LIFUNG MEMATUNG LEMAS
Banjir besar kali ini memberinya harapan. Akan banyak kayu-kayu
yang hanyut dari hulu sana. Kayu log (bulat) yang tak jabuk
sehingga bisa ia gesek (gergaji) untuk
dijadikaan kayu-kayu pondok (rumah); papan atau tiang-tiang.
Setelah menyimpan ikan hasil pukatan di muara anak sungai, Lifung tak langsung
mengangkat mesin perahu
ke pondok. Ia membiarkan mesin itu terpasang pada perahu, yang sudah hampir 10
tahun ia pakai untuk berbagai keperluan.
Pada musim banjir Lifung akan menghabiskan hari di tepi
sungai. Sungai Sesayap yang bermuara ke Laut Tarakan, ratusan mil dari kampung
halamannya, Malinau. Setiap akhir dan awal tahun Sungai Sesayap akan kelimpahan
air. Air dari ratusan anak sungai yang tersebar di hutan-hutan
rimba di hulu sana. Sungai Sesayap menampung juga air
dari Sungai Malinau dan Sungai Mentarang.
Dua hari ini hujan tak putus jatuh. Bahkan pada hari kedua hujan
berlanjut pada malam hingga dini hari. Saat terjaga dini hari Lifung sudah
membayangkan gelondongan kayu log
meluncur dari hulu sana. Begitu menurut pengalaman
yang sudah-sudah.
Lifung duduk di atas batang kayu, di belakang pondoknya,
sambil mengisap tembakau seks (linting), sebagai pengganti kretek murahan di kala
habis. Matanya terus tertuju ke arah sungai. Ke arah air yang tampak bergumpal-gumpal
perkasa. Menghanyutkan segala yang tersapu; ranting-ranting, cabang, batang
pohon jabuk, termasuk kayu-kayu log tebangan
perusahaan.
Tidak semua kayu log
yang Lifung dapatkan pada musim banjir adalah kayu log baru. Satu-dua yang ia dapatkan adalah kayu log bekas tambatan perahu atau bekas tangkapan orang. Tapi ia tak
peduli. Selagi masih bisa digesek akan
ia ambil. Toh, tak akan ada orang yang memintanya lagi. Kecuali perahu,
segala sesuatu yang hanyut ke sungai siapa pun bisa memungut dan memilikinya.
Kaki Lifung bergerak, setengah terperanjat, manakala matanya
menangkap ujung batang kayu timbul tenggelam di tengah gelombang arus. Ujung
batang kayu itu muncul sepanjang dan sebesar drum. Dari jarak 20 meter Lifung
bisa memastikan kayu itu masih sangat baik. Ia segera meloncat turun menuju
perahu seraya menyambar tambang sebesar jempol yang tergulung di samping
duduknya.
Perlu beberapa kali Lifung menyelinder mesin perahu. Lifung
menggerutu. Tapi apa mau dikata. Sudah biasa begitu sebagai resiko mesin setua
perahunya. Mesin menyala setelah batang kayu hanyut puluhan meter ke hilir.
Lifung langsung melajukan perahu. Menyibak air yang meluap-luap deras. Menyelinap
di antara sampah-sampah batang pohon yang hanyut beriringan.
Lifung merapatkan perahu pada ujung batang kayu. Mematikan mesin
dan menghanyutkan perahu dalam posisi berdempetan dengan batang kayu. Tangannya
bergerak cepat meraih besi beton yang telah ditekuk
melengkung sejengkal. Menancapkan kedua
ujung besi ke batang kayu dengan martil lalu mengikatkan tambang pada lengkungan
besi yang sudah tertancap. Setelah tambang terikat Lifung kembali menghidupkan
mesin dan melajukan perahu ke hilir menepi membawa ujung tambang.
Lifung sempat berpikir untuk menarik kayu itu ke dekat
pondoknya. Tapi ia pikir mustahil dapat melakukannya saat air sedang gila. Apalagi seorang diri dengan kondisi mesin yang tak seberapa kuat.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menyelamatkan kayu agar tak hanyut
ke hilir.
