KATRESNAN TOTOANE NYOWO
“Katresnan totoane nyowo…”
Suluk yang
sering dilantunkan almarhum Ki Slamet Gundono itu mengalun dengan nada tinggi
namun lembut, dengan cepat menyusup pada setiap yang telinga. Bunyi alat musik
gesek berpadu dengan ketukan gamelan yang menenggelamkan penonton pada
pertunjukan yang begitu khidmat. Seorang
perempuan muncul dari tirai panggung dengan gerakan yang begitu tenang.
“…Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…”
Dengan mantap
perempuan itu mulai membaca puisi. Iringan suluk itu segera larut, menyatu
dengan suara perempuan yang membacakan sajak Sapardi. Setiap orang seperti
berhenti bernafas, tiada suara lain selain suara-suara yang berasal dari atas
panggung. Setiap mata tertuju pada perempuan bertubuh langsing yang khusyuk
membaca sajak sapardi. Di antara ratusan pasang mata itu, ada sepasang mata
yang hampir tidak berkedip. Sepasang mata yang terpasang di kepala pemuda
dengan tubuh kurus dan semrawut.
Mamad, pemuda
itu adalah Mamad. Seorang santri senior di pesantren Salam asuhan Kiai Sosro.
Malam itu akhirussannah yang
diselingi pentas teatrikal yang mengangkat cerita wayang Palgunadi. Cerita
tentang seorang murid sejati serta kesetiaan perempuan kepada laki-laki.
***
Matahari sudah
mulai sedikit menggantung. Cuaca sedikit panas. Beruntung angin peladangan
bertiup mengipas-ngipasi tubuh para manusia tani yang kuyup oleh peluh. Di
tengah ladang yang mulai masuk musim tanam itu, segerombolan santri pondok
Salam sedang mencangkul. Memang ciri khas dari pondok Salam adalah para Santri
tidak hanya dikenalkan dengan ilmu agama, namun juga bercocok tanam, perkayuan
dan seni.
Para santri yang
biasanya meladang harian hanya lima orang. Hal itu dikarenakan lima orang itulah
santri yang telah dewasa dan senior. Di tengah kesibukan berladang itu seorang
santri menyeka keringat di jidat dengan lengannya. Seperti ada sesuatu yang
berat di pikirannya.
“Katresnan totoane nyowo….”
Suluk itu
terngiang di telinganya. Ia merasa ada yang menyala dan tidak bisa padam begitu
saja. Ia mengalihkan matanya,
menggelengkan kepala dan menatap tanah dengan kosong. Telinganya mendengar
detak jantungnya, degub yang lebih keras dari deru traktor. Bayang-bayang
perempuan itu selalu menghantui Mamad.
“Kang!
sarapannya sudah datang!” Teriak Fadlan dari sebuah pematang. Dia meloncat
menuju arah gubug tempatnya biasa istirahat.
Teriakan itu
menyadarkan lamunannya, ia menghirup napas dalam-dalam. Teriakan dan tarikan
napas itu menyelamatkannya dari rasa sesak yang tak tertahankan. Ini entah kali
ke berapa rasa sesak itu menghantam dirinya. Dan sebanyak itulah ia selamat
dari terbongkarnya rahasia yang selama ini ia jaga.
Dari arah yang
lain terlihat seorang santriwati berjalan dengan hati-hati menenteng rantang di
tangan kanan dan termos ditangan kiri. Lapar yang ditahan membuat mereka
menghambur ke arah gubug. Dengan cepat mereka berlima; Mamad, Iwan, Fadlan,
Faizal, dan Hazam mencuci tangan di wangan
dan segera duduk setengah melingkar. Mengetahui langkah kaki yang semakin
dekat, mereka menunduk. Tiada satu pun dari mereka yang berani menatap
perempuan itu, terlebih pada wajah dan matanya. Bagi santri pondok seperti
mereka, menatap mata perempuan sama halnya dengan melihat cahaya yang begitu
panas dan menyengat, yang nantinya akan membuat mereka buta. Di antara mereka
Mamad lah yang paling diam. Diam-diam ia meredam gejolak di dadanya, meredam
bayangan cahaya yang seharusnya tak boleh ia lihat.
“Sarapan dulu,
Kang. Monggoh… Assalamu’alaikum…” ucap perempuan itu, ia segera melangkah
setelah mereka semua menjawab salam. Akan tetapi baru lima langkah ia kemudian
berputar balik.
