NOVEL, KULINER, DAN IDENTITAS BANGSA
Oleh: Muharsyam
Dwi Anantama*
Makanan
begitu dekat dengan laku sehari-hari manusia. Sejak bangun tidur hingga tidur
lagi, kita akan selalu mengingatnya. Makanan menjadi hal pokok yang tak bisa
terlewatkan ketika memulai aktivitas di pagi hari. Keberadaannya menjadi sakral
bagi sebagian orang. Sebagian orang beranggapan tak sah memulai hari tanpa
adanya makanan yang mengisi perut.
Kuliner,
salah satunya makanan, merupakan produk kebudayaan. Bahkan ia menjelma menjadi
identitas bangsa. Sepiring makanan yang tersaji mengusung nilai sejarah dan
filosofinya sendiri. Di dalamnya terhidang berbagai macam olah kreativitas
manusia.
Seringkali,
makanan digunakan sebagai penciri suatu tempat atau daerah. Ketika mendengar
suatu nama makanan, ingatan kita pasti akan mengelana dan jatuh pada tempat
yang merupakan muasal makanan tersebut. Misalnya ketika kita mendengar kata ‘gudeg’,
ingatan kita pasti akan meluncur pada kota Jogja.
Indonesia
adalah negara yang Bhineka. Hal ini dapat diraba dari banyaknya suku, ras dan
agama yang mendiami Indonesia. Namun tak cukup hanya dengan merujuk faktor itu
saja. Kuliner juga bisa menjadi salah satu ciri yang menunjukkan kebhinekaan
Indonesia. Setiap daerah pasti memiliki citarasa dan kekhasan dalam hal
kulinernya. Contohnya perbedaan antara orang Padang yang menyukai pedas dan
orang Jawa yang cenderung menyukai rasa yang manis.
Keragaman
kuliner di Indonesia salah satunya di sebabkan khasanah kekayaan alam dan
sosial masyarakat yang berbeda. Perbedaan kondisi alam berimplikasi terhadap
budaya masyarakatnya. Misalnya di daerah Indonesia bagian timur. Orang di sana
begitu akrab dengan olahan sagu sebagai bahan konsumsi mereka. Hal ini sangat
lumrah, sebab sagu merupakan salah satu tanaman yang jamak kita temui di sana.
Lain halnya dengan masyarakat di Jawa yang menjadikan nasi sebagai bahan
konsumsi sehari-hari.
Novel
dan Kuliner
Novel
dan kuliner memiliki pertalian yang cukup erat. Dalam sebuah novel, kuliner
bersifat sosiokultural. Ia bisa menjadi pondasi identitas budaya dan prinsip
hidup tokoh. Khazanah kuliner yang digambarkan dalam sebuah novel dapat
membangun citra tokoh dan lanskap kultural.
Karakterisasi
tokoh salah satunya dapat dibangun melalui medium kuliner. Misalnya dengan narasi
bagaimana si tokoh memperlakukan makanan, mulai dari mengolah, menghidangkan
hingga menikmatinya. Tokoh yang memiliki rasa bangga terhadap kearifan lokal
daerah maupun bangsanya, akan memperlakukan kuliner khas daerahnya dengan
agung. Lain halnya dengan tokoh-tokoh yang memiliki sifat urban dan
kosmopolitan. Tokoh tersebut akan lebih dekat dengan makanan-makanan cepat saji
yang bersifat metropolitan.
Kuliner
sebagai Identitas Bangsa
Dalam
novel Pulang karya Leila S.Chudori,
dunia kuliner memiliki kedudukan yang cukup strategis. Novel ini bercerita
tentang eksil politik Indonesia di Paris. Meski jauh dari tanah airnya, mereka
merasa memiliki ikatan kuat terhadap negerinya. Kuliner menjadi monumen yang
mengingatkan tokoh-tokoh tersebut terhadap tanah air mereka.
Kerinduan
para eksil politik tersebut terhadap negerinya tak lekang oleh jarak dan waktu.
Meski sebagai warga negara yang teralienasi, mereka tetap memendam cinta yang
dalam terhadap tanah kelahirannya. Hal tersebut dalam kita lihat dalam kutipan berikut:
Ia memiliki keahlian memasak
seperti Dimas. Berbeda dengan Dimas yang menyembah ritual memasak, ia lebih
mementingkan rasa puas sehingga ia dapat menggantikan bumbu sate atau gado-gado
dengan selai kacang (2012: 92).
Kecintaan
Dimas Suryo terhadap tanah airnya digambarkan dengan cara dia mengolah masakan.
Ia menjadikan memasak sebagai ritual yang agung. Selain dengan memasak,
kecintaan Dimas terhadap Indonesia juga digambarkan melalui kebiasaannya
menyimpan serta mencium aroma cengkih dan bubuk kunyit. Kedua benda itu
digunakan oleh Dimas sebagai pengobat rindu pada negerinya. Kita simak dalam
kutipan berikut:
Dia meletakkan sekilo cengkih ke
dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua
di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia (2012: 198-199).
Di
tengah kehidupan metropolitan di Paris, para eksil politik Indonesia ini
berupaya mempertahankan selera dan identitas kulinernya. Cara yang mereka
lakukan adalah dengan mendirikan restoran yang di beri nama ‘Tanah Air’.
Restoran ini menyajikan makanan-makanan khas Indonesia. Kendala dalam
mendirikan restoran tersebut cukup beragam. Apalagi di tengah dominasi makanan Eropa
dan kehidupan yang cenderung menggemari makanan cepat saji. Tetapi mereka tidak
patah arang. Mereka menunjukkan militansinya dengan mengeluarkan biaya lebih
untuk membeli bumbu-bumbu semacama cabai merah, bawang merah, kunyit dan jahe.
Semua itu dilakukan hanya untuk menjaga cita rasa khas makanan Indonesia yang
akan mereka sajikan.
Perjuangan
mereka dalam mendapatkan bumbu-bumbu tersebut memberikan kesan bahwa mereka
memiliki tekad kuat dalam mempertahankan identitas Indonesia. Totalitas yang
dilakukan oleh Dimas dan kawan-kawannya merupakan salah satu upaya untuk
menguatkan identitas keindonesiaan di negeri orang. Restoran Tanah Air adalah duta kebudayaan di Paris yang sesungguhnya (2012:
122). Begitulah narasi yang di tulis oleh Leila dalam novel Pulang.***
*Muharsyam Dwi Anantama, Pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Lampung.