BEKAS LUKA
Oleh
: Cha Young Heon
Setelah selesaikan
pekerjaan harian, dalam doa, Aku bertobat dan bersyukur. Di akhir doa, Aku
selalu merasa kebimbangan, ketika membaca ayat ‘Doa Pujaan Ajaran Kristus’ yang
berbunyi, “Ampunilah dosa kami, seperti kami ampuni seseorang yang berdosa …” Peristiwa
yang terjadi beberapa hari lalu, tetap menghantam kalbuku karena merasa malu,
mengakibatkan tak dapat berdoa lagi. Aku merasa sakit hati waktu menghafal ‘Doa
Pujaan Ajaran Kristus’ karena merasa penyesalan mendalam diri sendiri yang
masih mengandung kemarahan dan kekecewaan terhadap anakku sendiri, bukan orang
lain.
Baru-baru ini, Aku
dan istriku bersama-sama berangkat ke kota Changwon, atas bujukan keras
istri karena dalam telepon anak perempuan kami yang tinggal di sana setelah
menikah, mengatakan kondisi kesehatannya kurang baik menjelang hari kelahiran
anaknya. Kalau memungkinkan, Aku bersikeras tidak menginap di rumah anak
perempuanku yang telah mempunyai keluarga sendiri. Oleh karenanya, kami, Aku
dan istriku memutuskan penginapan di rumah anak laki-laki sulung kami yang
tinggal dekat rumah anak perempuan kami.
Istriku tergesa-gesa pergi ke rumah anak perempuan
kami sesaat setelah meletakkan barang bawaannya dan Aku berbaring di lantai
ruang tamu karena sakit kaki sejak terasa secara mendadak waktu naik kereta api
tadi. Pada waktu itu, di luar dugaan, Aku baru merasa ketidakramahan menantu
perempuan pertama kami.
Dengan sengaja, dia
tidak melihat Aku, yakni mertuanya yang sedang berbaring di lantai ruang tamu
dingin tanpa kasur. Dengan suara keras, dia memaki-maki anaknya yang sedikit
bersalah, akhirnya cucuku menangis. Dia sama sekali tidak mau menenangkan
anaknya sambil mengerjakan urusan rumah tangga dengan sembarangan. Aku yang tak
dapat menahan suasana sedemikian itu, tak dapat berbaring dengan nyaman,
akhirnya bersama dengan cucuku yang masih menangis, tergesa-gesa pergi ke rumah
anak perempuanku.
Dengan penyesalan
mendalam, Aku bertanya kepada istriku, nampaknya sikap dan tingkah-laku menantu
perempuan pertama kami telah diubah. Istriku juga menjawab ‘iya’. Tapi, istriku
memohon jangan mengomeli menantu kami yang sedang dibebani berat untuk mengasuh
dua anaknya.
Sebenarnya,
kesukaan dan harapan kami terhadap menantu perempuan pertama, cukup besar dan
tinggi. Sebagai putri ke-lima dari keluarga besar bersaudara, satu putra dan
delapan putri, menantu perempuan kami dibesarkan dengan baik dan tulus ikhlas. Kecantikannya
juga lumayan. Jadi kami senang menerimanya sebagai menantu perempuan ketika
anak laki-laki sulung memperkenalkannya untuk pertama kali kepada kami.
Setelah menikah,
waktu suaminya pulang dari Jerman yang baru menyelesaikan pelatihan setempat,
menantu kami tidak menunjukkan penyesalan apapun bahkan tertawa sehubungan
dengan pembawaan buah tangan sedikit saja hanya untuk keluarga suami akibat
kondisi sakunya tidak memungkinkan. Oleh karena itu, Aku tetap percaya ungkapan
istriku. Tapi, dalam waktu beberapa hari kemudian, kepercayaan itu hancur
total.
Aku ingin segera pulang ke rumah tapi kondisi
kesehatan anak peremuan kami masih serius, jadi Aku mau tak mau, terpaksa
menahan sikap kurang sopan menantu kami bagaikan menginjak es tipis, sambil
mengikuti harapan sungguh-sungguh istri yang ingin merawat anak perempuan kami sesuai
dengan jadwalnya.
