DILEMA SENJA
1/
Kalau waktu bisa berwarna seperti senja
Kan kupilih warna merah yang memanjang untuk kau simpan di matamu
agar hilang sudah bayang-bayang kesepianmu
menyisakan bola matamu yang berawan,
kenangan yang menenggalamkan.
aku hanya melihat tanpa berbuat
bukan tak bisa tapi aku tak kuasa
dalam sepiku aku terjatuh sebelum bangun.
Ada yang lebih kejam ketimbang jatuh hati
Kesepian itu sendiri.
Senja yang meleleh di matamu
membekukan segala ingatanku.
2/
Yang terbayang sebelum menghilang adalah wajahmu sebelum terbenam
Setiap cahaya yang menyentuh pipimu, senyummu bahkan lesung pipimu
Adalah puisi yang tak pernah selesai kupahami.
Bukit-bukit yang menyisakan cerita pada lerengnya telah berjatuhan
Menjadi bongkahan masa lalu yang berserakan dibiarkannya
Berteman dengan belalang dan serangga menjadi teman sepi.
Kini malam menjelma nyanyian dikesepian yang menggigil ingatan
Tidak ada lagi pengantar senyum sebelum fajar datang atau
Senja yang mulai bergelantungan di wajahmu.
Puing-puing waktu yang berserakan, jam yang semakin ganas menjerat
ingatan
Detik yang semakin cepat menggulung pikiran
Adalah kesakitan bagi rindu menunggu datangnya fajar
Agar menunggu senja datang tidak terlalu mengambang.
3/
Malam semakin menepi sepi yang mulai diseret hati
Mengeja dari pagi sampai pagi kembali
Didalamnya adalah namamu yang mengisi tanpa mengenal henti
Menunggu datangnya senja sama saja bunuh diri pada serpihan waktu
Yang memburu setiap mengingat jalan menuju kesepian
Doa adalah aku yang masih terbata-bata
Tapi terbata-bata bisa menjadi doa terkabul jika hati yang mengisi
Menjadi benang bagi langit-langit yang mulai dipenuhi awan.
Biarlah menunggu dengan doa saja di ruang menyepi.
Setidaknya memilikimu tidak bisa, mengabadikanmu dalam puisi saja
Itu hadiah dariku.
4/
Tidak ada luka yang abadi begitupun tidak ada kesendirian yang
kemanjangan
Garis-garis waktu yang menjuntai akan selalu berputar mengantar
impian
Hanya pilihan yang akan menentukan, berdiam atau mengikuti waktu
Dengan membawa segala kenangan yang kadang berloncatan meminta
rehat
Untuk sesekali mengulasnya menjadi burung-burung atau bintang.
Menulis ingatan tentang persitiwa singkat adalah hadiah waktu yang
diberikan
Ketika matahari mendesak pergi.
Tidak ada lagi senyum, sebab sudah kuduplikat dalam puisi.
Sebelum kepergianmu mengundang rindu.
Akan tinggal saja di sini bercengkrama dengan sepi dan rindu
menjadi burung merpati
Di kala puisi sudah menampung namamu
Kemudian akan diterbangkannya lewat zaman untuk mengantarmu abadi.
5/
Ketika mendekat ke senja, lagi-lagi waktu menertawakan, awan riang
Bergerak menyalami sepi, burung-burung bernyanyi kesedihan, warna
senja
Bergerak perlahan untuk melihat hujan di samudra. Begitulah aku
ditunggangi waktu.
Ketika warna senja mulai menggantung di langit dan awan menggambar
siluet
Pohon mulai tenggelam, jalan mulai lengang tinggalah seorang anak
yang menggambar senja
Tanpa kuas atau kanvas.
Ia menggambar dengan hatinya, wajahmu sebelum terbenam.
6/
Mencari kefanaan sudah pasti
Tinggal bagaimana puisi mengabadi
SENJA DI WAJAHMU
Sore;
Lukisan wajah pada pasir yang kubuat dengan perasaan
Mengajakku menyusuri setiap lekuk hari yang kita lalu
Dari sepi hingga riuh buih untuk menyaksikan bias mimpi-mimpi
Kemudian kembali ke lautan hati kita masing-masing. Dari gemuruhnya
adalah doa anak cucu yang mulai beriak tanpa henti membentangkan mimpi
Disanalah kusematkan senyum di wajahmu sebagai obat di kala senja.
