Di Pameran Lukisan
Di
pameran lukisan, aku tidak sendiri, aku bersama para lukisan yang memajang
pelukis-pelukisnya, warna dan garis,
tebal dan tipis, sangar dan manis, serta segala yang cair di kepala seorang
pelukis.
Aku masih
ingat saat kau menanyakan “tak adakah galeri di kota ini?” aku hanya
menggeleng. Kota ini punya cerita, Sokaraja dan surga bagi para lukisan.
“Iyakah? Bagaimana? Kau bisa cerita?” Kau bertanya seperti pelukis
yang kehilangan catnya.
Tapi
kau tak perlu menanyakan hal yang tak dapat kujawab. Sebab kota ini pun penuh
tanda tanya.
Di
hadapan sebuah lukisan mukamu berkerut. Lalu kita berdebat soal teknik yang
hebat atau makna yang begitu lebat di balik bentuk dan warna yang rapat.
Seperti seorang maestro, kau dengan semangat mendongengkan kisah
lukisan-lukisan dan seketika aku merasa berada di tengah-tengah jamuan makan
malam antara Afandy, Jackson Pollock, Raden Saleh, Vincent Van Gogh dan Pablo
Picasso.
Aku
tidak benar-benar sendiri, aku mendengar kau berbicara dari lukisan ke lukisan:
“ini teknik tinggi, ini sedih sekali, bagus, aku suka warnanya!”. Kau
menarikku ke hadapan lukisan kendi: “ini persis seperti tubuhmu ” kau
lantas tertawa. Aku memasang wajah kesal dan tawamu makin renyah sambil kau
menepuk pundakku.
Menyenangkan
melihat kau kembali utuh menjadi perempuan.
Sampai
di lukisan yang paling ujung, aku agak maju dan kau sedikit di belakangku.
Sebuah lukisan berwajah perempuan menenteng canvas dan kuas berjalan di kota
yang subur dengan buku dan puisi. Aku menggodamu dengan mengatakan perempuan
ini lebih cantik dari lipstik dan bedakmu.
Kau
diam, aku maju sedikit lagi dan menenggelamkan pengamatanku ke lukisan
perempuan yang wajahnya mirip denganmu itu. Tercium aroma cat basah yang kau
suka. Lihatlah perempuan ini betul-betul lebih cantik dan sepertinya tak suka
menggerutu.
Kau
tetap diam. Kupikir aku gagal melucu. Kubalikan badan. Dan yang kulihat
hanyalah galeri yang sepi meski dengan lukisan-lukisan yang ramai. Bau cat
basah kembali menusuk, persis seperti bau cat basah saat pertemuan pertama kita
di depan lukisan yang kau beri judul “Rumpang”.
Aku
berbalik dan bermaksud menenggelamkan diri di lukisan perempuan yang wajahnya
mirip denganmu. lukisan itu telah lenyap, hanya ada tembok kosong yang dingin
dan pucat. Dua pengunjung yang tersisa di galeri menatapku dengan mata kosong
dan geli.
Sepintas
aku mengingat keinginanmu. Berkunjung ke galeri mengamati warna dan garis
bekerja lalu menenggelamkan diri dalam diskusi. Perlahan, aku berjalan melewati
pintu keluar dan berkata dalam hati : aku akan ke pameran lagi dan menemukanmu
kembali.
Purwokerto, 10 Agustus 2021
Ada Yang Patah Hari Ini
Ada
yang patah hari ini
Seorang
perempuan meninggalkan kekasih hati
Dan
seorang penyair kehilangan puisi.
Ada
yang patah hati ini
Seorang
perempuan tertatih berjalan sendiri
menyusur
hiruk pikuk luka-luka
di
jalan kota yang ramai, namun sepi.
Seorang
laki-laki terhimpit sedihnya sendiri,
ia
gagal menyelamatkan ingatan
yang
selama ini ia rawat dalam puisi.
Anak-anak
diksi tertimbun dan mati.
Ada
yang patah hari ini
Jembatan
penyeberangan antara laki-laki perempuan
yang
dibangun dari tiang-tiang doa penyangga malam telah runtuh.
Tidak
ada suara, tidak ada sapa, atau lagu-lagu
yang
terdengar dari ujung bibir ke ujung bibir.
Laki-laki
dan perempuan hanya bisa
saling
mengintip di kejauhan, melalui kotak kecil
dan mengutuk
lelah masing-masing.
Ada
yang patah hari ini
Seorang
laki-laki dan seorang perempuan berjalan
sendiri-sendiri
diantara
puing-puing doa yang mereka bangun bersama.
