DAUN PAPUA
Oleh : Waliyunu Heriman
Kami
baru saja asyik bercakap ketika tiga orang pria itu datang. Mengetuk pintu dan
mengucap salam dengan intonasi yang “arabis”. Cak Badul gesit menjawab dengan intonasi
yang dibuat sedemikian arabis juga. Sebelum berjingkat ke pintu menyuruhku
menunggu di ruang belakang, tempat kami, setiap kali bertemu, bercengkrama.
Pria-pria
itu mengenakan baju gamis, satu mengenakan jugah dan udeng-udeng di kepala. Dua di antara mereka
memakai celana jingkrang. Ada tanda hitam pada jidat mereka. Pada pria berjubah
tanda hitam itu, ada dua, sangat
mencolok.
Aku
menduga pria-pria itu adalah anggota jemaah tabligh, yang kutahu suka mendatangi rumah-rumah sesama
muslim untuk berdakwah, dan yang utama mengajak para lelaki agar giat sholat
wajib berjamaah di masjid atau mushola.
Aku
senyam-senyum sendiri membayangkan Cak Badul kelimpungan berhadapan pria-pria
itu. Jika tidak, sebaliknya, pria-pria itu kebakaran jenggot oleh, cangkem elek Cak Badul yang terkadang
tak mengenal adab.
Kopi
yang kuteguk nyaris terhambur dari mulut oleh tawaku yang tiba-tiba meledak
saat pria berjubah itu tiba-tiba memvonis bahwa apa yang dilakukan Cak Badul
selama ini adalah bid’ah. Rasulullah tidak pernah mencontohkan apalagi mengajarkan pada umatnya suatu pekerjaan,
mengubah bagian tubuh, dengan cara atau media apa pun.
“Antum
melakukan itu. Hati-hati, antum kafir,” pekik pria berjubah.
Cak
Badul dengan rileks menimpal bahwa agama tidak mengharamkan orang berikhtiar memperbesar
kelamin selama itu dilakukan dengan cara yang tidak berbahaya.
“Betul
antum bilang itu bid’ah. Tapi bid’ah yang mana dulu. Antum pakai hand phone?
Rassul tidak mencontohkan itu,”
Kubayangkan
perdebatan antara Cak Badul dengan para pria itu bertambah seru. Cak Badul yang slengean dan bermulut “kacau” berjuang
mati-matian mengadu argument dengan pria-pria berilmu itu. Perdebatan itulah
yang kutunggu sebab aku bakal mendapatkan hiburan. Nanti, lewat cerita Cak
Badul setelah tamu pergi. Tetapi harapanku
gagal. Pria itu hanya bertemu sebentar lalu permisi.
Cak
Badul menghampiriku di belakang, tersenyum riang lalu duduk di sebelah.
“Mereka
klien baru saya,” ujarnya
“Daun
Papua?”
“Apalagi.
Itu satu-satunya jalan hidupku sekarang,”
“Kukira
orang seperti itu…”
“Siapa
bilang? Mereka bukan yang pertama. Sudah banyak yang menjadi klien saya.
Tiba-tiba inbox atau japri. Sering juga yang datang kayak mereka itu. Pokoknya
klienku sudah ribuan,” potong Cak Badul. Dalam bisnisnya sekarang ia menyebut
konsumen atau pembeli dengan klien.
Aku
menggangguk-angguk, kagum dan geli mendengar cerita Cak Badul. Fakta atau
fiksi? Aku tak lagi peduli, yang pasti teman berselorohku itu sekarang sudah enjoy
dengan usahanya itu.
Namanya
Bambang Abdul Wahid Wahasyi. Kami memanggil Cak karena ia orang Jombang dan Badul, akronim dari namanya yang
cukup panjang. Kami berteman waktu masih tinggal di Bandung. Ia sempat kuliah
di IAIN tapi tak tamat. Menjadi jurnalis
lalu ditugaskan di Samarinda. Kreatif dan supel. Relasinya dengan pejabat dan
orang-orang besar di kota itu banyak. Bertahun-tahun sebelum Joko Widodo
berkuasa Cak Badul berjaya dengan BAW Tour
and Travel-nya. Fulus mengalir deras dari orang-orang pemerintah, pejabat,
parlemen dan perusahaan yang melakukan perjalanan dinas atau wisata ke luar
pulau.
“Yang
besar tips ini-itunya,” kata Cak Badul suatu ketika saat kami bertemu di
Bandung. Ia baru saja mengantar tamunya ke sebuah tempat hiburan terkemuka.