Lifung menepi seraya memilih tepian dan pohon yang tepat
untuk mengikatkan ujung tambang. Tak terlalu sulit. Pepohonan tumbuh di tepian sungai. Lifung melemparkan ujung tali pada cabang
pohon (sebesar paha dewasa) yang menjorok ke tengah sungai, lalu menyambar
kembali ujung tambang itu, dan dengan gerakan cepat mengikatkannya. Lifung
menarik nafas lega. Sempat ia beradu otot
melawan beban kayu dan arus ketika ikatannya belum selesai sementara
hanyut kayu itu sudah melampau panjang tambang yang tersisa.
Dari tempat mengikat Lifung menyaksikan ujung batang kayu itu
tertahan. Lalu tambang mengencang dan cabang pohon berderak agak melengkung ke
hilir. Semakin mengencang ketika beberapa sampah batang pepohonan menyangkut di
ujung batang kayu miliknya itu. Lifung cemas kalau-kalau tambang itu putus atau
terlepas.
Sedikit demi sedikit batang kayu yang setengah terendam itu
bergeser. Satu ujungnya mungkin tenggelam di dasar. Dorongan airlah yang
kemudian mengangkat dan menggeser ujung kayu itu hingga setelah berjam-jam
kemudian berubah posisi. Tambang pengikat tak lagi mengencang. Batang
kayu itu pun bergeser ke tepi. Lifung tersenyum lega. Seteh air tenang ia akan
bekerja menarik Meranti itu ke dekat pondoknya. Menggeseknya di sana menjadikan papan dan tiang-tiang.
Kayu-kayu itulah yang menghidupi Lifung dan anak-anaknya sekarang. Satu tahun
sejak istrinya meninggal dunia setelah melahirkan bayi keempat. Dulu, sewaktu
istrinya masih ada, Lifung bekerja di perusahaan kayu sebagai tukang kupas. Ia
berhenti dari perusahaan kayu karena tak mungkin membiarkan anak sulungnya,
perempuan 14 tahun, mengurus sendiri 3 adiknya. Ibunya sudah tua. Sementara
mertuanya tinggal di Krayan. Sempat diminta untuk dibawa mertuanya ke Krayan.
Tapi Lifung menolak sebab Krayan jauh. Kalau
kangen pada satu-satunya anak laki yang sangat diinginkan itu, ia harus
naik pesawat.
“Biarlah ia di sini. Saya dan kakaknya yang merawat,”
“Terserahlah kalau itu mau kamu. Bagus kamu segera punya isteri
lagi biar ada yang mengurus anak,”
Lifung ingin segera punya istri agar hidupnya tak terkancing
di rumah. Tapi keinginan itu harus ia tahan. Menikahi perempuan tak mudah. Ia
harus punya uang cukup untuk banyak hal. Untuk biaya nikah tak seberapa. Untuk
memenuhi purut, permintaan pihak perempuanlah, yang merepotkan. Lifung
harus punya uang berjuta-juta; belasan bahkan puluhan juta.
“Kamu cari saja orang Timur atau Jawa biar tak mahal. Kalau sama orang Lundayeh macam kita kamu harus siap uang besar,”
Usul temannya masuk akal. Sayang perempuan yang dimaksud
temannya tak ia dapatkan. Lifung memutuskan
untuk bekerja menggesek. Mengumpulkan uang hasil penjualan kayu yang bisa ia
dapatkan cuma-cuma seperti pada saat musim banjir. Kalau ada yang menyuruh, ya
bergaji, menggesek kayu punya orang lain. Satu tahun ternyata Lifung
belum juga mampu mengumpulkan uang yang dianggapnya cukup untuk meminang
perempuan untuk menjadi istrinya.
“Salau, tanya terus. Kapan kamu namong dia?” tukas Sigar teman seprofesinya. Sigar bertetangga
dengan Sulau di Kampung Singai.
