MENGAMATI ISU EKOLOGI
MELALUI PUISI
Oleh:
Muharsyam Dwi Anantama
Dewasa ini, ekologi
menjadi isu yang menarik dan cukup seksi. Isu ekologi menjadi perhatian para
praktisi dan peneliti. Diskursus perihal ekologi begitu mudah kita jumpai. Pasalnya,
rusaknya lingkungan dan alam memiliki implikasi terhadap keberlangsungan hidup
manusia. Lingkungan hari ini berada pada kondisi yang terancam dan cukup
mengenaskan. Aktivitas manusia yang serampangan terhadap alam menjadi salah
satu pemicu. Lingkungan mulai menampakkan perubahan yang signifikan akibat
perilaku manusia. Perubahan ini nampaknya menyasar pada arah yang negatif.
Di Indonesia, permasalahan
ekologi juga mengemuka. Kerusakan lingkungan di Indonesia tampak nyata. Kita
bisa menilik hal itu melalui survei dari Badan Pusat Statistik. Berdasarkan
Statistik Lingkungan Hidup Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS)
pada tahun 2018 disebutkan bahwa kualitas air sungai di Indonesia pada umumnya
berada dalam status tercemar berat. Dari 82 sungai yang dipantau sepanjang
2016-2017, BPS mencatat terdapat 50 sungai yang kondisinya relatif tidak
berubah dan terdapat 18 sungai yang kualitasnya membaik, namun sebanyak 14
sungai kualitasnya memburuk.
Perihal
kebersihan lingkungan juga belum menggembirakan. Permasalahan sampah menjadi
hal yang belum mampu untuk diselesaikan. Sebenarnya, konstitusi memberikan
amanat yang gamblang dalam hal pengelolaan sampah. Hal itu termaktub dalam
Undang-Undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan turunannya. Namun,
hingga tahun 2016 produksi sampah mencapai angka 65,2 juta ton per tahun. Menilik
data statistik itu, dapat kita pahami bahwa upaya penanganan sampah masih
stagnan.
Salah satu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa
patron pembangunan hari ini cenderung mengedepankan hasrat ekonomi ketimbang
ekologi. Hal ini semakin memperparah rantai kerusakan lingkungan hidup yang
terus terakumulasi. Muaranya adalah terjadi berbagai bencana semisal banjir,
tanah longsor, dan kekeringan. Bencana-bencana ini tentu menimbulkan kerugian
dan korban.
Sastra
Berpijak pada Realita
Menilik realita dalam
kehidupan nyata dapat dilakukan melalui media karya sastra. Karya sastra
bukanlah segumpal bualan yang lahir dari ruang kosong dan hampa. Ia lahir dari
anasir-anasir lingkungan dan keadaan disekitar pengarang. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa karya sastra menjadi prasasti sebuah zaman. Melalui
sebuah karya sastra, kita dapat menilik realitas yang hadir kala itu.
Dalam
karya sastra, pengarang mencoba menggambarkan dunia sosial dalam kehidupan
sehari-hari. Karya sastra berkelindan dengan situasi dan kondisi lingkungan dan
masyarakat. Khususnya kondisi lingkungan dan masyarakat tempat ia dilahirkan.
Karya sastra dapat menjadi piranti bagi pengarang untuk ,menyampaikan pikiran,
perasaan, dan tanggapan atas suatu peristiwa. Karya sastra yang lahir dari
seorang pengarang tak bisa lepas dari keadaan disekitarnya.
Puisi sebagai salah satu
bagian dari karya sastra juga mereflesikan masalah-masalah sosial yang
berkaitan dengan isu ekologi. Banyak penyair Indonesia yang mendasarkan
puisinya pada isu-isu ekologi. Salah satunya adalah Ahmad Sultoni. Ahmad
Sultoni melalui buku kumpulan puisinya yang berjudul “Dongeng Pohon Pisang” pun
mencoba bersikap demikian. Puisi-puisi dalam bukunya sarat akan isu ekologi.