Kejayaan
Cak Badul stop setelah Joko Widodo menjadi presiden, ketika biaya perjalanan
dinas dan sejenisnya dipangkas habis. Biro jasanya tak lagi mengalirkan fulus
besar bahkan perlahan-lahan padam. Cak Badul sangat geram atas perubahan nasib
itu. Telunjuknya menuding pemerintah sebagai rezim yang telah menyengsarakan
rakyat. Dengan modal sebagai bekas mahasiswa pergerakan, Cak Bedul mengikrarkan
diri menjadi oposisi permanen. Tiap saat, di media sosial, melalui akun
facebook-nya, Cak Badul tak jemu melancarkan
kritik, pedas dan nakal.
Aku
masih ingat, kali pertama Cak Badul memproklamirkan diri sebagai penjual Daun
Papua menjelang periode pertama Presiden Joko Widodo berakhir. Daun Papua yang
dimaksud adalah ramuan khusus yang berkhasiat untuk membesarkan Mr P. Bahannya
adalah Daun Papua. Menurut Cak Badul, ramuan itu bahan utamanya daun pohon yang
tumbuh di Papua. Ia satu-satunya orang di Indonesia bagian tengah dan barat
yang punya agen langsung dari sana. Daun dari jenis pohon apa dan betulkah dari
Papua? Wallahualam, hingga kini menjadi rahasia paten Cak Badul.
Cak
Badul mengemasnya sendiri dalam plastic saset kecil ukuran 3 x 5 cm. satu saset
untuk satu kali pakai. Dilengkapi dengan petunjuk teknis pemakaian yang ia buat
pada secarik kertas. Awalnya ia menjual dengan harga Rp200 ribu persaset.
Beberapa bulan kemudian menjadi Rp400 ribu lalu sekarang Rp600 ribu.
Pada
saat kampanye “tertutup” mulai berlangsung. Cak Badul muncul dengan propaganda
bisnisnya, “Rakyat Tak Perlu Janji, Rakyat
Butuh yang Pasti. Daun Papua Solusi Mengubah Barang Kecil Menjadi Besar”.
Kalimat itu tertera di bawah gambar pisang ambon berukuran mini dan jumbo. Aku
tertawa lepas melihat promo perdana itu di akun media sosialnya. Ia juga
mengirimiku melalui pesan whatsapp.
Aku yakin ratusan bahkan ribuan orang
akan tersenyum oleh ulah bisnisnya itu.
Cak
Badul gencar mempromosikan binisnya itu di dunia maya. Media sosial dirambahnya
habis-habisan. Bagiku yang sudah mengenal karakter Cak Badul, selalu mendapat hiburan.
Cak Badul sangat cerdik dalam memanfaatkan setiap situasi. Pada musim kampanye,
di fecebook, ia selalu muncul pada postingan-postingan viral. Menyelinap
mempromosikan usahanya. “Jutaan rakyat Indonesia membutuhkan Daun Papua,”
tulisnya. Atau kalimat lain, “Daun Papua, Solusi Paten Keharmonisan Rumah
Tangga”, dan sebagainya.
Berita
berbau perselingkuhan, berita paling manis bagi Cak Badul untuk di-share di
facebook dan diberi caption, “Nah, lho? Coba Pakai Daun Papua,”. Begitu juga berita perceraian selebritis dan
tetek bengek seputar kelambu dan rumah
tangga. Bosan dengan itu ia beralih ke meme. Tiba-tiba muncul gambar cicak dan
iguana dengan caption “Mengubah Cicak menjadi Iguana,” Kami orang-orang dewasa tahu
kemana arahnya itu.
Kami,
teman-teman yang kenal baik menjuluki Cak Badul sebagai Menteri Pembesar
Bangsa. Tapi Cak Badul lebih suka menyebut dirinya dengan Tabib Nusantara.
Belakangan setelah usahanya moncer aku melihat foto di akun facebooknya
berubah. Berudeng-udeng putih dengan wajah brewok lebat. “Tabib Nusantara,
Mitra Rumah Tangga Samawa,” tulisan di bawah fotonnya.
Soal
khasiat Daun Papua aku memang belum pernah membuktikan meskipun ia bersedia memberiku
cuma-cuma. Tapi dari banyaknya testimoni yang ia tunjukan aku percaya saja
bahwa Daun Papua berkhasiat nyata memperbesar anu kaum pria secara permanen.
Tanpa sungkan Cak Badul menunjukan foto-foto sebagai bukti. Aku tetap menolak
kebaikan Cak Badul sebab aku merasa punyaku sudah cukup.
