AKU DAN PEMAKAMAN
/1/
Sejak
tuhan menitipkan kasih
Tubuh
ini tergeletak
Jauh
dari ramainya lalu-lalang
Di
ruang kecil, di ranjang tertutup
Tubuh
ini mengandung sepi
Yang
datang dan pergi
/2/
Rasa
sakit apa lagi yang harus aku ceritakan?
Aku
sudah mencicipi semua hidangan tuhan
Sejak
rinduku turut terisolasi di sini
/3/
Aku
tahu, tuhan masih bersamaku
Tuhan
masih singgah di ruang kecil dalam hati
Di
sebelah pojok kanan, tepat dibelakang ruang rindu
Tuhan
dan aku saling berdiskusi panjang
Membicarakan
surga dan bidadari di kayangan
Purwokerto, 2020
BENDERANG
/1/
Kita
biasa menamatkan catatan harian di teras
Membaca
wajah pejalan
Mengamati
pengendara yang kebut-kebutan
/2/
Dari
awal, kota ini tidak pernah redup
Menunggu
getir dan manisnya pernasiban
/3/
Sekarang
mataku lelah
Redup
dan terpejam
Menamatkan
sendiri benderang yang tidak akan pernah padam
Purwokerto, 2020
METROPOLITAN
/1/
Dari
perut ibu aku terlahir
Di
wilayah lingkaran keakraban
Yang
gemar menggabungkan kisah pemukiman lanjutan
Dengan
cerita zona lingkaran urban
/2/
Siapa
tidak tahu kota ini?
Kota
seribu pintu
Dengan
gedung-gedung pencakar langit
Yang
biasa memotong cahaya fajar, senja, dan rembulan
Kala
kau dan aku dipertemukan
Dalam
sapa tanpa keakraban
Purwokerto, 2020
JULUKAN
/1/
Cahaya
sejak dulu telah melahirkan bayang-bayang
“Mungkinkah
wujud raganya sempurna?,” ujarnya
Saat
senja tadi terburu-buru berganti jam kerja
Aku
dengar ada banyak hentakan kaki datang dan pergi
Mereka
mencari-cari sebuah kota dan bertanya padaku
Lalu
aku menjawab sambil menikmati lintingan tembakau
“Mari
duduk bersamaku di sini
Menikmati
senja yang sedang berlari pergi
Setelah
itu, kau pasti akan menemukan kota yang kau cari”
Purwokerto, 2020
POHON ASAM DI TANAH NENEK BUYUT
/1/
Jarang
benar tanah ini menawarkan cerita masam
Nenek
buyut setiap malam hanya sibuk bercerita dengan serbuk manisnya
Cerita
manis tentang hasil bumi yang melimpah
Sampai
rela disedekahkan pada tuan-tuan koloni, kala dulu
/2/
Kata
nenek buyut, pohon asam jarang tumbuh dan besar di tanah sempit ini
Mungkin
karena pohon asam tidak ingin merusak manisnya cerita kota ini
Dan
pohon asam belum siap pula untuk disedekahkan pada tuan-tuan koloni
Purwokerto, 2020
TUHAN MEMBACA
WAJAH DAUN KERING DI PELOSOK NEGERI
PUISI
/1/
Sehabis
sembahyang embun hanya sedikit bertamu di wajah ini
Sedangkan
matahari selalu saja ramai membakar nasib di tanah ini
Siapa
mengerti?
Kami
di sini hanya bisa menikmati
Kemarau
dengan nafas semakin sesak
Bersama
akar dan batang kami yang semakin kurus
Di
hantam cerita manis yang terlantar
/2/
Dari
ketinggian langit, Tuhan membaca wajah kami
Tuhan
pula tersenyum menatap kering pelosok negeri puisi
Sembari
membalas doa
“Biar
nanti saya kirimkan hujan sebagai raja
Dan
menghapus sedikit otokrasi
Agar
dedaunan berwajah embun esok hari”
Purwokerto, 2020
PENGABDI DI TANAH MATI
Bila
saja ada sepohon keadilan
Tumbuh
di belantara tanah mati
Di pelosok peta negeri
Mungkin,
tanah ini akan sedikit memiliki nama:
Makmur
sejahtera
Sudahlah,
hanya belukar saja yang sudi rimbun
Hidup
berkerumun
Seakan
tidak ada lagi kembang-kembang
Maka
kabarkanlah nanti;
Pengabdi
hanya mampu sedikit membabatnya
Dan
bila saja ia mati
Mata
ingatlah keringat yang menderas di keningnya
Walau
keringat tak sempat menumbuhkan pohon keadilan di sini
Purwokerto, 2020
TIDAK ADA
PERJANJIAN DI SINI
/1/
Di
atas rimbun pohon cerita
Aku
anyam daun dan ranting kering
Sembari
menyebut namamu dengan hening
/2/
Di
antara pohon dan waktu
Aku
taruh kasih bayang
Barangkali
nanti kau sudi menjadi raga
Dan
kita bisa bersama
Menikmati
sarang kasih tanpa perjanjian
Purwokerto, 2020
Tentang
Penulis
Dewi Sukmawati lahir di Cilacap,
21 April 2000. Karyanya dimuat beberapa media massa. Alamat di Desa Tambakreja
Rt 02 Rw 01, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.Email:
sukmawatid608@gmail.com.