat! Tapi tenanglah, aku telah menangkapnya dan dia kini
terikat seperti seekor monyet pencuri yang kehilangan ekornya! Hahaha!”
“Hidup Prabu Arjuna! Hidup Raja Maespati!”
Berita tentang Sukrasana, Sumantri, kekalahan dan kejahatan Rahwana
itu segera menyebar ke seantero kerajaan, serta terus menerus terjaga oleh
kekuasaan dari zaman ke zaman.
Purwokerto,
Maret 2022
Tentang Penulis
Dewandaru Ibrahim Senjahaji,
seseorang yang masih belajar menulis. Berproses di Sekolah Penulisan Sastra
Peradaban (SKSP) UIN SAIZU Purwokerto. Pernah menjadi teman belajar anak-anak
SMK Tujuh Lima 1 Purwokerto, sekarang menjadi kawan belajar anak-anak SMKN 2
Purwokerto dan belajar di Pascasarjana Sosiologi Unsoed Purwokerto.