Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi-puisi Listin Wahyuni

Admin by Admin
17 Juni 2022
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

OTSU, SUATU SORE DI PENGHUJUNG MUSIM SEMI*

 

sebentar lagi saat berangkat

jadi tetapkanlah hati

karena tak ada gunanya lagi berharap :

            matahachi,
sang matahati

telah menyia-nyiakan sutra yang bersulam ribuan

cerita tentang kesetiaan…..

 

ikutlah takuan memecah hening malam

mencoba mencari perusuh yang menggores luka

(barangkali ia sembunyi dalam dukamu sendiri)

engkau bisa menghukumnya, otsu

bukan takezo, tetapi harapan yang membubung tinggi

hukumlah mati..dan biarkan pesta bunga di kuilmu abadi

Maret 2010

*Otsu, salah seorang tokoh dalam kisah Musashi






KIDUNG CINTA PESISIRAN

: batik rifaiyah, batang

 

Ada yang berbeda ketika kukunjungi

warna-warni pada pagi hari di rumah pelangi.

 

Selepas duha, seronok merah, biru, coklat berbaur

saling betutur senyap, meneteskan bening pada

belanga hari yang bising.

 

Di sana sunyi tidak menikam warna, karena daun dan

bunga mesti melukiskan kisah penciptaannya.

 

Melukis tiga negeri, seorang perempuan berkidung petuah

dan bersyair syariah, meliukkan canting pada selembar
kain

yang seia berzikir.

 

Ia menasbihkan setia pada semarak warna, dan kerinduannya

menjadi permata: kidung-kidung berkilauan dari gema

kedalaman.

 

Jiwa merdeka, jiwa merdeka.

Engkaulah kini yang mengabadi pada selembar kain
pesisiran

rantai tirani tak sanggup membungkam nyanyian kebenaran.

 

Mekar-mekarlah bunga, ranum ranumlah daunnya.

Dan pada liukan pelo ati, kau dedah kalbuku yang penuh
kotoran

dan debu, hingga kurindu sejarah mencelup diri pada deru
nafasmu.

 

Depok, 2018

 




NAILAH, DAN LELAKI TUA YANG PEMALU

 

Lelaki itu bernama Utsman bin Affan. Tak ada yang
dilihatnya

selain uban putihnya dan ketuaannya. Tetapi ketika
didengarnya

lembut suaranya: “Tak akan kau temui padaku selain
kebaikan”,

maka hari-harinya kemudian seladang bunga.

 

Nailah, Nailah. Engkaulah yang telah tuntas mengecupi
madu

pelaminan, bersama lelaki pemalu dan lembut hati, pemilik

kepingan-kepingan dinar, tanah wakaf, pembeli sumur yang
airnya

masih terus mengaliri jiwa-jiwa dahaga.

 

Nailah, Nailah. Engkaulah itu, yang meniti hari-hari
kelam

ketika lelakimu berpulang dengan mushaf di tangan.
Engkaulah

yang membela keagungan cinta dengan jari-jemari lentikmu

yang beradu dengan pedang nafsu, dan darah menjadi saksi

atas api sucimu.

 

Hari-harimu kemudian sepi, dan kau tudungi paras ayumu

demi menjaga api cintamu pada lelaki itu, sang lembut
hati yang

menaklukkan kemudaanmu dan mendekapmu di bawah cahaya

purnama.

 

Nailah, Nailah. Kesepianmu tak sia-sia. Betapa banyak
gadis

kemudian menyulam kisah cintamu pada selembar sapu tangan

dari potongan perca yang tersisa dari masa lalu itu,
tetapi tak ada

yang seberani engkau menempuh hari-hari sepi, ketika
kekasih

telah pergi.

 

Perhiasan apalagi yang paling indah dari kesetiaan bunga

yang menjaga harumnya hingga kelak tiba masa, ketika

pemilik taman merindukannya, dan Tuhan menjemputnya

menuju kebun cantiknya di surga?

 

Engkaulah itu, Nailah. Yang membuat gadis-gadis bertanya,

seberapa banyak takaran cinta yang semestinya diberikan,
jika

lelakinya kelak tak setua dan selembut lelakimu, tak juga

mengajaknya meniti jalan cahaya.

 

Aku merenungi cinta, betapa banyak yang terbuang sia-sia.