“Kamu lihat sendiri saya masih bekerja. Kumpul-kumpul uang. Habis
banjir inilah banyak kayuku,”
“Cukupkah? Kalau nggak,
carilah pinjaman,”
“Ke mana? Siapa percaya ngasih pinjaman sama orang miskin
macam saya,”
“Siapa tahu ada yang bisa dimintai pinjam,”
“Kalau tak kasihan anak-anak mau saja saya pergi ngemusa[1] Sebulan
mana tahu ada rejeki,”
“Ah, sekarang tak bisa kau mengandalkan itu. Gaharu lebih
mudah lagi dicari di kebun orang. Di hutan sampai tembus
Sarawak belum tentu kamu dapat,”
Salau membuat Lifung bersemangat
memburu batang-batang kayu log yang
diseret banjir. Mungkin dari tempat perusahaan-perusahaan kayu membalak
pohon-pohon rimba. Pohon yang telah hidup ratusaan tahun lalu. Dari wajah
Sungai Sesayap saat banjir macam sekarang, siapa pun dapat menerka apa yang
terjadi di hulu sana. Sungai Malinau akan mengirim sampah kayu dan lumpur cokelat
keruh yang berasal dari lahan tambang batu bara. Sungai Mentarang tak membawa
lumpur seperti Sungai Malinau. Hanya mengirim sampah kayu dan kayu log itu. Di Sungai Sesayap air dan
segala yang dibawanya bersatu padu.
Sewaktu masih bocah, saat tambang belum ada dan perusahaan
kayu belum marak, air Sesayap jauh lebih beradab. Kalau pun banjir tak sebesar
dan seburuk rupa macam sekarang. Tapi Sesayap selalu tabah menerima segala
macam sampah, kotoran, bahkan racun dari perusahaan-perusahaan yang berkuasa di
dalam rimba sana. Berkuasa untuk menghabisi
berbagai macam kehidupan. Bukit batu bara telah pindah entah ke mana. Begitu
juga jutaan pohon telah lenyap dari habitatnya. Dibalak setiap hari
bertahun-tahun oleh perusahaan yang tak pernah masyarakat tahu di mana
kantornya.
Salau telah lama hidup sendiri. Suaminya dulu pergi merantau ke Tawau,
Malaysia, tak pernah kembali. Lima tahun sudah tak pernah ada kabar. Sidang
adat memutuskan suaminya mati dan Salau resmi berstatus
janda dengan 2 anak.
“Saya mau saja menikah tanpa minta apa-apa. Tapi kamu tahu
sendiri kan saya punya keluarga. Merekalah yang pasti minta itu-ini. Saya hanya
bisa membantu bicara dengan mereka agar tak minta berlebihan,” kata Salau.
Lifung bertekad untuk bekerja menggesek kayu tak henti-henti.
Hanya dari kayulah ia mengandalkan bisa menafkahi anak-anak sekaligus mengumpulkan
uang untuk keperluan pernikahannya nanti. Ia bersyukur karena sempat ikut “banjir cup” tahun 2000 lalu sehingga punya
hasil berupa chainsaw.
Beberapa tahun ia ikut banjir cup sama orang-orang Kampung Paking,
Mentarang dan Semamu. Pekerjaan mengangkut kayu-kayu log yang diikat membentuk rakit raksasa. Rakit kayu log itu lalu dilarung dari lokasi
pembalakan di hulu Sungai Mentarang ke log
pond perusahaan di Muara Simendurut,
muara yang mempertemukan Sungai Simendurut dengan Sungai Sasayap di hilir Kota
Malinau.
“Tahun depan ada Irau. Pemda pasti butuh kayu banyak.
Kesempatan kita menggesek dari sekarang. Buat stok kayu banyak-banyak,” kata Sigar sebelum musim hujan tiba.
Lifung mengiyakan. Selama musim banjir ia lebih sering
menjaga Sungai Sesayap. Kadang-kadang ia menjaga banjir di muara Pulau Sapi,
muara besar yang menjadi tempat pertemuan Sungai Mentarang dan Sungai Malinau,
sekaligus hulu Sungai Sesayap. Kalau kebetulan punya bensin ia akan naik ke
kampung yang berada di tepi kedua sungai tersebut. Lifung tahu pemburu kayu itu bukan hanya ia
sendiri. Pergi ke kampung hulu adalah cara supaya ia bisa duluan mendapatkan
kayu hanyut.
Selama musim banjir kali ini ia sudah dapat 5 batang.