Senja;
Matahari mulai pamitan dengan burung-burung, karang yang mulai
hilang
Warna hutan yang menghitam, nelayan mulai menepi ke pesisir,
perahu-perahu berjajaran ditinggalkan pemiliknya, tapak kaki yang mulai hilang
di hapus angin darat
Telah disaksikannya semua harapan sebelum tenggelam
Doa anak cucu adam yang mulai menepi sebelum purnama mulai
mengamini.
Di wajahmu;
Semua bermuara, dari gelombang pasang-surut air laut yang menerkam
karang
Dengan tabah membawa pasir ke pesisir untuk melukis hamparan
pantai.
Lalu dengan wajahmu tenggelam diseret angin buritan. Di dadaku.
Deburnya masih kurasakan hingga keujung hati. Dan kita bercerita
tanpa henti
Pada rembulan yang tersenyum menyaksikan sepasang kekasih saling
merindu
Pada
jarak.
SEPASANG MERPATI
1/
Dering
waktu adalah kau
Detik
jam adalah waktu
Setiap
dering adalah waktu yang kau sediakan untuk rindu.
Sebelum
berakhir tanpa dering
Ketakutan
tercepat adalah tidak ada rindu tak mengenal detik waktu
Semua
berakhir dengan dering yang menggebu.
2/
Sebuah mercury yang terpasang di halaman depan rumah telah redup
ketika fajar mulai terbenam di matamu. Biarlah dingin menjadi teman bagi
kerinduan yang menggigil saban menapaki detik demi detik yang bekejaran dengan
fajar, yang mulai di seret matahari. Nampaknya lesung pipimu lebih kunanti
sebelum matahari mengusir fajar yang asik menyentil ingatanku tentang wajahmu
yang berserakkan di bunga-bunga, jendela, kamar dan jam beker yang sedari tadi
terus memanggil namaku. Akhir-akhir ini aku sering menerka-nerka tamu yang
mengetuk pintu pagi buta, entahlah semua seperti fajar yang datang tanpa
diundang yang memasuki sela-sela jendela. Tapi hampir setiap harapan yang
berseliweran seperti angin tanpa ada kabar yang jelas, ini hanya firasat saja
atau lebih tepatnya halusinasi saja.
3/
Sepasang burung merpati terbang mencari tempat untuk hinggap dan
bercinta. Meliuk-liuk sepanjang jalan melewat toko, rumah, perkantoran dengan
begitu senangnya. Tidak ada waktu yang lebih indah untuk menjadi kepingan
ingatan selain melewati hari-hari berdua dengan terbang bebas. Tidak ada yang
mengganggu. Hari sedang bersahabat, awan mengantarkan kedua merpati dengan
senyum dibalas senyum. Angin menggulung senyum dengan sepoi-sepoi menjadi jalan
bagi sepasang merpati yang akan menuju taman hati.
4/
Sepasang burung merpati yang bertengger di kursi taman meninggalkan
tempatnya. Setelah saling mematukkan bunga-bunga yang sudah ditanamnya sejak
lama. Dengan membawa kado yang dibawanya terbang ke udara mengabarkan cintanya
yang semakin mengangkasa. Hari semakin bahagia menyambut sepasang merpati yang
sedang kasmaran, awan mengantarkan pulang dengan melodi yang sesuai perasaan
berkolaborasi dengan angin yang bernyanyi dengan merdu. Pohon pinus, gajah,
panda dan seisi taman itu melambaikan tanda perpisahan. “Semoga bisa kembali ke
sini.” Aku merasa hari ini seperti ada yang menerbangkan sayap-sayapku melewat
jalur yang tadi dilewati ketika berangkat. Melesat dengan bahagia.
5/
Kemudian ia kembali kesarang membawa kado yang masih dipelukkan.
Menunggu
musim yang bisa mengantarnya menanam dering waktu.
SEBELUM PERGI
Aku tidak sepandai itu membungkus rasa
Kemanapun berjalan
Ingatanmu masih saja terbentang
Di dada mengisi segala cuaca
Kemanakah kiranya berlabuh
Ketika perahu kehilangan daratan
Akan sampai kemana mencari samudra
Kalau hingga ke ujung pengharapan
Waktu memang berputar tanpa mengenal rasa
Ia akrab dengan segala cuaca.
