SUFISME DAN SASTRA
PEMBACAAN WHITE, KNYSH, DAN MUSA[1]
Oleh: Ilham Rabbani
Di masa lampau,
penyebaran Islam ke berbagai penjuru di luar Arab, tidak dapat dimungkiri telah
membawa pengaruh dalam berbagai aspek kebudayaan, tidak terkecuali keyakinan
masyarakat mengenai mistisisme Islam, atau yang lebih populer dikenal sebagai
“tasawuf” atau “sufisme”.[2]
Di India dan Nusantara, yang tidak lain merupakan tujuan penyebaran agama
(lazimnya) bermotif perdagangan, pengajaran tasawuf disampaikan lewat media
kitab-kitab yang bernuansa sastrawi–misalnya, kitab Al-Tuhfah al-Mursalah karya Muhammad ibn Fadhullah Burhanfuri
dianggap sebagai salah satu rujukan terpenting ajaran tasawuf di Nusantara.[3]
Alhasil, tidak jarang, dalam manuskrip sejarah tercatat bahwa pada suatu masa,
tasawuf berkembang kian cemerlang di wilayah-wilayah tertentu.
Secara khusus di
Nusantara, para sufi-pendakwah, yang lantas menyebarkan ajaran Islam lewat
media-media sastra, wayang, dan semacamnya–yang telah “disisipi” spirit cinta
Ilahi–berandil besar dalam penerimaan dan pembentukan Islam berwajah ramah.[4]
Akan tetapi, sebagaimana dapat disaksikan, setelah sekian abad perjalanan,
meredupnya tradisi keilmuan Islam yang diiringi pula kemunculan Barat (Eropa)
dengan filsafat rasionalnya, telah menenggelamkan secara perlahan eksistensi
tasawuf atau sufisme di tengah-tengah peradaban masyarakat Islam itu sendiri.
Dalam beberapa abad terakhir, Barat pun sukses mengibarkan panji
modernisme-nya.
Modernisme tersebut,
di samping membawa janji-janji yang menggiurkan bagi manusia, lamat-lamat juga
disadari, bahwa rupanya memiliki sisi yang cukup kelam: manusia dipaksa
terasing dari kedalaman diri (nurani dan rohani) yang dimiliki. Lantaran
keadaan itu, tidak jarang pemikir muslim kemudian berupaya menggali kembali
khazanah warisan agama (Islam) dari pusara sementaranya, dan tasawuf dipandang
memiliki potensi untuk membantu mewujudkan pembebasan tersebut. Akhirnya,
tasawuf atau sufisme pun dikemas kembali dalam berbagai media dan wujud yang
lebih kontemporer.
Kesenian seperti
sastra, seni rupa, dan lain-lain tidak luput dijadikan sasaran pengemasan.
Dalam hal ini, sastra modern pun disisipi semangat sufisme guna meminimalisasi
atau membendung pengaruh sastra Barat yang dianggap terlampau fisikal-dangkal,
bahkan hanya berpotensi menjuruskan para pembaca ke arah duniawi yang serba
materialistis, rasionalis, dan positivistik.[5]
Perkembangan dan
kebangkitan kembali tasawuf atau sufisme dalam sastra di berbagai negara,
rupanya banyak disorot pula oleh para peneliti dari berbagai belahan dunia.
Sebut saja, tiga di antara sekian penelitian tersebut ialah yang dilakukan oleh
Charles S. J. White,[6]
Alexander Knysh,[7]
dan Mohd Faizal Musa[8]:
penelitian White berjudul “Sufism in
Medieval Hindi Literature” dimuat dalam Jurnal History of Religions; penelitian Knysh berjudul “Sufi Motifs in Contemporary Arabic
Literature: The Case of Ibn ‘Arabi” dimuat dalam Jurnal The Muslim World; dan penelitian Musa
berjudul “Javanese Sufism and Prophetic
Literature” dimuat dalam Jurnal Cultura.