Kayu-kayu log sebesar drum dan
sepelukannya. Lifung lega. Dalam hitungannya kayu itu cukup memberinya modal
untuk pergi ke orang tua Salau. Tinggal ia punya modal untuk beli bensin dan
bekal selama menggesek saat musim kemarau atau saat curah hujan mulai
berkurang.
“Berapa uang yang kamu perlukan?” tanya Teneng, bandar kayu
pemilik somel di Kota Malinau.
“Buat bensin sama beras saja,”
“Ya berapa? Saya kasih tapi kayu jangan kamu larikan ke orang
lain. Macam-macam kamu saya kasih masuk penjara!”
“Tapi harganya Koko samakan dengan yang lain!”
“Ah, mana bisa. Saya beli banyak. Berapa pun kamu jual saya
beli. Kalau mau harga segitu ya kau jual sendiri. Jangan kamu minta modal ke
sini,”
Lifung tak berdaya. Kebutuhanlah yang membuat ia sangat
tergantung pada lelaki setengah tua, bos para penggesek kayu. Meskipun ia
membeli dengan selisih harga yang lumayan besar dibandingkan dengan harga
pasaran. Kalau sudah terima modal dari Teneng, Lifung begitu juga Sigar dan yang
lainnya, tak bisa main-main pada Teneng. Sebab semua bahan untuk membangun
pondok akan lari dulu ke somel Teneng. Malinau kecil saja bagi Teneng yang
punya puluhan anak buah di berbagai tempat.
Pulang dari Teneng perahu Lifung penuh muatan. Karung-karung
beras, gula pasir, garam, minyak goreng dan tetek bengek
kebutuhan dapur anak sulungnya. Tak
ketinggalan 3 jerigen bensin isi 10 liter. Seharusnya ia bisa membeli 4 atau
bahkan 5 jerigen. Tapi di pangkalan murah, bensin subsidi sedang kosong. Yang ada tinggal
non subsidi.
“Kamu datang terlambat. Kemarin datang. Sehari habis. Mungkin
bulan depan baru ada. Kalau mau kamu titip uang dulu baru aman. Kalau tidak tak
akan pernah kamu kebagian,” tukas si penjual bensin.
Entah benar atau tidak bensin subsidi itu habis. Bisa jadi
permainan nakal penjual belaka. Orang macam Lifung tak pernah tahu. Lagi pula
beli dengan harga mahal pun sudah biasa. Yang penting ada. Yang penting besok chainsaw-nya
bekerja. Kayu-kayu log terbelah dan satu demi satu papan-tiang tersusun.
Raungan chainsaw
tak memberi celah suara lain masuk ke telinga Lifung. Begitu juga matanya
nyaris tak punya kesempatan untuk melihat arah lain. Manakala bekerja Lifung
akan mengerahkan seluruh konsentrasinya pada rantai chainsaw yang bekerja membelah
kayu. Kelengangan sesaat saja saat ia membenahi posisi gesekan. Setelah itu chainsaw
kembali meraung. Dari pagi sampai tengah hari lalu disambung sampai matahari
terbenam.
“Leh, berapa kubik kamu dapat. Hari-hari chainsaw
mu meraung terus? Jangan kayu terus kamu urus. Lolo-mu juga urus. Punyalah isteri,” tukas Tabun. Cengengesan
menatap Lifung yang masih tersengal mengatur nafas.
“Kamu dari mana? Bilang kerja proyek?” sahut Lifung.
Menatap bekas anak buah Teneng itu.
“Lama sudah itu. Punya bos. Sekarang saya bisnis baru,”
“Tidak lagi bisnis kayu,”
“Itu masih. Mana bisa saya lepas. Cita-cita saya bikin KO Teneng.
Kamu lihatlah,”
Laki-laki 35 tahun campuran Timur-Lundayeh itu tertawa. Lifung
tersenyum saja melihat tingkah Tabun. Harusnya Tabun sudah jadi bos dengan
usaha kayu yang seumur hidup ditekuni. Hasilnya cukup besar karena ia pernah
punya 5 anak buah penggesek. Sayang ia tergiur bisnis minuman dari Malaysia.