“Klien
saya juga banyak yang perempuan, ibu-ibu. Bahkan lebih banyak. Mereka memesan
untuk suaminya. Sebagian menjadi reseller saya,”
Dari
pengalaman itu Cak Badul menyimpulkan bahwa sembilan dari sepuluh perempuan
lebih menyukai barang besar. Aku tertawa. Cak Badul terus bercerita. Daun Papua
juga berkhasiat memperbaiki keturunan. Memperbaiki gen kulit. Penuh percaya
diri Cak Badul menunjukan anaknya yang sekarang berusia 2 tahun. Kulitnya putih
dan glowing.
“Kamu
tak percaya? Siapa yang berkulit putih? Ayah dan ibunya kamu lihat sendiri,
Negroid. Dua kakaknya sama. Itu karena khasiat Daun Papua. Jadi bukan hanya
mengubah kecil jadi besar tapi juga mengubah warna,” ujarnya. Aku ikut
mengakak. Sulit memang mempercayai ucapannya itu. Tapi faktanya memang
demikian.
***
Aku datang menemui Cak Badul karena
kebetulan dalam urusan pekerjaan, harus
mampir ke Samarinda. Semula rute perjalananku, dari Long Ampung ke Ibu Kota Malinau
lalu Tarakan dan dari Tarakan ke Jakarta. Namun di Bandara Long Ampung aku dan 2 penumpang lain yang berada di urutan
3 terakhir daftar bokingan, di-cancel sebab pesawat harus membawa pasien yang
mengalami pendarahan. Ada dua pilihan, pindah jadwal ke 3 hari kemudian atau
beralih terbang ke Samarinda. Aku memilih terbang ke Samarinda. Hitung-hitunganku, meski menambah sedikit
harga tiket, dari Samarinda pulang ke Jakarta lebih murah dan di Samarinda,
sebelum ke Bandara Sepinggan Balikpapan, aku bisa temu kangen dengan Cak Badul.
Kabar ia akan mencalonkan diri
sebagai kepala desa itulah yang sangat menarik bagiku. Analisisku, Cak Badul
tertarik jadi kepala desa karena menjadi kepala desa sekarang enak. Punya
penghasilan tetap yang jelas ditambah penghasilan lain-lain yang dapat
diperoleh dari proyek-proyek desa. Itu berkat kebijakan Presiden Joko Widodo.
Nah, bagaimana ceritanya dia yang nyata-nyata di depanku menyatakan diri akan
menjadi oposisi permanen tiba-tiba berkoalisi?
“Serius Cak?”
“Lho, sampean nggak lihat
baliho-baliho di jalan itu?”
Ya, aku melihat baliho-baliho besar
di sepanjang jalan. Kupastikan Cak Badul harus menyiapkan fulus besar untuk
itu.
“Itu semua dimodali beberapa klien
saya, orang besar,”
“Hebat,”
“Daun Papua,”
Kami tertawa.
“Kecuali aqidah, dalam hidup ini tak
perlu ada yang dipertahankan mati-matian. Seperti air saja, mengalir ke mana
pun enaknya. Apalagi hanya dalam soal politik. Kemarin saya anti pemerintah
sekarang sebaliknya. Dulu saya pengusaha, sekarang pedagang, besok kepala
desa,”
“Stop
jual Daun Papua?”
“Kalau
itu selama yang namanya makhluk bernama laki-laki ada, tetap eksis,”
“Nggak
malu?”
“Presiden
saja berdagang, apalagi cuma kepala desa. Negara maksud saya,”
Kami larut bercakap. Ketika wabah
memporakporandakan berbagai tatanan kehidupan bisnis Daun Papua oleng dan
macet. Cak Badul kelimpungan. Omesetnya melorot drastis.
“Beruntung saya sempat
berinvestasi,”
“Sekarang bagaimana?”
“Mulai lancar. Stok banyak. Tapi itu
buat modal saya Pilkades,”
Cak Badul berdiri, lalu berjikat
pergi ke dalam. Kembali membawa dua karung penuh berisi. Di depanku ia membuka
ikatan. Karung itu ia pakai untuk melapis plastic besar berisi serbuk hijau.
“Ini Daun Papua. Sudah dikeringkan
dan digiling menjadi serbuk. Tinggal saya ramu. Bisa jadi ribuan bahkan puluhan
ribu bungkus. Inilah modal saya berkampanye nanti. Modal untuk meraup suara
sebanyak-banyaknya. Kunci kemenangan. Ingat, seluruh rakyat Indonesia
membutuhkan Daun Papua. Saya hadir untuk memenuhi kebutuhan hakiki mereka,”
Aku tertegun. Tawaku meledak. Cak
Badul berdiri gagah, menang!
Samarinda-Majalengka
2022