PENTIGRAF SEBAGAI
RUANG BARU GENRE
SASTRA INDONESIA
Oleh:
Abdul Warits*
Pentigraf;
Apa dan Bagaimana?
Pentigraf adalah akronim dari “cerita tiga paragraf”.
Sebagai karya sastra, pentigraf masuk dalam kelompok cerita mini, yaitu cerita
pendek yang pendek. Dalam cerita mini dikenal istilah flash fiction atau
short short story—cerita pendek yang sangat singkat. Dalam
menuliskannya, memang tidak ada batasan pasti dan rata-rata memuat 250 hingga
1000 kata. Sementara, persyaratan wajibnya karya ini harus terdiri dari tiga
paragraf, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Menilik istilah Tengsoe
Tjahjono—sebagai “tiga paragraf yang seksi” (lihat, radarmalang.id) yaitu eksposisi pada paragraf pertama, klimaks paragraf kedua
dan konklusi pada paragraf ketiga. Selain pada inti persoalan dan kepadatan
cerpen, alasan pentigraf ditulis tiga paragraf saja sangat filosofis yaitu
sebagai proses dari memulai, mengalami, dan membangun resolusi.
Pemilihan tiga paragraf tersebut—menurut Tengsoe
Tjahjono—dalam salah satu tulisannya,“hakikat cerpen tiga paragraf”(lihat,
ibeoktaviano.blogspot.com)—memiliki tiga alasan penting. Pertama,
penulis akan mampu memaksimalkan kehadiran komponen-komponen cerpen tersebut. Kedua,
penulis bisa mengatur laju alur dengan leluasa: ekposisi-konflik-resolusi
atau resolusi-konflik-konflik atau konflik-ekposisi-konflik, dan lain-lain. Ketiga,
penulis bisa menawarkan pesan moral dengan cepat, tak mesti berbelit.
Pentigraf ini pada mulanya dirintis oleh seorang
penyair, Tengsoe Tjahjono, lahir di Jember, 03 Oktober 1958, merupakan salah
seorang tenaga pengajar di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) yang
mengumpulkan pentigraf dari pentigrafer Indonesia dan mulai familiar kepada
pembaca dan diminati dengan adanya grup Face book “Kampung Pentigraf
Indonesia”. Pentigraf ini—menurut Syaf Anton Wr, seorang budayawan
Madura—mulai populer sejak tahun 2015. Beberapa antologi bersama sudah berhasil
dibukukan di antaranya kitab pentigraf 1 Dari Robot Sempurna Sampai Alea
Ingin ke Surga, kitab pentigraf 2 Papan Iklan di Pintu Depan, kitab
pentigraf 3 Laron-Laron Kota kitab pentigraf 4 dengan tema pengtigraf
hijau sudah berlangsung tahap pengumpulan naskah dibuka sejak 01 Agustus 2019
hingga 30 Nopember 2019 kemarin.
Di tengah desakan komersialisasi buku, desakan
penerbitan oleh kaum pemodal, metode menulis cerpen dengan tiga paragraf kini
mulai digunakan untuk sebuah gerakan literasi di berbagai daerah di Indonesia
oleh kalangan guru yang mengajar di sekolah-sekolah bahkan Balai Bahasa juga
tidak ketinggalan mengapresiasi metode cerpen tiga paragraf. Ini menjadi
penting—khususnya bagi penulis pemula—karena metode cerpen tiga paragraf tentu
akan semakin memacu kreatifitas penulis di Indonesia. Gagasan kreatif dalam
cerpen bentuk “tiga paragraf”—yang dalam istilah saya—menjadi “bank ide” yang
bisa dituangkan oleh penulis pemula bahkan penulis professional pun bisa
mengambil peran di dalamnya. Ide dan gagasan-gagasan itu akan selalu “basah”
menjadi kata-kata, menjadi cerita dalam kenangan pembaca sehingga gagasan
membangun cerita pendek tidak kering begitu saja. Sehingga langkah selanjutnya
hanya memerlukan beberapa pengembangan dan percakapan atau konflik yang
dikembangkan ke dalam cerita yang utuh dan menjadi cerita pendek yang memukau.