Begitupun dengan cinta ia akrab dengan deritanya
Kalau karma hitungan seperti angka
Maka pengharapan ini belum setimpal
Dengan luka yang menganga pada siapa saja.
MENJELANG MALAM
Angin kemarau yang parau bertamu
pada sela-sela daun
Disambutnya dengan riuh
Angin;
-duka
yang melanda dari semak, daun, ranting
berjatuhan
menuju tanah
ia
kabarkan semesta yang merajuk pada musim.-sedang
-duka
sedang berpamitan dengan api, air dan lembah
menuju
kemarau
Ia
terisak dengan anginya yang parau.-berlalu
Dukaku sedang mengangin menuju
semesta yang kemarau
Semua bermuara di hatimu-pergi.
Brebes.
MEMELUK KAKTUS
Kepada
seseorang
Di padang tandus, kau memeluk
kaktus;
Tergerai
dari padang pasir segala doa dari cahaya matahari
Sambil
tengadah menungggu hujan, bahwa segalanya akan indah
Segalanya
akan berujung pada telapak tanganmu. Kemudian;
Kau remas dengan erat pohon kaktus
itu ketika hujan telah berbohong
Pada harapanmu.
Di padang tandus, hanya ada kaktus;
Duri
yang kau buat sendiri telah menancap pada matahari
Pada
angin yang menggulung pasir, pada pasir yang mengurai oase
Pada
segala pandangan yang hanya ada dirimu dalam tangis, untuk dijadikan hujan.
Hingga kau tabah memeluk kaktus
dengan hujan yang deras
Pada bola matamu.
Memeluk kaktus;
Memeluk
matahari
Memeluk
pasir
Memeluk
angin
Memeluk
hujan
Memeluk
duri
Memeluk segala ketidakpastian yang
hanya mimpi
Kau sendiri.
KEGEMBIRAAN
1/
Ketika langkahku mendadak beku di
pintu gapura
Senja mulai hilang dan bermuara di
atap rumahmu.
Ketika langkahku tepat di pagar
rumahmu
Senja mulai merekah dengan warna
kemerahaan disenyummu.
Ketika kau menghilang dibalik pintu
Senja sudah mengisi hati yang sepi.
2/
Waktu mendadak lamban berdetik
Dan suara-suara kelelawar seperti
nyinyir di atas rumah
Berputar-putar tak tentu arah
Ia paham waktu yang melamban
menyaksikan sepasang burung merpati
Hinggap tak tahu diri.
3/
Puisi ini telah menjadi jalan ketika
senja kemerah-merahan
Dengan bingkisan bermotif diksi,
rasa yang bercampur gemetar
Dan kutuliskan pada senyum.
kadang menulis puisi sekanak-kanak
ini.
SEBUAH ISYARAT
Di meja biru kita bertemu namun
saling jemu
Menunggu saling tegur dan selalu
melirik waktu
Barangkali sebuah isyarat segera
berlalu.
Di meja biru kita memesan teh tarik
Dan tanpa disadari kita saling lirik
Kiranya hanya aku yang berbisik.
Sebuah isyarat yang tak menarik.
Kemudian kita saling bicara entah
pada siapa
Mungkin sebuah isyarat
Bahwa kau sudah lupa bermain siasat.
Di meja biru kita hampir lupa waktu
Piring-piring saling tatap, gelas
sisa kopi saling mencibir
Dan kita hanya tertegun inilah
sebuah isyarat bahwa cinta butuh usaha.
Tentang Penulis
Ajis Sukriyadi lahir di
Brebes 4 Februari 1996, penulis merupakan alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Siliwangi, sekarang sedang menempuh pendidikan Magister
di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Berdomisili di Tasikmalaya tepatnya di
PMI Kota Tasikmalaya sebagai relawan.
Puisinya pernah dimuat dalam majalah santri (An-najm) dan antologi bersama “Puisi
Nusantara” (Cta Creation), antologi puisi “Surat Cinta” terbitan Silalatu,
cerpennya dimuat dalam antologi cerpen GBBSI UNSIL 2016. Penulis bisa dihubungi
melalui media sosial Facebook: ajissukriyadi
dan Instagram: ajissukriyadi2.