PERDEBATAN
SASTRA INDONESIA
Oleh : Aditya Setiawan
Secara
politis, sastra Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Di mana tanggal
tersebut terdapat momen sejarah yaitu sumpah pemuda. Salah satunya terdapat
teks yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia”. Melalui pengakuan tersebut, sastra Indonesia bisa dikatakan
lahir. Bahasa Indonesia menjadi medium sastra Indonesia. Seperti halnya, tanah
liat sebagai bahan utama seorang pematung. Menurut Ajib Rosidi dan Umar Junus,
sastra baru dikatakan ada apabila bahasa yang digunakan diakui.
Jauh
dari lahirnya sastra Indonesia melalui sumpah pemuda, sastra Indonesia lebih
dulu ada. Sastra Indonesia sudah ada sejak adanya bahasa melayu. Hal ini
ditandai dengan terbitnya novel Azab dan
Sengsara dan Siti Nurbaya oleh
Balai Pustaka. Novel tersebut menjadi bacaan rakyat di tahun 1921.
Perdebatan-perdebatan lahirnya
sastra Indonesia sebenarnya masih berlangsung sampai hari ini. Banyak para ahli
yang berpendapat berbeda-beda. Ada yang berpendapat pada landasan formal. Ada
pula yang berpendapat lahirnya sastra Indonesia mulai dari kultural bahwa
lahirnya Indonesia adalah ketika munculnya semangat ke–Indonesiaan itu
sendiri, baik waktu sumpah pemuda, kebangkitan Bangsa, atau terbitnya novel-novel berbahasa Indonesia.
Metode Kritik Sastra
Selain
perdebatan mengenai lahirnya sastra Indonesia, perdebatan mengenai metode
kritik sastra juga pernah ada. Ada dua metode kritik sastra yang pernah
diperdebatkan yaitu metode kritik ganzheit dan rawamangun. Dua metode kritik
tersebut dilandasi oleh beberapa kritikus sastra di Indonesia. Metode kritik
sastra ganzheit dipelori oleh Arief Budiman dan Goenaman Mohamad, sedang metode
kritik sastra rawangangun dipelori oleh M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, M.
Saleh Saad, dan Boen Sri Oemarjati.
Metode
kritik sastra ganzheit diperkenalkan pertama kali oleh Goenawan Mohamad melalui
gagasannya yang berjudul Tema Bukan
Sebuah Utopia Kecil tahun 1966. Kemudian selanjutnya ditekan kembali oleh
Arief Budiman melalui esainya yang dimuat di majalah Horizon No. 4 Th. III,
April 1968 yang berjudul Metode Ganzheit
dalam Kritik Seni dan pada simposium yang diadakan oleh Pusat Bahasa pada
31 Oktober 1968 bersama Goenawan Mohamad. Kedua kritikus tersebut berpendapat bahwa kritik
ganzheit merupakan sebuah metode kritik sastra yang berbicara melalui
partisipasi dari sang kritikus itu sendiri. Lebih lanjut, Arif Budiman
menjelaskan unsur-unsur secara dinamis mengadakan interfensi yang menghasilkan
sebuah kualitas baru.
Berbicara metode kritik sastra
Rawamangun. Kritik sastra Rawamangun dipelori oleh kelompok kritikus sastra
yaitu M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, M. Saleh Saad, dan Boen Sri Oemarjati.
Metode kritik sastra ini dapat dikatakan sebagai kritik sastra akademik. Dalam
segi penulisan dan metode, metode kritik sastra Rawamangun dilakukan secara
ilmiah. Sebagai pendukung kritikus, pada umumnya berlandaskan pada teori-teori
kritik sastra dari ahli sastra yang bersangkutan.
Sastra Cetak dan Sastra
Digital
Tidak
berhenti begitu saja. Perdebatan perkara sastra Indonesia masih berlarut-larut.
Salah satunya adalah perdebatan antara sastra cetak dan sastra digital. Di
tengah perkembangan zaman yang canggih, mau tidak mau sastra harus mengikutinya.
Digitalisasi menjadi medium karya sastra di era saat ini.
Menurut
Jamal D. Rahman, perkembangan tekhnologi menjadi salah satu contoh dari
sedikitnya perkembangan sastra di Indonesia. Perkembangan itu sendiri dapat
dilihat dari corak dan bentuk karya sastra. Jika kita melihat perkembangan
masyarakat atau budaya ke belakang, sastra dimulai dari budaya lisan ke cetak,
kemudian ke budaya digital yang sangat terasa bagi sastra sekarang ini. Sastra digital yang kita temukan menjadi
faktor utama perkembangan dalam bentuk sastra.
Hadirnya
fenomena sastra digital saat ini menjadi dilema bagi pegiat sastra cetak. Apalagi
bagi pegiat media massa konvensional. Hingga saat ini beberapa kolom surat
kabar sastra mulai tutup. Katakan saja seperti kolom Bendrong Kulon Radar
Banyumas. Tepat pada tanggal 26 September 2021, secara resmi kolom Bendrong
Kulon Radar Banyumas ditutup. Hal itu disampaikan oleh redaktur kolom budaya,
Jarot Setyoko. Dia menyampaikan dalam esainya, bahwa di tengah akselerasi
perkembangan teknologi informasi, media massa konvensional merasa sulit untuk
bersaing.
Istirahatnya kolom Bendrong Kulon inipun
memancing kesedihan bagi pegiat sastra di Banyumas. Tak bisa dipungkiri, 4
tahun lamanya kolom tersebut menjadi pelopor kehidupan sastra di Banyumas
maupun Barlingmascakeb. Kolom Bendrong Kulon sudah menjadi wadah bagi pegiat
sastra maupun penikmat sastra di Banyumas. Selain itu, kolom tersebut juga
sudah melahirkan penulis-penulis muda Banyumas.
Tentang Penulis
09 Desember 1994. Bermukim di Tanjung RT 03 RW 04 Kecamatan Purwokerto Selatan
Kabupaten Banyumas. Alumni Program Pascasarjana PBSI Universitas Muhammadiyah
Purwokerto. Bergiat di Komunitas Penyair Institute Purwokerto. Surel: adityasetyawan75@gmail.com.