Untungnya besar. Tapi dua kali ia berurusan dengan polisi. Uangnya terkuras
habis. Truknya dijual untuk menyelamatkan diri dari penjara.
“Saya butuh kayu. Berapa banyak kamu punya saya siap beli,”
“Wah, mana bisa. Kayu ini punya Teneng,”
“Kamu tidak usah takut. Saya tidak menjual untuk orang sini.
Kamu mau minta harga berapa? Tak usah khawatir. Semua yang ada saya beli dengan
harga normal. Bukan saya yang beli. Ada bos saya di Sekatak. Kalau kamu tak
percaya sama-sama kita jalan ke sana,”
Lifung terdiam. Kalau tawaran itu diterima ia dapat lebih
Rp300 ribu perkubik. Itu harga di tempat. Kalau diantar bisa dapat lagi dari
selisih ongkos mobil. Lumayan. Ia punya puluhan kubik.
“Jangan mau kamu dibodohi terus sama Cina
itu. Tidak juga kamu bakal mati tanpa dia,”
Lifung menghela nafas. Ia sepakat pada omongan Tabun.
“Polisi?”
“Tak usah khawatir. Mereka teman semua. Cuma kita hati-hati
saja. Jangan sampai bertemu mereka,”
“Yakin lolos? Belum lama Burui ketangkap,”
“Itu karena dia menggesek kayu di lokasi perusahaan,”
“Bukannya dari hutan orang?”
“Saya lebih tahu. Pokoknya aman,” Tabun meyakinkan. Lifung
sepakat. Berangkat bersama Tabun menjual kayu ke Sekatak dengan harga dan
keuntungan yang sudah disepakati berdua.
Setengah dump truk papan sukses mereka jual ke Sekatak. Dibeli
orang perusahaan kayu kertas yang sedang membangun kantor dan camp di area
persemaian. Harganya sesuai dengan harga yang dikatakan Tabun ke Lifung. Orang
perusahaan masih membutuhkan banyak, papan dan tiang-tiang. Ia menyuruh Tabun
dan Lifung datang lagi membawa papan.
“Kita singgah di Rongkang,”
Tabun melirik ke Lifung yang mulai terkantuk-kantuk,
kelelahan. Pulang pada rit kedua tak terlalu larut. Perkiraan lewat tengah
malam sampai Rongkang. Lifung inginnya langsung pulang. Tapi ia tak bisa
mengatur Tabun yang sejak
rit pertama sudah berkeinginan singgah di Rongkang.
Lampu warna-warni di depan “Pondok Asmara” Rongkang masih
gemerlap. Dua orang pria gemuk berkulit gelap duduk main kartu di depan. Tabun
menyetop mobil di halaman. Pada malam-malam pasca gajian,
halaman “Pondok Asmara” selalu penuh motor dan mobil. Orang-orang
perusahaanlah, sawit, kayu juga tambang, yang meramaikan rumah karaoke dan
bordil itu.
“Masuklah sudah. Stok masih banyak. Yang baru ada,” sambut
lelaki bercelana tentara.
Tabun dan Lifung masuk. Disambut seorang perempuan setengah tua,
gemuk, berok mini dengan tank top merah muda. Empat perempuan menghampiri.
Dua di antaranya masih muda. Mengenakan pakaian serba mini dan ketat. Darah
Lifung memanas perlahan seiring dorongan alkohol yang diminumnya gelas demi
gelas. Tabun masuk kamar setengah jam
kemudian, meninggalkan Lifung yang mati-matian menahan diri dari godaan tiga
perempuan.
Lifung sudah merancang, paling lambat
sebelum Natal ia sudah menikahi Salau. Bahkan kalau dengan hasil 20 kubik papan
cukup, ia memutuskan untuk menikahi Salau lebih cepat, bulan depan, sebelum
tengah tahun. Ia tak tega melihat anak sulungnya kepayahan mengurus si kecil.
Ia ingin melihat anak-anaknya dapat leluasa menikmati masa kecil seperti
anak-anak lain, tanpa dibebani urusan orang tua. Anak yang sulung terpaksa
putus sekolah. Dua adiknya sekolah tak karuan karena harus ikut sibuk membantu
kakaknya.
Truk yang dikemudikan Tabun melaju
sedang membawa beban penuh papan. Hari sudah petang ketika truk keluar dari
jalan kampung, masuk jalan provinsi yang
menghubungkan kampung mereka dengan Kota Malinau. Ujung jalan provinsi ini
adalah simpang 4 jalan nasional. Pada simpang 4 itulah mereka harus
berhari-hati sebab kerap kali jadi tempat polisi dan satpol PP berjaga.
Truk Tabun kali ini berisi papan
milik Lifung, Sigar dan dua temannya. Tabun menyetop truknya pada belokan
terakhir sebelum simpang 4. Lifung faham
kenapa Tabun menyetop mobil. Ia turun lalu pergi untuk melihat situasi di sana.
Memastikan tidak ada penjaga atau patroli.
Para penjual kayu belakangan harus
ekstra hati-hati. Polisi kerap berjaga dan berpatroli di jalan raya. Menyetop
kendaraan pengangkut kayu untuk memeriksa dokumen legalitas kayu. Tanpa dokumen,
kayu-kayu itu dianggap ilegal. Sopir dan pemiliknya akan ditahan dan disidang.
Lifung dan Tabun sudah mendengar beberapa orang meringkuk di tahanan. Mendengar
juga cerita, orang lolos dari tahanan dengan uang tebusan yang bikin melarat.
“Aman,” tukas Lifung, sebelum naik.
Tabun menghidupkan mesin. Truk kembali berjalan. Tabun melajukan truk dengan
kecepatan maksimal agar lolos dengan aman dari simpang 4 itu. Tabun agak
tegang. Begitu juga Lifung meskipun ia sudah melihat lokasi tersebut aman.
Lewat simpang 4 jalan besar membumung
di hadapan mereka. Butuh 2 jam dalam keadaan muatan penuh untuk sampai tujuan.
Perjalanan aman sebab hanya melalui hutan dan beberapa kampung kecil. Tabun
meraih rokok dan menyulutnya. Diikuti Lifung.
“Kalau lancar begini cepat kaya
kita,” tukas Tabun setelah menggerakan porseneling.
“Saya ingin segera kawin saja,”
“Kapan kamu temui orang tua Salau?”
“Pulang inilah,”
“Cukup saja kan uangmu?”
“Secukup-cukupnyalah,”
“Kalau masih kurang gesek lagi lah
banyak-banyak. Mumpung ada kesempatan,”
“Log-ku
sudah habis,”
“Kalau mau kamu bisa menggesek di
lahanku. Sudah kuurus kemarin. Tinggal nyuruh anak buahku masuk,” suruh Tabun.
“Pulang kita singgah lagi di Rongkang. Saya penasaran oleh yang satunya. Kamu
cobalah. Kapan lagi. Sebelum kamu beristeri,” sambung Tabun. Lifung tak
menyahut. Membersit niat itu malam ini.
Belum 1 KM melewati simpang 4 ketika
dari arah belakang spion truk menangkap sebuah mobil muncul dari belokan. Mobil
dengan lampu merah dan biru di atas, berkerlipan. Tabun terkejut.
“Brengsek!” makinya, sadar yang
melaju di belakang adalah mobil polisi yang biasa di pakai patroli atau
mengejar buronan. Firasatnya, mobil patroli itu memburunya.
“Siapa juga yang memata-matai kita,”
desis Tabun. Geram sekaligus panik. Lifung pucat. Mobil patroli membawa 5
polisi di belakang dan 2 di depan. Polisi yang duduk di depan melambaikan
tangan, menyuruh agar Tabun menepi dan meyetop truknya. Para polisi yang duduk
di belakang membawa senapan mesin.
Tabun melirik setelah menepikan truk ke bahu jalan.
Melirik ke arah Lifung yang makin pucat. Mobil patroli berhenti 5 meter dari
kepala truk. Para polisi bergerak turun.
“Jahanam!” gumam Tabun.
Lifung mematung, lemas. Wajah Salau,
sirna. ***
Majalengka. Perantau & pedagang di Borneo. Sedang merampungkan Novel Balalin.
Email: waliyunu@gmail.com. Facebook
Waliyunu Heriman.