Aku berusaha
keras untuk menenangkan suasananya tanpa menunjukkan isyarat negatif, baik
kepada anak laki-laki maupun anak perempuan kami. Tapi peristiwa itu terjadi
sehari sebelum kami pulang ke rumah. Di meja makan, Aku melihat menantu perempuan pertama menampar
cucu kami yang agak nakal sambil menunjukkan kejengkelan dan ketidakpuasan.
Akhirnya, Aku bukan penyabar, marah sekali kepada menantu perempuan kami.
Aku memukulkan sumpit ke atas meja makan dengan
kasar, kemudian tergesa-gesa membuka pintu keluar rumah sambil menahan
kemarahan, istriku menunjukkan ketakutan dan anak laki-laki kami memperlihatkan
kebingungan.
Waktu berjalan
keluar dari alun-alun di mana masih tertinggal udara panas, penglihatanku
semakin kabur dengan kejutan dan pemikiran sedih sehubungan dengan perubahan
sikap menantu perempuan kami secara mendasar. Tanpa tujuan, Aku terus
berjalan-jalan mengikuti trotoar yang gelap tapi gagal menurunkan kemarahannya.
Aku masuk ke warung pinggiran jalan dan meminum minuman keras sampai mabuk … sampai
saat anak laki-laki sulung kami berhasil menemukan Aku yang hampir pingsan. Dia
langusng menggendong Aku dan pulang ke rumahnya. Aku terjatuh di tempat tidur
tanpa memikirkan kekhawatiran istriku.
Keesokan paginya,
kami meninggalkan rumah anak laki-laki sulung tanpa sarapan, meskipun disertai
permintaan maaf anak laki-laki kami atas kesalahan istrinya yang sama sekali
tidak menghiraukan mertuanya. Kami berjalan keluar dari kompleks rumah susun.
Aku berusaha menghibur istri yang sering menyeka air mata dengan sapu tangan.
Di dalam otakku terbayang sebuah adegan sandiwara yang menunjukkan kenakalan
seorang anak. Dia mengusir orang tuanya secara paksa tanpa tempat tujuannya.
Masih ada enam
jam tersisa sampai waktu naik kereta api yang dijadwalkan dan dalam keadaan
seperti ini, istri yang tersedu tidak memungkinkan pergi ke rumah anak
perempuan kami. Kami duduk di tempat rumput teduh, pinggir jalan untuk
menenangkannya. Aku menatap istriku yang menangis tanpa peduli orang lain dan
beberapa kali Aku menahan kemarahannya yang mendorong pergi ke rumah anak
laki-laki sulung kami untuk melepaskan amarahnya. Aku hanya berdoa “Tuhan yang
Maha Cinta, mohon menghapuskan kesedihan dari istriku” sambil melihat langit
timur di mana sinar matahari fajar mulai menyingsing. Matahari terbit yang
semakin tinggi mulai merebut bayangan sedikit demi sedikit dengan cahayanya
bagaikan usiran terhadap sepasang suami-istri yang kasihan. Waktu naik kereta
api bersama dengan istriku yang hampir menghentikan tangisannya, nampaknya dia masih
lelah. Di dalam hati, Aku terus mengulang-ulangi penyesalan mendalam yang saat
ini dilupakan semuanya sambil menutupi tubuh istri yang berkeringat dan
bergemetar akibat kedinginan dengan bajuku bahkan surat kabar yang kubaca.
Keesokan harinya
Aku pulang ke rumah. Saat makan siang
agak terlambat, diiringi bel masuk, menantu perempuan ke-dua kami masuk bersama
dengan menantu perempuan pertama. Menantu perempuan pertama kami segera
berlutut dan menangis sambil memohon pengampunan. Aku terkejut karena kedatangannya
di luar dugaan sebelumnya. Aku lebih marah lagi setelah melihat menantu
perempuan pertama yang berlutut, karena penampilannya berbeda jauh dibanding
dengan kemarin. Wajah istriku kemarin, kembali terlintas dalam pikiran, mendekati
mataku secara besar-besaran. “Maaf sekali karena Aku pernah mendorong
tangisan ibu mertua. Oleh karenanya, Aku tak dapat mengampuni anda yang
menimbulkan lagi tangisan ibunya.” Hanya ungkapan itu saja pada waktu itu yang
sekarang baru teringat.
