IKHWAL KECEMASAN MASSAL
Nonton televisi. Mendengarkan radio. Menguping obrolan warga
di Pos Ronda. Mengikuti pengajian mingguan—semua sama—menebar berita tentang
wabah corona yang datang secara tiba-tiba, seperti tumbuhnya rumput di beranda
tak terduga. Dadadada berdegup kencang. Bahkan, diri ini pun menjadi takut kala
mendengar suara napas sendiri. Semua berubah:
Absurd
2020
GULUNGAN INGATAN
Teringat One Orlet yang menulis syair: “Mati tak pernah
cuti!” Tuhanku adakah wabah corona ini seperti thaun di zaman rasul? Jika mati tak pernah cuti, lantas apa
fungsinya wabah corona di zaman kesempurnaan agama ini? O, Tuhanku—bukankah
kematian itu di tiap detik ada? Wahai Yang Maha Hakim; jadikanlah corona
sebagai jampi penawar yang bisa menghentikan ragam maksiat sebelum napas
berhenti dalam menghidupi
Mimpi
2020
SAJAK DARI RUANG TAMU
Mengamati taplak meja motif jati, bertilam debu sudah. Ruang
tamu yang menjadi sepi pengunjung, malas juga membersihkan tapestri. Ini semua
efek samping dari wabah corona. Mahluk ini seperti Tuhan yang tak bisa terlihat
oleh kasat mata, tapi memberikan efek yang berbeda. Wabah corona seperti hantu
yang datang membawa segudang kecemasan lakunya diri. Sementara sabda Tuhan
seperti petuah ibu yang pasti menuju jalan abadi, tapi kerap diacuhkan diri
Pribadi.
2020
MELENGKAPI PENGEMBARAAN
Hujan deras di pangkal senja. Suami mematung di tepi
jendela. Siapa yang bisa membaca pasti selain orang serumah? Tuhan tahu secara
pasti keadaan kami, tapi gaduh perut tak bisa diajak kompromi. Mengais dulu maka makan, tapi mengais
rezeki kini dibatasi ragam peraturan. Dimana segalanya bermula dari kedatangan
tamu yang tak terlihat kasat mata, bernama corona. Ucapanku tajam pada suami
tak berharap kejam menikam, tapi waktu menjelma jari-jari kuasa mencengkram
kita semua dalam rimba perbincangan mata. Hujan menjadi pagar tertinggi dalam
mengabdi. Kita adalah dua warna dalam sangkar perjuangan—merajut makna bahasa
di manakah cahaya dalam
Kaca?
2020
SAAT KAU TERTIDUR PULAS
Memandangmu, garis-garis tipis di pelipis matamu berpilin
menjadi sumbu umurmu sebelum disulut waktu menuju rumah abadi. Dalam renung
yang melewati ingatan yang memanjang: renik hujan melewati bermacam
percakapan—menangkarkan gelisah hutan perawan yang mengerlip dalam ritus doa
hingga gugurnya daun hatiku amat terasa beda dengan kemarin. Disebalik detik
yang tak letih memetik waktu, melewati sembilan purnama lebih sepuluh
hari—tangis pertama bunga mata pecah di pucuk malam. Di atas samping batik ada
segumpal daging, laju kau cuci bersih laju menguburkannya. Jejak ingatan itu
bukanlah sekadar impian yang berhasil dibekukan wabah corona, tapi kini kami
kesulitan untuk merawat bunga mata dalam
Asupan
2020
METAFORA CORONA
Mengamini doamu aku kenang kepak burung yang terbang ke
utara. Persuaan jejak kerap tak terduga, seperti nadi dalam
raga—berdenyut—bagai rajah yang digumamkan para pemabuk. Senyummu itu seolah
memeluk ini tubuh. Tajam sinar matamu membentang pandang peta-peta yang
berserakan sebagai kemulyaan—mula segala memuja Tuhan. Aku mengamini doa jadi
antrean panjang yang kelak dibacaNya. Bercermin pada motif tapestri, kita tak
ubahnya serat warna-warna yang berserak menjadi helai-helai benang, mampu
menyatukan yang berderai-derai. Wabah corona jadi jembatan keledai bersama dalam kembali pada jalan
Tuhan
2021
ROMANTISME CORONA
Iman Soleh berslogan: “Rakyat membantu rakyat” dan sejak
dahulu Mang Ohle punya slogan: “Dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat.” Membaca
riak gelombang resah, sudah saatnya bergerak: “Lebih cepat lebih baik!” ucap
Jusuf Kalla. Wabah corona memetakan banyak sudut pandang. Janganlah lupa berdoa
serta sematkan gambar hati di dada, bukan semata lencana melainkan hidup harus
punya cinta untuk sesama. Tuhan membaca
Kita
2021
KETIKA SEMUA MEMBACA
Wabah corona menyulam ribuan cerita yang saling terikat
dengan ragam benang merahnya. Benarkah musababnya wabah corona itu bisa
ada—hasil dari konspirasi dunia dalam permainan kapitalis? Ya, tidak ada yang
salah dalam persepsi, tetapi ketika narasi menjamur menjadi berita hoaks,
siapakah yang harus dipersalahkan? Sebab sebuah persepsi tak bisa dipersalahkan
mutlak, seperti hidup dan matinya ulat di dalam kepompong yang menjadi
Enigma
2021
PENGUKIR SEJARAH BARU
Wabah corona itu mampu membuncahkan ragam napas sejarah,
satu demi satu ladang rezeki gulung tikar. Meski saban pagi fajar memberi
hangat, tapi kematian ragam impian kian berkibar di segala penjuru. Ya, segala
sesuatunya jadi abu, seperti kayu yang dihanguskan api. Namun abu dari kayu bisa
menjadi pupuk, di satu detik kedepan mampu menghidupkan lalu menghidupi
mimpi-mimpi diri dalam rawat cinta pasca menanam. Ya, engkaulah pengukir
sejarah baru, wahai wabah
Corona
2021
SAJAK HIJAU
Jangan bersedih kawan, sebab
maut selalu datang menjemput meski tanpa wabah corona. Kematian merupakan
takdir mutlak bagi semua makhluk yang bernyawa. Bersedihlah untuk diri dari
pagi hingga malam sudah berapa bekal yang mampu dipersiapkan pribadi? Kau tahu,
segudang tanya tak selamanya jadi solusi untuk menemukan muara abadi, tapi
istikamah jalan mutlak menjadi
Cahaya
2021
Sutiragen adalah nama
pena dari Syifa Siti Sofia. Lahir di
Tasikmalaya 14 Mei 1995. Lulusan dari Universitas Siliwangi Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Semasa kuliah sempat
aktif di Sanggar Sastra Tasik. Kini, sebagai pengajar pelajaran Bahasa
Indonesia di SMAN 9 Tasikmalaya. Puisi–puisinya
sempat tersebar di beberapa media lokal dan nasional. Seperti Surat Kabar Priangan,
Radar Tasikmalaya, Pikiran Rakyat dan Jurnal Sajak Edisi 9 Kini, Esok,
Kemarin. Juga dalam antologi bersama
dengan judul MENANAM PUISI (Langgam Pustaka:2016), PUANDEMIK (JBS &
Puandemikmenulis: Juli 2021).