Dalam tulisan ini,
penulis berupaya mencari titik temu dari pembacaan-pembacaan yang dilakukan
ketiga peneliti terkait, dan secara mengerucut, pembahasannya difokuskan pada
ranah sastra. Setidak-tidaknya, pembicaraan akan mengarah kepada: pertama, penjelasan perihal penyebaran
dan perkembangan tasawuf atau sufisme, serta pengaruh dan dampaknya terhadap
karya sastra berdasarkan pembacaan ketiga peneliti; dan kedua, penjelasan kriteria-kriteria karya sastra sufi yang dibahas
dalam ketiga tulisan mereka.
Sufisme
dan Pengaruhnya terhadap Sastra
Sebelum memasuki pembicaraan utama,
kiranya penulis perlu menjelaskan terlebih dahulu mengenai konteks sastra yang
terdapat dalam tulisan White, Knysh, dan Musa. White sendiri melihat
pertumbuhan spirit sufisme dalam karya-karya pengarang sekaligus pengamal
tasawuf India pada abad pertengahan, semisal Malik Muhammad Jaysi, Mulla Daud,
Manjhan, Usman, Sheikh Nabi, dan nama-nama lainnya. Sementara itu, Knysh
menyorot pengaruh pemikiran tasawuf sufi terbesar bergelar Syeikh al-Akbar, yakni Ibn
‘Arabi, dalam karya dua penyair Arab kontemporer (80-an) bernama Muhammad Ghazi
‘Arabi dan Gamal al-Ghitani. Adapun Musa berfokus pada gerakan Sastra Profetik
era 70-an di Indonesia yang dipelopori oleh Abdul Hadi W.M., yang notabene ia
lihat mendapat pengaruh dari Sufisme Jawa (Kejawen) dalam Kitab Bonang, Suluk Sukarso, Suluk Wijil, Cabolek, Centini, dan Hidayat Jati. Pada intinya, titik temu pembahasan ketiga jurnal adalah sorotan
terhadap kecenderungan sufisme dalam sastra.
Baik dalam pembahasan White, Knysh,
maupun Musa, tasawuf dijelaskan mengalami perpaduan dengan tradisi setempat,
sampai akhirnya membentuk kekhasan tersendiri dalam karya-karya pengarang
setempat. Dalam konteks India abad pertengahan, dijelaskan oleh White bahwa setelah
sufisme masuk dari Persia–yang notabene berhubungan erat dengan hulu ilmu
tasawuf itu sendiri, yakni Arab[9]–pada
periode yang sangat awal, dalam periode pematangan yang panjang, ia berada di
bawah pengaruh bentuk-bentuk keagamaan India seperti Hindu, lantas menciptakan
gaya ungkap (sastra) tersendiri. Di bawah pengaruh penulis Persia dan budaya
setempat (literatur bahasa atau tradisi rakyat), penulis-penulis Muslim India
yang telah disebutkan sebelumnya, dalam literatur vernakular kemudian
mengadopsi konvensi Masnavis untuk
menggambarkan pengalaman keagamaan mereka sendiri. Dalam literatur klasiknya
pula, India telah menciptakan konvensi tertentu, yang melibatkan gambar erotis
untuk menggambarkan pertemuan Ilahi-manusia.
Di Arab, kendati telah memasuki zaman
modern, warisan spiritual dan intelektual yang kaya akan mistisisme Islam abad
pertengahan tetap mempengaruhi weltanschauung
(pandangan dunia) secara signifikan banyak novelis dan penyairnya. Demikianlah
pandangan Knysh, sebab ia memperhatikan, bahwa rupanya karya-karya sastrawan
tersebut banyak mengadopsi “topoi”,
pencitraan, dan istilah sufi tradisional. Dalam kasus Tajalliyat karya Al-Ghitani, selain masifnya pengaruh pemikiran Ibn
‘Arabi, Knysh juga melihat sang pengarang menunjukkan utang yang mendalam pada
teori-teori sastra dan filsafat Barat yang terjalin secara rumit dengan motif
sufi yang khas. Baginya, hal tersebut sangat mudah dikenali. Ia menekankan satu
hal yang jelas: in analyzing al-Ghitani’s
work one cannot just point to the author’s dependence on European intellectual
trends, while reducing his religiocultural specificity to “local color” and
trivial “vignettes”, deemed to “spice” an otherwise Westernized literary
discourse. Artinya, perbauran antara Timur dan Barat dalam Tajalliyat karya Al-Ghitani telah
membentuk kekhasan tersendiri bagi penyair kontemporer Arab semacam dirinya.