Menantu perempuan
ke-dua yang berdiri di sampingnya juga meminta pengampunan, tapi kemarahan Aku
tidak hilang. Teriakan cucu kami, bayi yang terbaring karena suaraku sangat
keras, membuatku tercengang dan menyadari kembali. Aku meninggalkan meja makan
siang yang belum selesai, keluar ke halaman belakang rumah, tak dapat mengampuni
menantu perempuan pertama, hanya mengatakan, “bayi menangis, ayo menenangkannya.”
Langit musim gugur, menjelang tiga hari sebelum hari raya Chuseok, juga
berawan karena air mata yang tergenang mataku.
‘Mengapa kamu melakukan hal sedemikian itu, karena minta
maaf juga begitu cepat, kamu bodoh …’ Aku tak tahu, bagaimana suaminya memarahi
dia, tapi penampilan menantu perempuan pertama kami yang kurus dan cekung,
sangat berbeda jauh dibanding dengan sikap kemarin, menimbulkan kesedihan dan
mengibaskan hatiku.
Aku bergumam di
dalam mulutnya seolah-olah orang sinting, memandang langit di mana terbayang
secara bergantian wajah menantu perempuan pertama yang menangis dan wajah
istriku yang basah dengan tetesan air mata.
‘Minta ampun?
Iya, Aku mengampuninya, karena kamu adalah anakku. Menurut Alkitab, maafkanlah kesalahan
tujuh puluh tujuh kali. Tapi mengapa Aku tidak merasa nyaman. Sayang sekali…’
‘Ananda, meskipun
Aku mengampuni engkau, bagaimana bekas luka yang kau tinggalkan pada kita semua
termasuk kau sendiri. Ada lagu yang menyanyikan salah penulisan dengan pensil
di atas kertas putih, dapat dihapus dengan penghapus, tapi jejak yang dicoret
pensil tak dapat dihapuskan. Bagaimana bekas luka akibat dikupas kulitnya
dengan penghapus yang sama sekali tidak hilang selama-lamanya.’
‘Aku khawatir,
bekas luka yang diukir baik pada engkau maupun kita semua akan terus menyakiti
hati kita. Ananda, berapa lama engkau memikirkan waktunya untuk melupakan
kesakitannya. Karena kesakitan itu sering timbul lagi di dalam kalbu. Aku
harap, ananda memahami hati ini yang sulit membuka pintunya …’
Ketika Aku sadar akan angin musim gugur yang sejuk,
menurunkan kemarahanku sehubungan dengan dugaan dan keluhan terus-menerus, kemarahan
yang terbakar di dadaku, juga merosot mengikuti tangisan cucu kami.
l Changwon : Salah satu kota di Provinsi Kyeongsang
Selatan, Korea
l hari raya Chuseok : semacam thanks giving dar
<수필>
상흔
차영헌
하루의 일과를 마치고 참회와 감사의 기도를 드린다. 기도 말미에 드리는 주기도문 중에서 “우리가 우리에게 죄 지은 자를 사하여 준 것같이 우리의 죄를 사하여 주시옵고 …“라는 구절에 오면 나는 늘 주저하게 되는데, 며칠 전의 일이 마음에 걸리고 부끄러워 더욱 기구祈求할 수 없는 구절이 되어서 가슴을 친다.
남도 아닌 자식을 향한 노여움과 서운함을 마음에 담고 있으면서 주기도문을 외운다는 자책으로 마음이 아프기 때문이다.
며칠 전의 일이었다. 창원으로 시집 간 딸이 출산일을 얼마 앞두고 건강이 몹시 좋지 않다는 전화를 받은 아내의 성화에 함께 내려 갔다. 될 수 있는 한, 출가한 딸의 집에서는 잠을 자지 않는 것을 고집하던 나는 딸네와 가까이 살고 있는 큰아들 집에 여장을 풀었다.
아내는 짐을 풀자 마자 딸에게로 달려갔고, 열차 안에서 갑자기 발생한 다리의 통증이 멈추지 않아 거실 바닥에 누워있던 나는 큰며느리의 태도와 표정이 심상치 않다는 것을 느꼈다.
차가운 거실 바닥에 자리도 안 깔고 누워 있는 시아버지도 못 본 체, 별일도 아닌 일에도 짜증스런 큰소리로 아이를 야단쳐 울려 놓고도 달래줄 줄 모르고 거치른 손길로 일을 하는 분위기가 도저히 마음 편하게 누워 있을 없어 울고 있는 손자를 데리고 딸의 집으로 건너와 버렸다.
