SWASTAMITA
Kau kembali lepas
lengkung di bibirmu
Sebelum akhirnya mesti
kesana, entah apa
Sebab pergimu sayang,
orang-orang dominan
berbicara perihal “apa kabar?”
Aku selalu ingin tidur
sembari memeluk tubuhku sendiri
Sementara rindu malah
membisu kepada sore.
JIKA
Tidak peduli meski mungkin pada akhirnya,
kita berada pada jalan yang tak sama
Hanya yang ku tau saat ini bahwa aku mencintaimu
Sungguh masih denganmu
Terima kasih telah menjadi satu dari banyak bukti kebaikan
Tuhan untukku.
Aku selalu suka hal-hal bersamamu
Andai bisa dan diperbolehkan,
Aku ingin lebih lama lagi denganmu
Bulan depan,
Tahun depan,
Lima sampai enam tahun ke depan,
Atau jika boleh lagi ku tawar,
Aku ingin selamanya.
Ah, tapi tidak!
Biar Tuhan saja yang mengaturnya,
tapi.. bolehkah aku meminta?
Sudahlah, lebih baik kembali lagi pada kalimat pertama.
ENTAH
Lalu, bagaimana melupa?
sedang cinta padamu, jatuh setiap hari.
Lalu, bagaimana hilang?
sedang harummu menetap di sini.
Lalu, bagaimana keras
kupaksa hapus? sedang kau memintaku menulis terus.
Lalu bagaimana dengan
waktu?
DILEMA PUAN
Semesta mulai gelap
Cahaya yang kukira lentera,
ternyata hanyalah sebuah lilin yang kian redup
Tak ada lagi surya, cahaya, apalagi rasa
Lengkung kini jadi lurus,
tapi senyum Tuan tetap saja manis
Kenangan dalam gambar selalu tahu
Tuan masih jadi rupa yang ku rindu
Namun, terkadang waktu mencela temu
Pada hari yang barangkali tak perlu di nanti
Semoga kita,
Tuhan pertemukan
Walau hanya sekadar kebetulan
Sungguh Tuan, rindu ini menyebalkan.
ASING
Padaku lampu jalanan
merajut senyum yang mengangguk sopan
Membisu, si pagar rumah
menatap ku berlari
Aspal abu yang menangkap
ku agar tak semakin jauh,
Rumah-rumah yang
tersenyum ramah
Burung-burung yang
ikut berdiri menatap arah yang sama
Dan bulan menangkap
senyum, menerima pesan dari angin malam ini
Bantu sampaikan rindu,
pada lelaki yang kusebut dalam doa tadi.
JENDELA
Di kamar,
dekat jendela,
dalam rumah
Orang-orang rungsing belagak melupa waktu
Waktu merindukan sakitmu, sayang
Sementara aku sibuk mencari wangimu di situ
Dari detik yang hilang,
dari sebuah menit nak menjadi jam
Bicara soal senyap dalam detik manusia lain.
HARI BIRU
Hari
yang kuberikan padamu,
kunamakan
sabtu biru
Setelah
matahari terbenam, sepi menari
Tambah
malam masih menanti
Sedang
gedung gelap itu tidak tahu
Apa
nasib temu setelah ini
Takdir
atau apalah yang akan membawamu datang kemari
Yang
tinggal cuma kenang, kenangan, dan mengenang.
KEKASIH
Adakah
yang lebih memesona,
dari
senyum bibirmu yang menyilaukan mata itu
Tentu
yang memberinya jauh lebih memesona
Maka
jadilah kekasih dari yang Maha Welasasih
SELFI
Jari
lelaki tua ditakdirkan Tuhan untuk mengintip senja,
Tidak
ada jari kelingking untuk mengusik orang lain
Tidak
ada jari manis,
yang
pandai berpura-pura mahir kala berucap,
namun
bukan penyejuk kala berbuat
Tidak
ada ibu jari yang munafik,
menunjukan
tanda setuju dan rasa suka
kepada
sembarang manusia
Hanya
ada jari tengah dan jari telunjuk,
yang
tegak kokoh berdiri sebagai penengah
Juga
kiranya dapat menjadi penunjuk arah
serta
penanda kehadiran bagi yang membutuhkan
Lalu
tersenyum si lelaki tua, sambil mendesis “cisss”
Ia
tersenyum ramah,
kedua
jari-pun membentuk bayangan yang simetris
Tuhannya
abadi dalam hati yang dinamis.
PADA AKHIRNYA
Pada
akhirnya semua akan menemukan riangnya masing-masing.
Kau
dengan tawa yang baru, sedang tawa ku masih sama.
Setelah
sekian purnama, aku mencoba meraih
Tersadar
kini, yang harus diperhatikan ternyata adalah diriku sendiri.
Aku
pulang.
Wahai
tubuhku.
Mari
turut berbahagia atas mereka yang menemukan pelangi baru
Aku
dan kau akan selamanya hidup untuk senang dan sedih
Mereka
hanya bergantian,
selamanya
akan seperti itu
Harap
mu biarkan mengalir,
nanti
akan terbawa arus,
lalu
hanyut dan hilang.
Tentang Penulis
Fatimah
Az Zahrah, lahir di Bekasi pada 15 November 2001. Seorang mahasiswa semester akhir di Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa yang menyibukan diri dengan
berbagai kegiatan organisasi. Penulis berpindah dari Jakarta sebagai kota besar
yang ramai sampai ke pelosok desa di Purworejo, Jawa Tengah yang hening hingga
saat ini kembali mencicipi kehidupan kota yang rungsing di Serang, Banten.
Motivasi dalam menulis, berkaitan dengan mimpi besar agar pikirannya dapat
menghasilkan karya yang asik dinikmati.
Keinginannya untuk menulis puisi
dimulai sejak menjadi mahasiswa baru ketika mengenal Arip Senjaya dan Suta
Sartika.
Karya puisi pertamanya berjudul “Surat untuk Bapak” menjadi top 3 dalam
perayaan Hari Ulang Tahun Jurusan PBI tahun 2020. Tulisannya dapat dilihat pada
laman janmasri.blogspot.com/ yang tertera dalam biodata instagramnya
@fatimahhzahr. Penulis bisa dihubungi melalui email: fatimahzahrr@gmail.com.