Hampir mirip dengan kasus di India
yang dijelaskan oleh White, Musa melihat kemunculan sastra profetik era 70-an di
Indonesia, yang dipelopori oleh Abdul Hadi W.M., erat kaitannya dengan masuknya
ajaran tasawuf ke Nusantara (Indonesia), yang kemudian melahirkan
tulisan-tulisan seputar tasawuf itu sendiri, termasuk tulisan berjenis sastra.
Menurut Musa, di era modern (sastra modern), Amir Hamzah merupakan salah satu
penyair Indonesia yang menulis karya sufistik. Dengan menyorot jauh ke
belakang, Musa berpandangan bahwa faktor penerimaan yang hangat terhadap Islam
di antara orang-orang di dunia Melayu-lah yang memungkinkan tumbuh suburnya
pengajaran tasawuf. Khususnya di Jawa, pengetahuan sufisme telah melahirkan
Islam Kejawen atau Sufisme Jawa yang khas, yang banyak dikembangkan melalui
karya sastra semacam Kitab Bonang, Suluk
Sukarso, Suluk Wijil, Cabolek, Centini, dan Hidayat Jati. Metode asimilasi dan toleransi menghasilkan semacam
“versi sinkronik Islam”. Lantas, apa yang kemudian membedakan gagasan sastra
profetik dengan sufisme periode awal di Nusantara tersebut?
Apabila karya-karya sufistik identik
menggambarkan hubungan intim (cinta Ilahi) antara hamba dengan Tuhan-nya saja,
sastra profetik justru lebih “memperlebar” jangkauannya: ia mencoba mengaitkan
kembali seni dan penciptaan dengan kehidupan yang lebih luas, mencoba
menyatukan lagi antara bumi dengan langit, yang lahir dengan yang batin,
dimensi sosial dengan dimensi transendental, Yang Satu dengan yang banyak,
serta “serbuk-serbuk besi” yang bernama manusia dengan “magnet”-Nya, yaitu
Tuhan.[10]
Singkatnya, dalam bahasa pemikir profetik lainnya, yakni Kuntowijoyo, sastra
profetik merupakan sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan, dan tidak
mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas.[11] Oleh sebab itu,
persentuhannya dengan realitas memungkinkan posisinya sebagai penghubung antara
semangat keagamaan dengan semangat pencarian identitas nasional, yang tidak
lain merupakan bagian dari semangat pencarian diri.[12]
Menurut Musa, alasan digaungkannya
sastra profetik yang menyerap khazanah Sufisme Jawa di masa lalu tersebut,
tidak lain lantaran keresahan masyarakat Jawa yang memandang nilai-nilai
spiritual Indonesia-Muslim telah tercoreng oleh budaya Barat sebagai
konsekuensi penjajahan Belanda. Mereka percaya bahwa aspek spiritual budaya
Jawa seperti Sufisme Jawa dapat dipulihkan kembali untuk menghapus aspek
negatif budaya Barat, yang notabene dipenuhi cinta materialisme dan didukung
semangat sekularisme. Tasawuf Jawa tersebut, selain diupayakan sebagai
“terapi”, juga berusaha dijadikan pedoman guna mencapai “kebahagiaan hidup”.
Selain kekhasan sastra lantaran
pertemuan tasawuf dengan budaya setempat, motif kelahirannya sebagai resistansi
terhadap budaya Eropa juga menjadi titik temu pembahasan White, Knysh, dan
Musa–terutama dalam tulisan dua nama terakhir. Salah satu penulis yang menjadi
objek penelitian Knysh, yakni Muhammad Ghazi ‘Arabi asal Suriah, dilihat
berupaya menutupi “lara” para intelektual Arab–lantaran menjamurnya nilai-nilai
sekuler nasionalisme dan sosialisme Barat–lewat karyanya yang menggali kembali
warisan mistisisme Islam. Ghazi ‘Arabi melihat bahwasanya warisan pemikiran
tasawuf Ibn ‘Arabi potensial dijadikan alat penangkal di tengah-tengah
kecenderungan materialistis dan pragmatis zaman modern: obat yang–menurut
Knysh–sangat diperlukan di tengah-tengah degradasi spiritual yang dirasakan
masyarakat Arab kontemporer.