Segalanya
telah runtuh, sedang luka semakin tegak.
Ada
yang patah hari ini
Seorang
perempuan pergi
dan
seorang penyair kehilangan puisi
Purwokerto, 29 Juli 2021
Satu Tahun
Satu
tahun yang begitu panjang
Telah
lewat dengan cepat seperti kilat
Dan
sedetik kemudian gemuruh guntur
Mengubah
kita menjadi anak kecil yang ketakutan.
Perpisahan
adalah ruang yang sesak dan kejam
Sebab
di sana pintu luka telah dibuka selebam-lebamnya
Dan
kita masuk ke dalamnya
Seperti
seekor singa tua yang pulang setelah kalah perang
Tapi
kita musti tahan, seperti katamu yang naif:
Kita
tak boleh berlama-lama saling menyakiti.
Padahal
kaulah yang memikul kesakitan paling besar
Baiklah,
jika aku dan kau
Musti
sepakat dengan pilihan-pilihan
Dan membangun
kesepakatan dengan Tuhan
Untuk
pilihan-pilihan atau kembali pada pertemuan
Di
hari yang lain.
Purwokerto, 19 September 2021
Sajak Seorang Penyair Kepada Perempuan Yang Hampir Jadi Pacarnya
Masih
adakah yang tersisa
Dari
jalan sepanjang Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto
Selain
siang yang berpindah sore
Dan
selain malam berganti pagi
Yang
semuanya terasa begitu malam
Aku
tidak melihat matahari terbit
Atau
matahari tenggelam
Sebab
langit-langit telah runtuh
Setelah
kabar pertunanganmu
Di
sepanjang jalan Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto
Lubang-lubang
jalan kalah bobrok
Dengan
luka batin yang koyak
Aku
telah jauh-jauh ke kotamu
Bersama
rasa kantuk dan lelah badan
Semata-mata
bukan hanya untuk
Menemui
pagar rumahmu yang beku
Aku
ingin menyembuhkan ingatan bahwa
Tidak
ada apa-apa di antara kedekatan kita
Dan
kesenangan kemarin hanyalah profesionalitas kerja semata.
Aku
berdiri di depan pintu pagar rumahmu
Lampu
teras masih menyala
Tapi
tujuh kali aku mengetuk telfonmu
Tujuh kali pula kau menolak telfonku
WhatsAppmu
online dan pesanku centang dua biru
Tapi
pintu pagar tetap dingin dan beku.
Setelah
tujuh menit berselang
Dari
puntung ke lima yang kubuang
Akhirnya
aku harus pulang
Dengan
membawa kekosongan yang penuh.
Aku
tidak menyesal menyusur jalan Purwokerto-Madiun
Madiun-Purwokerto
dalam semalam
Meski
begitu terasa kantuk dan lelah badan
Lubang-lubang
sembarangan
Atau
bensin yang menguras sisa-sisa uang gajian
Aku
tidak menyesal menyusur jalan Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto
Sebab
setelah pulang dari kotamu,
Purwokerto
telah menjadi ruang baru;
Sebuah
museum lapang
yang
menyimpan kau dan aku.
Purwokerto, Juni 2021
Tiba-tiba Desember
Tiba-tiba Desember,
tahun bergerak seperti laju kereta
dan bulan-bulan sebelumnya
adalah pemandangan-pemandangan yang terlewat di
jendela.
Kau berada di kereta lain,
merasakan tiba-tiba Desember,
tahun bergerak seperti laju kereta
dan bulan-bulan sebelumnya
adalah pemandangan-pemandangan yang terlewat di
jendela.
kita musti turun di stasiun berikutnya
membeli tiket ulang, dan duduk di gerbong yang
sama,
lalu kembali menikmati tahun-tahun berjalan
dan bagaimana takdir bekerja.
Purwokerto, Desember 2021
Tentang Penulis
Dewandaru Ibrahim Senjahaji, lahir di Banyumas 03 Juni 1994. Awal
berproses di Sekolah kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP). Beberapa puisinya termaktub dalam antologi puisi Dari Negeri Poci 6 “Negeri Laut” (2015), “Matahari Cinta Samudra Kata” (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Dari Negeri Poci 7 “Negeri Awan” dan lain sebagainya. Tinggal di Desa Pasir Lor RT 03/02 Kecamatan Karang Lewas, Kabupaten Banyumas. Sekarang menjadi teman belajar anak-anak
SMK N 2 Purwokerto.