PANJAT PINANG MAKASAR
1917
(Based on an Old
Photo)
Watercolour
Brush on Ibis Paint as A4 Canvas. Suci Wulandari
membuat karya tersebut dalam rangka turut memperingati Hari Ulang Tahun ke-77
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain daripada partisipasinya, lukisan ini
menyimpan kesan tersendiri bagi Suci Wulandari, dimulai dari kain batik hadiah panjat
pinang yang dimenangkan ayahnya, kain tersebut kemudian dijahit menjadi baju
lebaran keluarganya.
Pertama saya
melihat lukisan ini, saya sadar satu hal bahwa mata seorang seniman bekerja
ganda. Pertama, mata menangkap objek, berkaitan dengan bentuk dan gerak
objek. Kedua, mata memantik kita untuk memikirkan hal lain, kontribusi
lain, bentuk lain dan gerakan lain. Keinginan melibatkan diri dalam suatu objek
menjadi semakin besar, misalkan saja seorang fotografer yang melihat suatu
fenomena atau suatu momen, maka dia akan berkeinginan memotretnya. Banyak di
antaranya yang ketika melewati momen tersebut kemudian mengatakan, “Seandainya
membawa kamera, pasti ini akan dapat saya potret.” Mata seorang seniman pun
demikian, bekerja ganda, termasuk Suci Wulandari yang berkeinginan melukis
Panjat Pinang selepas dia melihat dokumentasi lawas di kumparan.com, yang mana
foto tersebut diambil pada tahun 1917.
Saya tidak
bertanya nilai panjat pinang yang Suci Wulandari buat, sebab lukisan tersebut
merupakan versi lukisan dari foto lawas tahun 1917. Saya melihat lukisan ini
dan dia dengan antusias mengatakan, “Saya memaknai panjat pinang sebagai
permainan yang penuh dengan nilai kehidupan, khususnya hidup di negara tercinta
ini. Sebilah bambu yang menjulang tinggi, menjadi satu-satunya jalan untuk
mendapatkan berbagai hadiah yang digantungkan di sana. Demikian seperti hidup
di negeri ini, keyakinan yang kokoh menjadi satu-satunya pegangan untuk
menciptakan kehidupan yang lebih mulia. Gotong-royong pun menjadi pengiring
dari keyakinan kita. Tentu dalam hidup kita pasti menemui hal-hal yang sukar.
Keyakinan adalah pegangan, tetapi saling membantu merupakan kunci dari
kehidupan yang harmonis. Selain itu, rakyat Indonesia adalah rakyat yang
memiliki dua nilai mulia itu. Maka, kemuliaan hidup dapat kita raih
bersama-sama. Merdeka!” selepas dia mengucap merdeka, seketika itu saya
tersenyum.
Hidup di mata
Suci Wulandari penuh nilai keyakinan, pengalaman semacam ini banyak dipakai
oleh seniman maupun penyair dalam memberikan kontribusi pada karya, menggali
peristiwa hidup sehari-hari menjadi suatu kebermanfaatan lain. Sampai di sini,
saya teringat Joko Pinurbo, yang mengemukakan tentang pengalaman penting yang
dia peroleh, bahwa sastra tidak ditumbuhkan begitu saja melalui perkuliahan,
ceramah, pelatihan dan lain-lain. Kecintaan Joko Pinurbo pada sastra hanya bisa
mekar dari kegemaran membaca dan menghargai nilai-nilai spiritual dan
intelektual, bukan dari praktik hidup yang semata-mata pragmatik-ekonomis.
Membaca pengalaman Joko Pinurbo inilah yang membuat saya tersenyum ketika
mendengar Suci Wulandari mengatakan merdeka! Tinggallah kita tunggu,
kemerdekaan atas nilai kehidupan di dalam lukisannya itulah atau kemerdekaan
dirinya dalam melukis yang lebih dulu akan memanjang, atau boleh jadi keduanya
menjulur beriringan. Kita lihat nanti.
(Efen Nurfiana)
Tentang Pelukis
Suci
Wulandari. Ia lahir di Banyumas, tepatnya pada 23
Mei 2000. Menyukai kucing dan bangunan-bangunan masa lampau. Saat ini, ia tengah
menempuh pendidikan S-1 dengan mengambil jurusan Pendidikan Islam Anak Usia
Dini di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Kesibukan lainnya antara
lain tergabung dalam komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir dan Wadas Kelir
Publisher.