“Oh ya, ada
pesan untuk Kang Mamad, nanti setelah sarapan di suruh menghadap ke ndalem” Mamad yang tadinya sudah agak
tenang kembali bergejolak. Hampir saja makanan yang disumpalkannya kemulut
muncrat mengenai kawannya. Ia tersedak sejadi-jadinya. Matanya melotot,
tangannya segera menyahut gelas di depannya dan meminumnya.
“I i ya” jawabnya tergagap.
Hal itu membuat
wajahnya tampak lucu dan memancing gelak tawa kawan-kawannya. Dengan cepat
perempuan itu berbalik dengan muka memerah dan memepercepat langkahnya.
Siti, perempuan itu
adalah Siti. Perempuan pembaca puisi Sapardi yang telah menyihir mata Mamad
ketika pentas tiga tahun silam. Kuncup bunga yang mekar di hati Mamad, yang
selama tiga tahun ia jaga dan ia rawat tanpa sepengetahuan siapa pun.
“Ciee….” Fadlan tiba-tiba memulai meledek. Disusul dengan tawa kawan-kawan
yang lain.
“Kalau
suka kenapa tidak sowan ke Abah dan
minta dilamarkan, Kang?” Iwan menyahut, dan kembali mereka tertawa.
“Ah kalian
ngawur. Siapa yang suka? Lagian kita di sini nyantri, bukan cari istri” jawabnya
sedikit kesal.
“Tapi apa
salahnya, Kang?” Hazam menimpali.
“Saru, Ah. Sudah
ayo cepat makan”
Seusai sarapan Mamad
segera pamit kembali ke pondok untuk membersihkan diri dan pergi ke ndalem.
Ternyata Abah sudah menunggu di ruang tamu. Pakainnya begitu rapi seperti hendak
pergi.
“Assalamualaikum” Mamad menghadap dengan
gaya khas seorang santri.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh…
Mad, aku mau pergi. Mungkin sampai malam. Nanti kalau Qasim datang, suruh dia
menungguku.” Beliau sepertinya sangat terburu.
“Njih, Bah” jawab Mamad tanpa menanyakan
apapun.
Mamad adalah
santri tertua dan paling senior, sekaligus santri yang paling dekat dengan Kiai
Sosro. Ayahnya yang teman dekat Kiai Sosro menitipkan Mamad pada Kiai Sosro
karena keadaan ekonomi dan kehidupan kota yang keras. Ayahnya pun berpesan agar
Mamad jangan dipulangkan sebelum ia benar-benar matang ilmu agamanya dan siap
untuk hidup berkeluarga. Mamad menjadi santri yang paling dekat sekaligus
santri yang paling berhutang budi kepada Kiai Sosro. itulah mengapa Mamad
sangat menghormati Kiai Sosro.
Kiai Sosro meski
telah sepuh hanya mempunyai satu anak perempuan yang umurnya baru sembilan
belas tahun dan sedang nyantri di Jawa Timur. Karena beliau tidak punya anak
laki-laki, maka ia sering meminta bantuan Gus Qasim, kemenakan dari istrinya.
Gus Qasim putra ragil Kiai Tohir, kakak Kiai Sosro yang tinggal di kabupaten
sebelah.
Mamad dan Gus
Qasim berhubungan baik. Barangkali karena Mamad merupakan santri kepercayaan
Kiai Sosro. Karena itulah setiap seminggu sekali, seusai jadwal Gus Qasim
mengajar di pesantren kami, dia selalu mengajak Mamad ngobrol ngalor ngidul
mengenai pesantren maupun kehidupan pribadi.
***
“Kang Mamad,
Sehat? Kok baru kelihatan?”
“Alhamdulillah, Gus… Panjenengan sepertinya sedang bingung,
Gus?”
“Haha sepertinya
saya tidak bisa menyembunyikan apapun dari Kang Mamad, betul Kang. Saya butuh
bantuan Kakang” seperti biasa mereka mulai mengobrol dan berkelakar.
“Wah, senang
sekali kalau saya bisa membantu. Apapun itu, Gus, kalau panjenengan yang minta tolong, saya sendika dawuh. Ehehehe”
“Ah, memangnya
kalau yang lain minta tolong tidak sendika
dawuh?”
“Ya kalau bisa
saya sendika dawuh. ehehe”
“Mungkin
sebentar lagi saya akan melamar seorang perempuan, tapi sebelum itu saya ingin
memberikan sesuatu kepada perempuan itu”
“Oh ternyata…”
ucap Mamad sambil menggeleng kepala
bermaksud meledek.
Saking
penasarannya Mamad mendekat dan memijit bahu Gus Qasim.
“Siapa perempuan
yang beja itu, Gus? Ning dari pondok mana? Apa yang harus saya lakukan? Apapun
itu saya siap, Gus” Tanya Mamad begitu
antusias.
“Orang dekat,
Kang. Kakang tentu sudah kenal, dan bukan seorang Ning”
“Loh… Siapa,
Gus? Kok saya tidak pernah dengar?”
“Siti, Kang…”
“Siti? Siti
siapa?” Mamad sedikit mengernyitkan dahi.
“Siti yang di
ndalem itu, Kang” jawab Gus Qasim sambil tersenyum santai.
Mamad semakin
mengernyitkan dahi. Tenggorokannya tercekat dan beberapa saat ia terdiam, tanpa
sadar pijitannya terlepas.
“Kang…” Tanya
Gus Qasim sambil berusaha menoleh pelan karena tak segera mendapat jawaban.
Sadar akan itu,
Mamad cepat-cepat berpindah ke belakang memijit punggung agar Gus Qasim tidak
bisa melihat raut wajahnya. Dengan mengatur nafas dan menjaga agar suaranya tak
parau, ia menjawab dengan pelan.
“Oalah…
Siti…. Yang di ndalem itu… Alhamdulillah” Mamad mencoba menjawab
sesantai mungkin menyembunyikan gejolak di dadanya.
“Menurut Kakang
Siti itu bagaimana?” lanjut Gus Qasim.
Mamad mulai
bingung, nafasnya mulai tak teratur. Dengan dada yang berdegub kencang serta
perasaan yang mulai kacau. ia berusaha memijit dengan tempo dan tekanan yang
seperti biasa. dengan hati-hati ia menjawab.
“Dia perempuan
yang baik, Gus, tutur katanya lembut miyayeni, cerdas, bacaan Qur’annya bagus
dan masakannya selalu enak”
“Sepertinya
Kakang mengenalnya dengan detail sekali? Apa Kakang akrab dengannya?”
Mamad kembali
menarik nafas panjang.
“Tidak, Gus.
Hanya kenal, karena dia di ndalem dan saya sering ditimbali Abah jadi kami sering ketemu” ia menahan nafas, berharap
aku tidak salah ucap.
Sejenak suasana
menjadi hening dan agak tegang.
“Kang, Mamad tahu apa kesukaannya?”
“Mmm… Dia suka bunga mawar, Gus. Hampir
setiap pakaiannya selalu bermotif bunga mawar, hiasan kerudungnya pun berbentuk
bunga mawar.” Mamad sedikit tergagap. Tangannya mulai sedikit gemetar.
“Wah… Kakang sepertinya tahu banyak
sekali?”
“Ti i dak, Gus. Saya hanya tahu sebatas
itu” jawabnya semakin tergugup.
“Kakang memang
lurah pondok yang baik. Bisa mengerti kebiasaan santri-santri sampai detail
seperti itu”
“Ah, tidak, Gus.
Biasa saja”
***
Di kamarnya,
Mamad menatap langit-langit. Di telinganya kembali terngiang “Katresnan totoane nyowo…”. Terlihat
bayangan Siti sedang membaca sajak sapardi yang disorot lampu tembak di
panggung yang redup. Ia baru sadar bahwa selama ini ia begitu mengamati Siti
dan celakanya segala apa yang ia ketahui tentang Siti telah ia sampaikan kepada
laki-laki lain. Tak ada dendam ataupun benci pada Gus Qasim, tapi ia membenci
dirinya sendiri yang selalu bersembunyi dan berusaha mengingkari apa-apa yang
telah tumbuh di hati.
“Mad… Mad…
Mad… Koe wis turu?”
Tiba-tiba
terdengar suara Abah memanggil dari luar. Sebenarnya Mamad tidak perlu sekaget
ini, karena memang biasanya kalau ada keperluan tengah malam memang Abah sering
memanggilnya. Tapi kali ini lain, pikirannya yang kacau dan hatinya yang
tergores, membuatnya terkesiap. Ia segera berdiri, merapikan sarung dan membuka
pintu.
“Dalem, Bah. Pangapunten, dereng… wonten wigatos menopo, Bah?”
“Keningmu kok
berkeringat? Sedang tak sehat?”
“Mboten, Bah, hanya agak gerah”
“Ayok kita
bicara sebentar”
“Njih, Bah”
Abah
mengajaknya
ke ndalem, ke sebuah bilik khusus di mana Abah mengajarinya kitab-kitab, pengetahuan-pengetahuan, tatacara berbaur
dengan masyarakat, dan ilmu-ilmu bijak.
“Mad,
ibuku gerah, beliau kena stroke
ringan, memang tidak parah, tapi aku sebagai anak tidak tega kalau
membiarkannya sendiri hanya ditemani bapak yang juga sudah sepuh dan adikku
yang ragil juga sibuk kerja untuk menghidupi keluarganya. Sebulan
lagi adikku yang besar sudah harus dinas di luar Jawa selama setahun. Jadi
sebelum itu aku harus sudah ke Jawa Timur” Ujar beliau pelan.
“Aku butuh
bantuanmu, Mad. Aku harus pulang ke Jawa Timur. Qasim untuk sementara akan
kupasrahi pesantren ini. Kau satu-satunya santri yang tahu betul seluk beluk
pesantren dan masyarakat sekitar sini. Bantulah Qasim untuk mengasuh pesantren
ini sementara waktu”
“Ngastoaken dawuh, Abah. Insyaallah.”
“Tapi, Mad,
almarhum kakak iparku, Kiai Tohir pernah berpesan bahwa putra keduanya ini
musti nikah dulu sebelum memegang pesantren” beliau berhenti sejenak, tapi Mamad
merasakan dadanya tiba-tiba kembali sesak.
“Rencananya akan
kunikahkan….” Mamad reflek menutup mata dan menahan nafas, posisinya yang
membungkuk dan kebetulan beliau yang melihat kebawah sedikit menguntungkannya.
“Kupikir dia
anak yang baik. Dia pula telah lama di sini. Pekan depan ia akan kulamar dan
jika disetujui pernikahan akan dilaksanakan dua pekan kedepannya. Bagaimana
menurutmu, Mad?”
Hatinya semakin
perih dan pikirannya semakin kacau. Tapi untunglah ia sadar diri dan dapat
memosisikan diri.
“Saenipun kados
pundi, Bah. Kulo nderek Abah mawon” ujar Mamad pelan sambil menyembunyikan
perasaannya yang sangat tak karuan.
“Alhamdulillah… Baiklah, pada saat lamaran
dan nikahan nanti aku senang sekali jika kau yang Tilawatil Qur’an”
Kali ini tubuh Mamad
tersentak. Ia mematung sejenak, namun cepat-cepat ia sembunyikan. Ia
mengatupkan bibirnya, berkedip mengalihkan pandangan ke kiri-kanan dengan tetap
membungkuk. Kini ia benar-benar bingung. bagaimana mungkin ia bisa melakukannya,
tapi mana mungkin ia menolaknya. Dengan memberanikan diri ia mencoba berkilah.
“Menawi lintunipun ingkang langkung sae lan
langkung pantes kepripun, Bah?” ia coba menolak dengan halus, meski kecil
kemungkinan.
“Memangnya kau
kurang bagus dan kurang pantas?” ujar beliau pelan sambil menatap dalam.
“N..nn..njih, Bah” jawabnya sedikit
terbata.
“Kau santriku
yang paling pantas, kau sudah seperti anakku sendiri” ujar beliau tegas.
“Njih, Bah”
***
Sambil
mengayunkan cangkul Mamad masih memikirkan dawuh
Kiai Sosro semalam. Bagaimana mungkin ia bisa tilawah di pernikahan orang yang
dicintainya. Mana mungkin Mamad bisa baik-baik saja ketika harus mengabdi
kepadanya dan suaminya. Sudah tiga tahun sejak pertama kali Mamad melihatnya di
panggung ketika akhirussanah. Tiga tahun pula Mamad telah merahasiakan perasaan
padanya. Tiga tahun ia selalu menunduk ketika setiap kali bertemu, atau ketika
dia mengantarkan rantang, dan, tiga tahun pula ia tak mengatakan apapun.
“Hhh….” Nafas Mamad tiba-tiba sesak.
Pandangannya seketika buram, badannya yang membungkuk membuat kepalaku semakin
berat. Mamad oleng dan hilang keseimbangan untunglah ia menggenggam gagang
cangkul dan menjadikan cangkul itu pegangan
agar tak jatuh.
“Kang, kenapa,
Kang?”