Aku merindui cahaya, Purnama dari bukit wada yang

mengajarkan cara mencinta, menampung banyak jiwa dalam

satu jiwanya, dan semua ditumbuhkannya menjadi bunga.

 

Di tanganku sekarang, kusulam kerinduan, bertangkai sepi

dan berdaun airmata, yang menggenangi hari-hariku di
sela-sela

derai tawa yang menyembul pada setiap tusukan, membuat
dukaku

memerah jingga.

 

Depok, Rabiul Awal 1440 H

 




MIMPI
SORE, DALAM KERUDUNG MELAMBAI

:
renaka, aura



kita
bertiga. emak, dan dua anak

melewati
sore dalam kerudung melambai

menyusuri
basah jalanan 

yang
dibuai angin selepas hujan

 

mata
kita yang bicara

lebih
paham maknanya cinta

dan
senyum kita tertahan

kala
melewati bocah bocah bergulingan

mendekapi
lapangan. tak peduli bola terlempar 

: apa
pentingnya 

kalah
dan menang?

 

dan
kita menjadi kanak-kanak

yang
riang menyisir hari

saling
menyapa dalam senda

menjentik
daun yang terulur 

manja.
karena ia pun memiliki kedalamannya

 

dan
sambil bersenandung

gendong
sejenak anak tukang bubur

cium
polosnya.
lihat matanya

mungkin
saja
tersimpan tawa kita kelak senja

tak
berpura. bersahaja

ubun
ubunnya wangi surga

 

Depok,
Oktober 2018

MELATI,
RAHASIA, DAN PAGI HARI




diam
-diam kupetik sekuntum hatiku

yang
basah. lalu menaruhnya

di
ruang tamu, di dapur, di kamar tidur 

di
kening putriku, di semangkuk sarapan suamiku

 

lalu
ke kebun aku pergi

sekuncup
melati tersenyum

dan
mengucapkan salam

menghadiahkan
putihnya

yang
berembun sebening hujan

 

aku
membungkuk dan berkata sopan:

‘terimakasih, sesungguhnya permata yang
seia akan bersua”

dan
kami bertukar cerita dalam diam

karena
rahasia lebih nyaman jika tersimpan

 

Depok, Oktober 2018





SI BUTA DAN PENDAYUNG PERAHU

 

1/

Yang meraba malam itu. dialah yang

beruntung. menemukan semburat cahaya

yang tersembunyi di senyap gulita

: alangkah indah Tuhan bermain rahasia

 

2/

Di malam-malamku angin mendesir

membekap pandangku dengan butiran

pasir. sayup kudengar suaranya samar:

jadilah rindu, butakan matamu

temukan tongkat itu. ia pernah terapung

di sebuah telaga masa lalu. kau pungut jadi

dayung. sambil bersenandung sembilu

airmatamu berkabar pada Nuh

tentang kedatanganmu

 

3/

Pada pagi yang basah dan buta

kusandarkan perahuku. dari balik halimun

kulihat jejak malam. dayungku menyibak kelam

daun dan bunga hampir tenggelam

maafkan, bisikku lirih. airmataku?

aku bertanya sopan. sudah sampai duluan

jawab mereka perlahan. aku bergegas menyaput

kesah. mencecap madu sebuah kisah

 

Depok, Rabiul Awal 1440 H





Tentang Penulis


LISTIN WAHYUNI, lahir di
Sleman Yogyakarta, Indonesia. Karya-karyanya dimuat dalam Antologi “100 Puisi
Tema Ibu se-Indonesia” (Sastra Welang Pustaka, 2012), Antologi “Kaung Bedolot”
Sayembara Sastra Sawtaka Nayyotama 2013. Beberapa puisinya juga terikutkan
dalam antologi puisi cinta” Di Tangkai Mawar Mana” ( Sastra Welang Pustaka,
2014), juga” Kitab Puisi Perempuan Indonesia” (Getar Hati, 2018) dan Antologi
“Pesisiran” DNP 9 (2019). Salah satu puisinya “Si Buta Dan Pendayung Perahu”
mendapat penghargaan dalam lomba puisi Islami Sabah Malaysia. Tinggal di
Yogyakarta. Kontak email: wahyuniduryat82@gmail.com

 

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In