White, Knysh, dan Musa juga
mengungkapkan bahwa selain dikemas ke dalam bentuk sastra, tasawuf diajarkan
pula dalam lembaga-lembaga secara khusus. Misalnya, White menemukan sekolah di
Lahore, Delhi, Madau, Dalmau, dan Jaunpur sebagai pusat pengajaran bahasa
Persia dan Arab. Khususnya di Jaunpur, terdapat madrasah yang disebut Masjid
Atala yang menjadi tempat para cendekiawan dari negara-negara Muslim belajar
hukum dan teologi. Tempat tersebut tentunya menjadi lahan penting penyisipan
ajaran bagi para sufi. Berikutnya, Knysh menjelaskan bahwa filsafat esoteris
Islam yang dipelopori oleh Ibn ‘Arabi, sang pemberi inspirasi bagi Al-Ghitani
dan Ghazi ‘Arabi, dipelajari di banyak universitas di dunia. Terakhir, dengan
mengutip Geertz, Musa mengatakan bahwa “aliran Sufisme Jawa” dan para
pengikutnya, yakni kaum “abangan”,
selanjutnya diterima sebagai cabang atau sekolah Islam di Jawa pada masa
penyebaran Islam.
Kriteria
dan Simbolisme dalam Karya Sastra
Dalam konteks sastra India abad
pertengahan, sastra Arab era 80-an, dan sastra (profetik) di Indonesia periode
70-an, terdapat kriteria atau kecenderungan yang hampir serupa dalam
karya-karya sastranya, terutama dari segi spirit yang disuarakan. Selain itu,
kecenderungan pemakaian simbol (simbolisme) dalam karya-karya penulisnya juga
sama-sama dapat ditemukan.
Dapat dipastikan bahwa
pengarang-pengarang India abad pertengahan, seperti telah disebutkan beberapa
nama di muka, menulis karya yang menyuarakan cinta Ilahiyah. Menurut White,
kecenderungan tersebut tidak lain merupakan pemaparan teknik untuk mencapai
penyatuan antara diri dengan Tuhan. Ia mencontohkan penulis dari kawasan
selatan India, yakni Mulla Vajahi dan para penyair lainnya, yang senantiasa
berusaha menjaga agar deskripsi mereka tentang Tuhan tetap dekat dengan
penjelasan dalam Al-Qur’an, atau dengan menekankan konsep Tauhid (kesatuan
Ilahi). Kriteria para tokoh dalam karya sastra sufistik pengarang India abad
pertengahan, selain sang pahlawan harus dibersihkan dari kenajisan, konvensi
juga mengharuskannya untuk mengembangkan sifat-sifat moral tertentu. Misalnya,
pertama-tama sang pahlawan harus bebas dari keasyikan berlebihan dengan diri
sendiri, lantas berkembang ke arah menghilangkan semua kecemburuan dan
kemarahan dari kepribadiannya, dan seterusnya.
Penggunaan simbol-simbol dalam
tasawuf juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari karya-karya mereka. White
mencontohkan kasus Usman dalam bukunya yang berjudul Citravali. Dalam karyanya, Usman berkata, “Di jalan ini ada empat
negara … Di empat negara itu ada empat kota, dan di empat kota itu ada empat
benteng …” Bagi White, simbol empat kota tersebut sangat bertalian dengan
jalur perkembangan spiritual kaum sufi: kota pertama, Bhogpur disisihkan untuk kenikmatan indra; Dari Bhogpur,
pelancong dapat pergi ke kota kedua,
Gorakhpur, di mana hanya ada pembicaraan tentang Tuhan dan tidak ada yang lain;
kota ketiga, Nehanagar, hanya bisa
dimasuki ketika “bahkan seorang raja telah menjadi miskin”; dan kota keempat, Rupnagar, adalah yang paling
sulit ditemukan dan hanya bisa dicapai setelah seseorang menembus batas-batas
Nehanagar, yakni ketika orang tersebut telah meninggalkan “pakaian, roda, dan
penyangga”, yang artinya semua hal di dunia mesti dilucuti.
