JIKA TIBA WAKTU
Kelak
jika tiba waktu
kita
berpisah, saling meninggalkan
Kisah-kisah
akan jadi semesta
keluh-kesah
memberi frekuensi
pada
yang harap, pada yang lesap
tapi
salah satu antara kita
akan
jelma tajam bilah
untuk
memotong sejarah
perjalanan
anak manusia
bisa
kau bisa aku
lenyap,
lahirnya tak diharap
Kelak
jika tiba waktu
kita
berkasih, dalam kelakar liar
Ingatlah!
Ketika
senja, burung-burung jadi pertanda
bagi
putaran waktu, menguliti kulit hari
maka
malam tetap malam
meski
ditolak tak mungkin lekang
karena
fajar tetap jua fajar
yang
membangunkan keruyuk ayam jantan
Kelak
jika tiba waktu
kita
bertemu
tapi
bukan di sini
Yogya,
Jejak Imaji
2015
ROMANSA I
Kapan pengasingan
berakhir
rindu bau sangrai timah
dalam drum atas
tungku tanah
Teringat saat berumur sepuluh
jika bolos madrasah
kuhabiskan waktu di hutan belakang rumah
sangu ketapel, kadang bertemu murai punai
buat santap makan Bujang Kecik[1]
lumayan itu
Jika Ayah di kulong ngelimbang timah[2]
kerap kularikan senapan angin
kukumpil keretangin[3]
Ibu
kerap berpapas kijang-tupai, henti laju
misal dapat, tak kan ada serapah meradang
misal tak, kenakan sarung peci, sila di atas tikar mengkuang[4]
keras–keras
mengaji sampai terdengar rumah tetangga
sampai kalahkan keriut keretangin Ayah
yang pulang membawa hom pim pah
Kapan pengasingan
berakhir
rindu bau sahang
yang diperam ai’
arongan[5]
Teringat usia tujuh-belas
lepas sekolah menengah atas
citaku
beribu, kepingin lekas
tinggalkan hutan, seberangi
laut tak berbatas
jumpalitan, tinggalkan rumah tanpa halaman
memulai rintih, tanggalkan riuh kampung halaman
memiuh nasib, menunggul pada khayalan
entah di mana tak
pasti nanti
jadi orang
hendaknya mimpi
tersebab entah yang imaji itu
aku membabu di gudang Fat Khu
cina kuncit kampong Belantu
tauke sahang dari Kumpang
sampai tumpas darah dikandung badan
sampai tumpat, didera nasib baduk
2011-2022
ELEGI MELODIA
: Umbu Landu Paranggi
Umbu, cinta memang membuat kita mesti
bertahan
namun duka gelisah, juga dendam, tak
terelakkan
menuntut
diterima dengan tangan terbuka
Aku
mencoba setia, tapi selalu gagal
menjinakkan
amarah dalam diri
Telah
kutolak rayuan bulan
menempa
diri dengan lengan matahari
Tapi
masih saja
angin
yang nakal, nasib yang sakal
membuatku
menjadi kanak-kanak
Kakiku
bersikeras menjadi kompas
tetap
saja, tujuan termangu
di
jalan pikiranku yang buntu
Aku
terus bergelut, melawan diri sendiri
menggempur
kemunafikan yang tak bisa dinafikan
Namun kesetiaan mengkhianatiku
berkali-kali
hingga
rencana-rencana berjalan sendiri-sendiri;
kertas-kertas
di bawah bantal
tanggal-tanggal
penuh coretan
seakan
menjadi kesia-siaan
Seorang-dua
mengajarkan
untuk
selalu memberi, menolak menadah tangan
Tapi
mereka diam-diam nyelinap dari pintu belakang
membawa
dusta-dusta miang
hingga
mulut menjelma lubang
keluar
masuk janji-janji kepayang
Umbu, cinta memang
membuat kita betah sesekali bertahan
dalam langkah kaki
aku masih teguh mencari
Mastera, 2017
DIORAMA
PERCINTAAN
Untuk
mencintaimu
aku
kudu jadi penyair
agar
indra berlayar menuju Indraloka
Tubuhmu
rangkaian bait
tempat
kuletakkan segala cinta
citra,
titik dan tanda koma
Namun
meladeni hasrat keduniawian
membanting
tulang tak mungkin kunafikan
Kau
jangan silap mata
berlebih
memuja kata
keindahan
yang memabukkan
derita
mengharu biru
cuma
berlaku dalam sajak-sajakku
Urusan
rumah tangga sehari-hari
biarlah
jadi senggama lain
Rumah
adalah surga anak keturunan
tapi
menyusuri jalan-jalan
mengembarai
jagat raya
juga
surga lain bagiku
;
rumah itu Firdaus, jagat raya Darussalam
Kau
pun tahu sejak awal
sebelum
suci cinta terkabul
disahkan
ijab kabul
Jangan
menuntut aku memilih
engkau
dan sukma hidupku
Derita
akan datang bertubi
Jika
kumasuki jagat imaji
kuatkan
iman cintamu;
tabah
merawat anak di rumah
sabar
meruwat hasrat bercinta
ikhlas
melumat pikiran-pikiran khawatir
atas
kenakalan masa laluku
Saat
aku di luar, saat tak bisa bertukar sandar
yang
kuletakkan di hati cuma kau
yang
kurawat di kelamin adalah sumpah
Meski
mata-pikiranku menjadi nakal
sikapi
dengan tabah
Istriku,
menikahimu jadi ritual agung
penyempurnaan
kepenyairanku
Bogor, 2017
HIKAYAT
TUKANG PERAHU
: nelayan Pantai Cepoon
Setelah fajar
menyingsing
kau tinggalkan
rumah menuju tanjung
tempat ratapan
dan harapan bertarung.
Ketika busur
waktu menunjam
ke liang hatimu
yang karang
terus kau terima
nasib
menggerus tak
habis gelombang.
Kau paku mimpi
di dinding perahu
yang kayunya
ditebang dari dalam rimba nasibmu.
Pada tiap sekat,
antara papan-papan doa
kau tambal dengan
nama-nama
dengan
rencana-rencana
yang kerap tak
terkabul karena cuaca
karena
prasangka, dan gerus asin samudra.
Kau ruat kulit
yang lekat di batang
agar urat kayu
elok dipandang.
Kau pilih paling
kokoh untuk dipilah
agar tutuh tak
sia ketika dibelah
agar tatah pahat
pada pasak tertata
agar tulang dan
tiang perahu tak patah
meski badai di
samudra tiba tiba-tiba.
Kau bekali kerja
dengan jampi dan doa
agar berlaksa
janji pada istri, anak keturunan
diri sendiri,
tak karam dihempas angin buritan.
Meski berlayar
kerap tak janjikan tangkap
terus kaubuat
perahu dengan sigap
mantap pada
kerja, tak sedepa beranjak;
meninggalkan
rumah dan kenyamanan
menanggalkan
remah dalam rumah
menunggalkan
ramu takzim yang tuah.
Setelah petang
menyambang
kau kemasi diri,
berhenti bertukang
meninggalkan
tanjung menuju kampung
tempat ratapan
dan harapan berkunjung
berulang-ulang.