착잡한 기분으로 아내에게 큰며느리의 태도가 달라진 것 같지 않느냐고 물으니 아내도 그렇게 느꼈다면서 자식 둘을 키우기에 힘겨워서 그런 것이니 나무라지 말라고 당부한다.
우리가 큰며느리에게 가진 호감과 기대는 대단한 것이었다.
1남 8녀 중 다섯째 딸로 자란 여자답게 마음 씀씀이나 일하는 솜씨가 맛깔스럽고, 착하고 성실했다. 인물도 좋은 편이어서 우리는 큰아들이 첫인사를 시킬 때 기쁘게 며느리감으로 받아들였다.
결혼 후에도 독일에서 연수를 마치고 귀국한 남편이 주머니 사정이 여의치 못하여 조금 사가지고 온 선물을 시집 식구들 몫으로 전부 내놓았을 때도 서운한 내색을 보이지 않고 웃음짓던 며느리이기에 아내의 말을 믿었으나 며칠을 지내는 동안 그 믿음은 산산이 깨어져 버렸다.
마음 같으면 즉시 집으로 돌아오고 싶었으나 딸의 건강이 심각한지라 참고, 예정했던 기간 동안 돌봐 주고 가자는 아내의 간청에 괘씸한 것을 참고 살얼음 딛는 기분으로 지냈다.
아들과 딸에게는 내색하지 않고 조용히 지내다가 떠나오려 했으나 떠나기 전 날이었다. 저녁 식탁에서 말썽부리는 손자를 손찌검까지 하며 노골적인 불평과 짜증을 내는 며느리를 보자, 옹졸하고 성미가 급한 나는 마침내 분통을 터뜨리고 말았다.
들고 있던 수저를 거칠게 놓는 나를 겁먹은 눈으로 바라보는 아내와 영문을 물라 어리둥절하는 아들 때문에 호령을 하고 싶은 것을 꾹 참고 현관문을 거칠게 밀치고 나왔다.
아직은 늦더위가 머물고 있는 광장을 걸어 나오며 사람의 마음이 변해도 저렇게 변할 수 있나 하는 놀람과 서글픈 생각에 눈앞이 점점 흐려졌다. 어둠이 삼킨 거리를 무작정 걸으며 분노를 삭이려 해도 삭일 수 없어 길가 포장마차에서 술을 얼마나 마셨는지 … 걱정하며 찾아다닌 큰아들에게 부축을 받으며 집에 돌아와 잠 못 이루는 아내도 잊은 채 쓰러져 버렸다.
다음날 아침 식사도 하니 않은 채 떠나는 우리를 못 본 체하는 며느리 대신 송구스러워 초췌한 모습으로 만류하는 아들을 뒤로 하고 집을 떠났다.
길을 걸으면서 자주 손수건으로 눈물을 닦는 아내를 위로하면서도 아파트 단지를빠져 나오는 나의 눈 앞에 늙은 부모가 못된 자식에게 쫒겨나 갈 곳이 없어서 거리를 헤매는 어느 드라마장면이 주마등처럼 눈앞을 스쳐갔.
예정된 기차 시간까지 아직도 여섯 시간이 남아 있고, 이런 꼴로는 딸에게도 갈 수 없는 처지라 흐느끼는 아내도 진정시킬 겸 길 옆 그늘진 잔디밭에 자리를 펴고 앉았다. 행인들의 눈초리도 개의치 않고 울고 있는 아내를 바라보며 몇 번이나 다시 아들의 집에 올라가서 화풀이하고 싶은 충동을 받았으나 꾹 참았다. 눈부신 아침 햇살이 퍼져 나가는 동쪽 하늘을 바라보며 “하나님 이설움을 아내에게서 거두어 주소서” 하고 간구할 뿐이었다. 어느 덧 높이 솟은 해는 못난 우리 부부를 어서 가라는 듯이 뜨거워지는 햇볕으로 그늘을 조금씩 조금씩 빼앗아 갔다 간신히 울음을 삼킨 아내를 데리고 기차에 몸을 실었을 때는 아내는 기진맥진해 있었다. 오한으로 식은 땀을 흘리며 떠는 몸을 나의 웃옷으로도 모자라 읽고 있던 신문지로 감싸주면서 몇 번인지 모르게 마음 속의 살인을 하며 지금은 기억조차 나지 않는 원망을 수없이 되뇌이었다.
집으로 돌아온 다음날이었다.
늦은 점심을 먹고 있을 때, 초인종 소리에 나갔던 작은 며느리가 큰며느리와 함께 들어왔다. 큰며느리는 나를 보자마자 무릎을 꿇고 울며 용서를 빌었다. 생각지 않던 만남에 흠칫했던 나는, 어제와 전혀 다른 모습으로 꿇어앉은 며느리를 보자 웬일인지 화가 더 치밀었다. 어제 일이 떠오르며 눈물 범벅이 된 아내이 얼굴이 눈 앞에 크게 다가왔다. “내가 너희들 어머니를 울린 것만 해도 미안한데 너희들까지 울리는 것은 절대 용서할 수 없다.“ 이런 말 밖에 지금은 생각나지 않는다.
옆에 서있던 작은 며느리도 함께 용서를 빌었지만 화는 가라앉을 줄 몰랐다. 누워있던 젖먹이 손녀가 내 고함소리에 놀라 우는 소리가 정신을 차리게 했다. 자식이 우는 것도 모른 채 애원하는 큰며느리에게 용서한다는 말 대신에 “애기 운다. 달래거라.” 라는 말만 던지고, 끝내지 못한 점심 식탁을 떠나 뒤뜰로 나와 버렸다. 추석을 사흘 앞둔 가을 하늘도 내 눈에 고이는 눈물 때문인지 잔뜩 흐려 있었다.
‘이렇게 금방 용서를 빌 짓을 왜 했어. 바보 같은 애야 …’ 남편에게 얼마나 꾸중을 듣고 왔는지 모르지만, 어제의 태도와 너무 달라진 초췌한 며느리의 모습이 가엽고 안쓰러워 설음이 목울대를 조여오고 가슴을 저민다
가냘픈 목을 빼고 울고 있는 며느리의 모습과 아내의 눈물 젖은 얼굴이 번갈아 나타나는 젖은 하늘을 향하여 실성한 사람같이 입속으로 중얼거렸다.
‘용서해 달라고, 암 해주어야지. 너도 내 자식인데 성경에도 일흔번의 일곱번이라도 용서 하라고 말했지 않니, 그런데 나는 왜 마음이 개운하지 않지. 안타깝기만 하구나 …’
‘에미야, 내가 용서를 한다고 해도 네가 너와 우리 마음에 낸 상처의 흔적은 어떻게 하지. 하얀 종이 위에 연필로 잘못 쓴 글씨는 지우개로 지우면 된다는 노래가 있지만, 연필이 그어 놓은 자국은 지워지지 않는 단다. 또 지우개로 문질러 표피가 벗겨져 생긴 상흔은 없어지지 않으니 어쩌면 좋겠니.’
‘너와 우리 마음에 생긴 상흔은 두고두고 우리들 마음을 아프게 할까 봐 걱정이란다. 잊은 줄 알았다가도 문득 떠올라 가슴을 저미는 아픔이 가실 때까지 얼마나 많은 세월을 아파해야 하는가를 생각해 보았느냐. 어멈아, 쉽게 마음 풀지 못하는 시애비를 이해해다오
…’
끝없이 이어지는 상념과 넋두리를 엮어 나가다가 열띤 얼굴을 식혀주듯 불어오는 싸늘한 가을 바람에 정신을 차렸을 때, 점점 잦아드는 손녀의 울음소리 따라 가슴에 타오르던 분노의 불길도 어느덧 수그러지고 있었다.
(Diterjemahkan
oleh Kim, Young Soo)
Profil Penulis (작가 소개)
Cha Young Heon, lahir di Cholwon Provinsi Gangwon Korea,
naik panggung dunia sastra lewat “Puisi dan Kritikan” tahun 1993 dan “Esai
Modern” tahun 1995. Karyanya angtologi “Gunung Bukhan”, dan
“Cinta Bunga Iris”. Menerima Hadiah Esai Hijau ke-3 tahun 2002, Hadiah Penyair
Asia ke-4 tahun 2013.
Bergiat sebagai Anggota di Komunitas Siwa Sanmun.
Perhimpunan Sastrawan Korea, Persatuan Sastrawan Beragama Kristen
기독교문인협회,