“Iya kenapa,
Kang?”
Iwan, Fadlan,
Hazam, dan Faizal segera mendekat. Fadlan dan Iwan segera mengalungkan kedua
tangan kepundak mereka dan memapah Mamad ke gubug.
“Istirahat dulu,
Kang” ucap Iwan sambil meletakkan Mamad di gubug dan menyenderkan punggungnya
ke tiang.
“Panjenengan
gerah, Kang?” Tanya Faizal.
“Enggak, cuma
siang ini agak panas, cuma kecapean karena kepanasan kok. Sudah kalian lanjut
saja” Jawab Mamad menenangkan sambil menyenderkan punggung ke tiang gubug.
“Sudahlah, Kang.
Sebaiknya kalau sudah agak baikkan. Kakang ke pondok dulu, istirahat. Tidak
biasanya Kakang begini” Fadlan segera menyergah. Dari beberapa kawan, memang
Fadlan lah yang paling paham dengan Mamad. Dia menuangkan segelas air dari
ceret dan memberikannya pada Mamad.
Belum selesai ia
minum, mereka dikagetkan dengan suara perempuan.
“Loh kenapa,
Kang? Kang Mamad sakit?” Siti sudah berada di samping gubug, sambil menenteng
rantang untuk sarapan. Mukanya agak sedikit panik dan setengah bingung. Mamad segera
menundukan pandangan dan menjawabnya.
“Enggak, kok.
Cuma kepanasan” jawab Mamad sambil menyeka sisa air di bibir.
“Bener, Kang?” Siti
tak percaya.
Mamad cuma
manggut-manggut. Fadlan segera menerima rantang itu dan menyodorkannya pada
Mamad.
“Sarapan, Kang.
Setelah itu pulang”.
***
Selama di
pesantren itu Mamad hampir tidak pernah sakit. Jika sakit pun Mamad tak pernah
mau diantar ke puskesmas. Usai Maghrib, dengan dipaksa Mamad dibawa Fadlan ke
puskesmas. Tentu itu atas perintah Abah. Tanpa perintah abah Mamad tidak akan
mau dibawa ke puskesmas.
Malam itu,
sepulang dari puskesmas, Fadlan dan Mamad ke ndalem untuk mengembalikan sisa
biaya puskesmas dan mengucapkan terimakasih kepada Kiai Sosro. Kiai Sosro,
menyuruh Mamad agar istirahat penuh dan sementara tidak perlu melakukan tugas.
Mereka segera pamit. Fadlan keluar lebih dulu dengan tergesa karena teringat
pakainnya yang sedang direndam, ia berlalri meninggalkan Mamad yang berjalan
denga pelan.
Rasa pusing
masih menghantam kepala Mamad. tiba-tiba, begitu Mamad akan melangkah keluar
dari pintu, ia berpapasan dengan Siti yang usai mengaji dan akan kembali ke
ndalem. Masing-masing dari mereka terhenti dan mematung. Mata mereka bertemu
dan berpandangan. Tidak seperti biasanya yang saling menunduk. Semakin dalam mata
mereka menatap semakin perih perasaan Mamad.
Tak di sangka
tiba-tiba air muka Siti berubah. Seperti ada kepedihan yang begitu dalam di
hatinya. Matanya berkaca dan menangis, lalu dengan cepat menghambur ke dalam.
Mamad hanya terperangah di depan pintu. Ia bingung dengan sikap Siti.
Sebelumnya tidak pernah mereka sedekat ini, dan tidak pernah mereka saling
tatap. Siti segera berlalu, langkah kakinya tidak lagi terdengar. Dengan
perasaan berat Mamad mengenakan sandal dan melangkah perlahan dengan gontai,
benaknya berkecamuk. Apa maksud ini semua?
Apakah kau juga mempunyai perasaan yang sama dan menyimpannya, Siti?
“Katresnan totoane nyowo…”
Suluk itu terngiang kembali di telinga Mamad.
Purwokerto,
Juli 2020.
Tentang Penulis
Dewandaru
Ibrahim Senjahaji, seseorang yang masih
belajar menulis. Berproses di Sekolah Penulisan Sastra Peradaban (SKSP) UIN
SAIZU Purwokerto. Pernah menjadi teman belajar anak-anak SMK Tujuh Lima 1
Purwokerto, sekarang menjadi kawan belajar anak-anak SMKN 2 Purwokerto dan
belajar di Pascasarjana Sosiologi Unsoed Purwokerto.