Belitong, 2018
HIKAYAT PERCINTAAN
JALAN RAYA
Kita lakoni
percintaan liar
sepasang
kekasih, kuda dan dokar
yang dilecut
tumpangi tuhan berwajah kusir
Cintaku,
aurora cintamu menembus
palung
sukmaku, meninggalkan bekas
Seperti
bulan matahari, mataku melepas
cahaya
bagi kegelapan seribu jalan sunyi
percintaan
yang melebihi kisah dewa-dewi
Kupacu
kaki berdarah
mengajakmu
mencari pintu swarga
Kita
susun rencana, berdiskusi dan
berlari
mengejar, sebab imajinasi
tak
cukup ampuh untuk membangun istana
bagi
anak cucu dan hari tua yang rahasia
Ai mak jang
angin
pagi yang menjalari tubuh sekujur
tak
jadi soal saat kita putuskan jalan berbanjar
Terik
matahari yang membakar
ajarkan
kesetiaan senantiasa berkobar
Pabila
purnama menggelantung
kita
bergegas masuk ruang
menciptakan
desah raung
gelinjang,
bercinta melepas gandrung
Percintaan kita
lahirkan orok
kisah kita
serupa roda pada becak
Sebagai
Ayah Ibu
patutnya
beri laku untuk digugu-tiru
Kita
di depan, menggiring buah hati
agar
sampai segala cita yang diangankan
Sedang
tuhan, tetap jadi penentu
berjalan
atau tak, hingga ke mana arah tuju
Kadang
kita berjalan kaki
menyusuri
trotoar hitam putih
bunga,
dan aspal yang pekat
tak
sanggup menahan kendara tumpat
saling
salip berebut tempat
Persis
kehendak kita
dinyatakan
yang tak sempat
tersisa
dan terlipat, dalam almari reot berwarna pekat
sampai
tiba matahari, kita tercekat dalam ilusi
2016-2022
KULI PELABUHAN
Sebelum
kapal-kapal berlayar, bersandar
angin
dan ingin telah memaksa kuli-kuli melarungkan
doa-doa
mereka menuju angan-angan. Sisa-sisa janji
yang
diikrarkan pada anak istri, sebelum angkat kaki
menuju
samudera pergulatan, sebagai bapak, sebagai suami
telah
menambah daftar panjang harapan, tumpang tindih
bersama
hutang-piutang, pada tauke, juga ampas
remas-remas
manja di sebalik kutang-kutang kerepe[6]
yang
tak pernah genap dibayarkan.
Bau
arak mengarak nasib mereka ke liang nestapa
sampai
tumpas upah, sampai tandas tenaga.
Kenyataan
memberaki mimpi, dan peluh keringat gagal menceboki
segala
yang merecoki. Tak ada yang dibawa pulang
selain
dusta, kemelut membelit, tanggungan melilit.
Dilemparkannya
dadu ke meja penuh debu, berharap receh membukit
dalam
perjudian nasib kelabu. Tapi angka-angka tak bisa merubah
harapan
palsu kuli-kuli. Lingkar merah pada alamak mencekal
menggiring
mereka jadi banal, lantaran piutang kian buntal.
Ai Mak Jang
sumpah
kadung ditutur, kenyataan tak bisa diatur
dan
serapah pada diri sendiri jadi ritus lantur.
Sebelum
kapal-kapal berlayar, bersandar
segala
mendesak, tak bisa mengelak.
Cemara
dan camar jadi tiada
tak
berguna di kuping dan mata;
suara
menyamar, pandangan melamur,
melengkapi
orkestrasi gelombang nasib
melingkupi
atraksi gelembung nisab.
Ai Mak Jang
ketika
jarum kerja menusuk lamunan mereka
rakit-rakit
dilarung ke hulu, tapi tak sampai ke tepian.
rasa
sakit menjadi karib, bersama caci-maki taipan.
Belitong
2018-2022
CERITA PENDEK
SEPANJANG MENIKAH
Bagaimana
mungkin aku lepaskan simpul
yang
kita sepakati dalam ijab kabul
Kita
saling berjanji
saling
membersamai
engkau
sabar untuk disemai
aku
tebar dengan nasib kusut masai
di
hadapan ribuan pasang mata berbinar-berpendar
Kata-kata
jadi doa
ketika
menyintuh gendang telinga
Mulut-mulut
ikhlas merapal amin
sambil
hati mereka disesaki harapan dan rencana
Dengan
Imaji, kudengar malaikat mengamini
dan
Allah menjabah doa, begitulah aku mengimani
Tapi
bukan karena kamu
aku
enggan berpaling
atau
ketakutan atas kehilangan