Memuat
Isu Ekologi
Narasi-narasi dalam puisi
Ahmad Sultoni secara jelas bersandar pada isu ekologi. Mulai dari alih fungsi
lahan hingga pudarnya keindahan alam tergambar dalam puisi-puisi yang
ditulisnya. Salah satunya adalah hilangnya keindahan sawah yang selama ini
menjadi latar hidupnya. Berkaitan dengan memori tentang sawah yang indah, dapat
kita simak pada nukilan puisi berikut: ayah,
ibu, kakek, dan nenek/ hidup dari sawah. Aku pun juga/ engkau pun juga./ di
sawah padi dan palawija/ bisa tumbuh dengan riang/ di sawah burung-burung
kuntul/ mengistirahatkan terbang/ di sawah burung-burung jalak/ mencari kutu di
badan kerbau. Puisi berjudul “Sawah dan Aku” itu memotret sawah sebagai
tempat yang indah dan bermakna. Sawah memiliki posisi yang vital. Banyak
makhluk hidup yang bergantung pada hadirnya sawah.
Namun nampaknya keindahan
dan kebermaknaan sawah perlahan tiada. Ahmad Sultoni menaruh kegundahan pada
keadaan yang berubah begitu cepatnya. Ia merasa banyak hal-hal pada masa
kecilnya yang kini perlahan tiada. Salah satunya adalah keberadaan sawah. Hal
itu bisa kita dapati dalam kutipan puisi berikut: Sekarang rinduku pada sawah/ membuncah. Sawah-sawah/ mulai punah. Puisi
berjudul “Sawah dan Aku” tersebut menarasikan kerinduan sang penyair pada
sawah.
Sawah-sawah telah beralih
fungsi. Hijaunya sudah tak nampak lagi. Lahan dan bangunan perlahan menindih
dan menguburnya. Kita simak dalam potongan puisi berjudul “Sawah dan Aku”
berikut: Hamparan hijau yang mendebarkan/
Menjelma rumah-rumah/ menjelma pabrik-pabrik. Kapitalisasi telah
mengalahkan pentingnya ekologi. Pabrik dan rumah dianggap lebih penting dari
keberadaan sawah.
Permasalahan sampah juga
tak luput dari perhatian Ahmad Sultoni. Sampah memang menjadi permasalahan
klasik di Indonesia. Bertahun-tahun permasalahan ini belum bisa dituntaskan.
Bencana banjir akibat perilaku manusia yang gemar membuang sampah di sungai
masih terus terjadi. Padahal perilaku tidak terpuji ini bukan hanya berdampak
bagi manusia. Namun, juga berbahaya bagi ekosistem yang ada di dalamnya. Kita
simak dalam petikan puisi berjudul “Sungai Kecil di Kampungku” berikut: sungai adalah temanku/ aku tidak mau
menyakitimu/ sampah kubuang di tempat sampah/ ikan tak boleh di setrum/ ikan
tak boleh diracun/ biar sungai juga menyayangi kita/ agar tidak bikin banjir/
rumah-rumah. Perilaku menyayangi sungai mutlak perlu dilakukan. Hal ini
menjadi salah satu ikhtiar untuk menanggulangi bencana dan menjaga ekosistem
didalamnya.
Manusia hidup berdampingan
dengan alam. Saling menjaga, merawat, dan menyayangi adalah sebuah kewajiban. Ahmad
Sultoni memberi nasihat akan hal itu dalam nukilan puisi berjudul “Pohon Bambu”
berikut: pohon itu teman baik air/
disimpanlah air yang kita minum/ di tubuh jangkungnya/ disesapnya kedalaman
tanah. Pohon selalu memberi kebaikan pada manusia. Kehadirannya selain
memberi kesejukan juga kecukupan air. Tugas manusia adalah menjaga dan
merawatnya.
Sebagai orang yang hidup
berdampingan dengan alam sedari kecil, Ahmad Sultoni menaruh perhatian besar
pada isu-isu ekologi. Kerusakan alam dan lingkungan baginya adalah bencana yang
luar biasa. Selain kehilangan masa lalu, kerusakan alam bisa membuat generasi
sesudahnya kehilangan harapan masa depan.***
Muharsyam Dwi Anantama, Pengajar
di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung.