YANG HARUSNYA
DIGUYUR HUJAN
Yang diguyur
hujan harusnya kepalakepala mengepul di depan gawaigawai panas itu. Mereka yang
memproduksi kebencian sambil makan cemilan; mereka yang mengarak perdebatan di
medsos sambil tergelak; mereka yang mencari uang dari mengarangngarang
kesalahan; mereka yang sudah takpunya urat malu dan… Ah sudahlah…
Yang diguyur hujan harusnya kepalakepala mengepul di depan gawaigawai
panas itu. Bukan, bukan hanya untuk mendinginkan otak mereka, tapi biar
kerontang dan tandus kemanusiaan di sana terguyur air dari langit yang akan
menumbuhkan akarakar di tanah fitrah mereka yang tlah retak dan sengit.
Ya, Tuhan.. Seharian Engkau telah menguyur kami dengan rahmat-Mu.
Seharian pula kami berselimut sambil menyaksikan hirukpikuk diri sendiri…
Derwati, 8/2/21
YANG BELUM
DITUNAIKAN BUKAN SEKADAR JANJI
Janjijanji
yang belum ditunaikan adalah air mata pada doa mohon panjang usia. Misteri
adalah dirimu sendiri yang sering sombong karena kekuasaan. Dan kefanaan adalah
fiksi yang setengah kau percayai. Bukankah setiap hari bisa diciptakan cerita
baru untuk harapan baru untuk menutupi janji lama? Gumam itu salah satu denting
pada hirukpikuk sukmamu.
Janjijanji yang belum ditunaikan adalah air mata pada doa mohon panjang
usia. Pada jarum panjang waktu ada yang terseretseret sambil tertunduk lesu.
Sudahlah, jalani saja bersama kegelisahan itu. Setidaknya ada air mata yang
jadi saksi sedetik penyesalanmu.
(hanya jika sadar dia mengganti musik hingar di headset itu dengan
surat Al-Ashr)
Derwati, 10/2 /21
YANG TAKPUNYA DAYA
ITU TAKJUB
Yang takpunya
daya itu takjub melihat hujan di balik kaca jendela. Dan dia takmampu
menghitung sesuatu di atau dari sana. Tempias yang bening, haru yang hening,
indah yang denting.
Yang takpunya daya itu takjub melihat hujan di balik kaca jendela.
Tubuh lelahnya lungkah hampir ambruk ke tanah. Pertanyaan adalah hujam yang
takhenti jatuh di aspalaspal mendengus setelah
seharian ditimpa matari. Hanya sehela napas segala kan hempas?
(Dia takberani melihat kalender saat sadar bahwa usia bisa usai kapan
saja)
Boscha, 18/02/21
YANG MENGGIGILKAN
SUBUH ADALAH DOA DARI SUDUT SESAL
Takada penyesalan abadi, gumamnya. Hanya saja, ia sedang merasakan
sayatan tipis pisau do(s)a di sekujur
jiwa. Namun, tetap, takada penyesalan abadi, pungkasnya. Ia seka perih terakhir
yang sebentar lagi meleleh di sudut mata.
Subuh yang menggigil ia peluk dengan segenap upaya. Ia bangkit menuju
jendela dan membiarkan dirinya menelusup pada poripori kesegaran; pada daun
pada embun pada remang yang ngungun.
(beberapa getar dari gawai yang ia simpan di meja kerja menandai
dimulainya pertarungan itu)
Derwati, 19/02 /21
YANG TERDUDUK DI
POJOK HENING
Adakah hening bisa menghibur gundah?
Bagaimanakah cara hening berujar mendedah?
Apakah wujud hening seperti suwung pada mata saat terpejam pasrah?
Bisakah ia dipeluk saat jiwa terlampau lelah?
Mungkinkah ia bergelayut pada gegulir air mata sebelum pecah basah?
Atau serupa lapat dedoa ibu yang bersungkur pada sajadah?
(Yang terduduk di pojok hening adalah kau yang diserbu bising
pertanyaan taksudahsudah)
Eyckman, 27/02/21
YANG MENGHITUNG
DESIR DIRI DI DASAR HARI
Motor yang dilajukencangkannya menembus hujan
menemani zikir sore sang pengelana.
Yang basah hanya semesta; bibirnya tetap kering di antara lafaz kesadaran
Ooh, jarak… kau rentangkan sedemikian rupa syariat dari hakikat
Jiwa yang menungganginya tidak di situ
Ia bertamasya pada artefak dosadosa yang serupa perangkap lubang jalanan diselimuti
genangan
Ooh, jebak…kau hanya bisa diindra oleh makrifat rodaroda jiwa yang
menyatu dasar kefanaan.
(perjalanan jauh tak dirasakannya karena ia sedang melakukan perjalanan
dalam)
Derwati, 8/03/21
YANG TAKBISA
BERUBAH KARENA TAKMAU BERUBAH
Ini perihal aku bukan orang lain
Ini perihal waktu dan segala keputusan batin
Ini perihal perilaku dan manajemen segala yang mungkin
Ini perihal sikap dan pergulatan yakin takyakin
Ini perihal lupa yang membuatmu semakin
Ini perihal sajak bukan mainmain.
1 April 2021
YANG TERTUNDUK
MENDENGAR SAJAK DIBACAKAN
Bukan, bukan kau yang menembuskan makna,
tapi semesta. Dan kini
ada yang tertunduk dibebani berlapislapis ingatan.
Pada sebuah bangku berdebu di trotoar jalan ibu kota ia merapal Doa.
Bukan, bukan karena seperangkat bom yang disembunyikan di balik jaket
kebodohan ia bergetar
tapi oleh secuplik nelangsa.
Bangsaku oh, Bangsaku.. Terdengarkah sajak Rendra, Chairil, Taufiq,
Mustofa Bisri, dan Amir Hamzah dizikirkan dedaun jatuh?
Kebayoran Baru, 2/4/21
YANG TERSUMPAL WAKTU TERSEDAK
MAKNA
Napas tersenggal itu ia rasakan benar
Kematian dan kepahaman serentak menjalar
Pada degup satusatu jantung tersenggal menuju kelar
ia tetiba melihat lanskap yang menenggelamkan kabar
tentang esok, diri, dan harapan yang pudar
(Pada dinding gawai kulukis mural untuk otakku yang begitu berkuasa
dengan kalkulasi untung rugi dan presisi prediksi melalui survaisurvai
suarasuara pendukungpendukung yang penuh loyalitas pembenaran sehingga….)
Derwati, 8/9/21
Tentang Penulis
M.
Irfan Hidayatullah adalah seorang di Prodi
Sastra Indonesia Unpad. Buku kumpulan puisi yang sudah diterbitkannya adalah Perjalanan
yang Bulan (Pustaka Latifa, 2007), Reriak Jiwa (Qua Wacana, 2015), Ada
Titik Menari Samar Sekali (Balatin Press, 2018), dan Mendaras/Kompisisi/Senja
(Yayasan Mata Pelajar Indonesia, 2022).
Irfan bisa dihubungi di berbagai platform media
sosial: @hidayatullahirf (twitter), @hidayatullahirfan (FB dan IG),
@mirfanhidayatullah (Tiktok), M.Irfan Hidayatullah (youtube), dan di laman
pribadinya www.irfanhidayatullah.com. Hp.
081395133301