membuatmu
menjaga kehormatan
Semua
tahu
Seusai
ijab-qabul kuurai
Kepada
Allah semata
kita
pautkan dua jiwa papa
yang
dalam bahasa sederhana
manusia
menyebutnya dengan cinta
Belitong,
2022
MELANKOLIA HUJAN
PAGI
Aroma
tubuh tanah
yang
semalam gelinjang, gelisah
Seakan
kepingin membisikkan kata
Seperti
kali pertama Adam-Hawa mendengar kabar
mengapa
mereka terasing ke dimensi luar
Jejak-jejak
mimpi dan desah
bercaknya
masih tampak basah
di
atas kasur hidup yang resah
Dimana
sprei bermotif harapan
dengan
renda di tepi menyerupai baju tidurmu
yang
lusuh, tergeletak di atas karpet beludru
Tak
ada suara burung-burung pagi
ketika
matahari mulai menyilau
kicaunya
membikin iri hatimu yang kacau
Selain
kopi, segelas teh hangat
seperti
pilihan yang tidak buruk dihidangkan
menunggu
usai pekat awan bunting karena hujan
Aku
melihatmu
masih
begitu tak berdaya
Tapi
aku ragu alasannya
karena
percintaan kita sepanjang subuh
atau
karena sisi kanak
yang
kerap datang merasuk
menghadapi
aku yang suntuk
Hujan
pagi
dengan
gagah menggagahi pikiran cemburu
pada
selimut tebal bermotif keringat tubuh
dan
bantal guling
sejak
lama dirawat dari kata cuci
Agar
ketika kangen, masing-masing kita
cukup
merebahkan badan di atasnya
Sambil
meyakinkan diri
bahwa
pernikahan ini
sudah
saling berpilin
sampai
pikiran dan batin terdalam
Belitong,
2022
ELEGI
Hiruk
pikuk minyak sayur
tak
membuat kami balur
Karena
nenek Moyang
mengajari
mengolah mayang
Pada
kelapa-kelapa di kebun
meski
tanah tinggal sejumput
lantaran
tambang timah yang carut
Hingar
bingar mesin tambang
mengaburkan
panggilan sembahyang
tak
membuat kami gusar
kemudian
mengumandangkan protes
Sebab
membela hak logis di negeri culas
menjadi
pangkal digilas
Dianggap
kompor, diberangus tanpa kompromi
jika
ganggu korporasi, atas nama kompor tanak nasi
Celoteh
dan celatu jadi rutin
mengularnya
kendaraan dianggap pantas
bukan
masalah, cuma risalah
Kami
tenang saja, semua sementara, hanya
layaknya
sudah-sudah, datang pergi silih ganti
hangat-hangat
tahi ayam
Kemelut
minyak bukan ancaman
Sekedar
lelucon
cara
Tuhan membubuhi pahala
sambil
menghitung usia senja
Semua
bungkam, bukan diniatkan emas
mungkin
ada yang tahi, maksudnya
Kami bisa menjaga kestabilan pikiran
kami
di antara ketidakstabilan bangsa ini
datu-datu
pernah berpesan
lebih baik pecah di perut
ketimbang pecah di mulut
Apalagi
pecah kepala kalian
tersebab
pecah emosi di dada
pecah
muka dibogem mentah
Nah,
Begitu
kira-kira
2022
[1] Beranjak remaja.
[2] Ke tempat menambang mencari timah.
[3] Kukayuh sepeda angin.
[4] Pandanus artocarpus Grif
[5] Alur air sungai kecil.
[6] Pelacur
dalam dialek Belitong.
Tentang Penulis
Iqbal H. Saputra
adalah nama pena Iqbal Saputra. Lahir di Belitong, 08 November 1989.
Menyelesaikan Sarjana-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra UAD (2011), Pasca-Sarjana
UGM, Ilmu Sastra (2016). Tahun 2017 menjadi peserta MASTERA (Majelis Sastra
Asia Tenggara) bidang Puisi. 2018 mendirikan Yayasan Pusat Studi Kebudayaan
Belitong (PSKB) yang fokus pada seni budaya Belitong. Saat ini menjabat sebagai
ketua Dewan Kesenian Belitung (DKB) periode 2019-2023. Menulis puisi, cerpen,
skenario film pendek, naskah drama, juga melukis, bermusik, dan menulis kajian
ilmiah mengenai bahasa, sastra, seni dan budaya. Sedang mempersiapkan Percintaan
Hibrida, antologi tunggal pertamanya. Bisa dihubungi di: 081931199482 –
iqbalhsaputra@gmail.com
IG: @Iqbal.h.saputra – Fb: Iqbal H.
Saputra.