Pentigraf Sebagai Genre Tematik Sastra Indonesia
Genre dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah jenis, tipe, atau kelompok sastra atas dasar bentuknya, ragam sastra. Dalam
buku sejarah sastra Indonesia berperspektif gender dijelaskan bahwa cerpen adalah karya
prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup
dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca. Sebuah cerpen menunjukkan
kualitas yang bersifat compression ‘pemadatan’, concercation (pemusatan),
dan intensity ‘pendalaman’ yang semuanya berkaitan dengan panjang cerita
dan kualitas struktural yang diisyaratkan oleh panjang cerita itu.
Pentigraf sebagai salah satu karya sastra terbaru dalam kesusastraan
Indonesia menjadi sesuatu yang urgen untuk dilanjutkan eksistensinya bagi
kalangan penulis yang ingin menjadikan cerpen sebagai salah satu jalan
menyampaikan pesan moral. Selain bisa menyampaikan pesan moral secara padat
kepada pembaca, terutama kalangan anak-anak juga menjadi media dan perantara
sastra bisa bedialog sesuai kebutuhan pembaca.
Berbagai fenomena kemasyarakatan akan bisa dituliskan, dikemas dengan
baik melalui pentigraf yang menyentuh setiap lini kehidupan.
Saya membayangkan komparasi antara cerita pentigraf
ini dengan genre puisi akrostik. Jika pengertian puisi akrostik adalah puisi
yang huruf-huruf pangkalnya bila dibaca dari atas ke bawah membentuk nama
orang, benda dan tempat semisal nama gunung, nama kota, nama jalan, nama gedung
dan lain sebagainya, maka menulis cerpen tiga paragraf juga terikat dengan
batasan tiga paragraf sedangkan dalam mengemasnya butuh kepandaian mengolah
kalimat cerpen dengan penuh menarik kepada pembaca sehingga metode ini menjadi
tantangan tersendiri bagi penulis pemula dan profesional. Karenanya, menulis
puisi akrostik juga dapat memacu kreatifitas menulis dalam mengolah kata yang
harus disesuaikan huruf pangkalnya. Bukan sekadar sesuai huruf pangkal, tetapi
puisi tersebut harus bernilai estetika dan etika hingga enak dibaca dan
memiliki makna mendalam.
Begitupun dalam menulis pentigraf—walaupun terikat
dengan aturan tiga paragraf—tetapi metode menulis cerpen ini harus juga
memperhatikan kepekaan dalam memahami plot, meramu konflik dan penyelesaian
yang menakjubkan. Ini tidak mudah dilakukan, bahkan oleh penulis profesional
pun. Selain itu, gerakan literasi akan mudah dilakukan melalui pentigraf karena
selain hanya tiga paragraf, pentigraf juga bisa dilakukan dengan menulis dalam
situasi dan kondisi apapun asalkan ada ide dan gagasan yang bisa mengisi tiga
paragraf tersebut secara menarik.
Gerakan tematik dalam karya sastra barangkali menjadi suatu event yang
seringkali diselenggarakan oleh berbagai pihak. Karenanya, pentigraf sebagai
salah satu penulisan genre terbaru sastra akan mengantarkan bagaimana genre
tematik penulisan karya sastra Indonesia dalam bentuk cerpen ini diterima oleh
berbagai kalangan dengan
sependek-pendeknya ide dan gagasan. Sastra Indonesia tidak akan pernah “kering”
untuk selalu dituliskan dalam pentigraf dan tema yang tetap segar dengan
nuansa-nuansa yang tidak terbatas.
Tentang Penulis
Abdul Warits,
Lahir Sumenep, Madura, Jawa Timur, 07
Maret 1997. Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa Guluk-Guluk. Karyanya
terkumpul dalam : Kelulus (Persi : 2017), Yang berlari dalam kenangan
(Persi:2018), Kepada Douwes Dekker (Multatuli Fest : 2018), Pesan Damai Aisyah,
Maria, Xi king (Antologi Penyair Asean IAIN Purwokerto, 2018), Requiem Tiada
Henti, GelomAbi Puisi Maritim, Seratus Puisi Qur’ani, Majalah Sastra Horison,
Seharusnya Kita Tak Saling Rindu (Rumah Kayu Publishing), Puisi Akrostik FAM
Publishing, Hidup dan Pilihan, Cahaya Santri, Lentera Santri, dll. Selain
itu, karyanya tersebar di media nasional Radar Madura, Kabar Madura,
Harian Bhirawa, Analisa, Koran Jakarta. Alamat Jalan Raya Gapura Dusun Karang Pao Musala
Darul Hasan RT 20 RW 06 Grujugan Gapura Sumenep 69472. Email : abd.warits07@gmail.com