Knysh sendiri menemukan Fath al-Wujud karya Ghazi ‘Arabi berbicara mengenai penderitaan
spiritual dan intelektual yang dialami oleh seorang sastrawan Damascene, yang
tiba-tiba menyadari bahwa ide kreatifnya benar-benar habis dan ia tidak dapat
melanjutkan aktivitas menulisnya lagi. Pailit secara intelektual dan spiritual,
sang tokoh lantas mati-matian mencari awal yang baru, jalan keluar bagi
kesulitannya. Hingga akhirnya, ketika sang tokoh berada jauh dari pusat kota
yang bising, ia mencari ketenangan sementara dari kesulitannya. Pengasingan
diri tersebut identik dengan kebiasaan sufi, yang bermaksud menarik kembali
sisi spiritualnya (khalwa). Jika
mencermati penjelasan Knysh tersebut, maka sejatinya secara implisit novel Fath al-Wujud juga menyarankan
pembentukan dan pengembangan moral seseorang.
Simbolisme dapat ditemukan pada
penutup Fath al-Wujud. Bagi Knysh, ending novel yang terjadi secara
tiba-tiba, yakni tepat ketika sang tokoh utama akan mencapai tingkat tertinggi
pencapaian spiritual dan kebijaksanaan, dan saat itu pula pemandunya menghilang
dalam ledakan yang terjadi di tambang, merupakan kiasan untuk episode dalam
Al-Qur’an ketika Allah meminta Musa untuk melepas sandalnya sebelum masuk ke
hadirat-Nya.
Terakhir, dalam pembacaan Musa,
dijabarkan secara lebih terperinci kriteria-kriteria karya sastra profetik yang
digagas oleh Abdul Hadi W.M. di Indonesia. Akan tetapi, karena berfokus pada
gagasan sang pelopor, Musa tidak mengulik secara mendalam mengenai contoh
kasusnya dalam karya sastra pengarang sufistik Indonesia periode 70-an. Ia
hanya memaparkan sepintas lewat perbandingan antara karya Pramoedya Ananta Toer
yang beraliran realisme-sosialis, dengan karya-karya Danarto yang condong pada
sastra transendental. Dengan mengutip Abdul Hadi W.M., Musa menjelaskan bahwa
letak perbedaan mendasarnya ialah titik besar antara seni Komunis dan Islam,
dan seni Islam sejatinya memiliki misi memurnikan kondisi masyarakat dari
masalah sosial dalam jiwa manusia itu sendiri. Baginya, hanya dengan jiwa yang
jernihlah masalah-masalah sosial dapat diatasi dari kehidupan manusia.
Dalam kesimpulan penelitiannya, Musa
merangkum kriteria-kriteria dan simbolisme dalam sastra profetik yang digagas
oleh Abdul Hadi W.M. tersebut sebagai berikut. Pertama, sastra profetik
menekankan penempatan kembali manusia sebagai khalifah Allah. Kedua, tema yang paling mendasar dan dominan di dalamnya adalah
monoteisme. Ketiga, sastra profetik
sejatinya tidak begitu tertarik pada bentuk tertentu, melainkan lebih
menekankan elemen tradisional seperti kembalinya ke “akar budaya lokal”,
termasuk ajaran Sufisme Jawa sebagai sumber. Keempat, keindahan sastra
profetik dianggap dalam “berbagi pengalaman spiritual kenabian”, di mana
penulis berusaha menunjukkan kepada pembacanya suatu “Realitas Kebenaran”,
yaitu Allah Swt.–sama seperti sastra sufistik–melalui penggunaan simbol-simbol
(simbolisme). Lantaran hal ini, para penulis terus dituntut untuk meningkatkan
kemampuan mereka dalam penyusunan simbol-simbol, guna keberhasilan penandaan
dalam karyanya. Kelima, karakter yang ditampilkan adalah
karakter yang kuat, berani, terhormat, dan saleh. Keenam, sastra profetik
juga merayakan kebebasan imajinasi, dengan syarat bahwa kebebasan tersebut
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karya penulis non-muslim juga dapat
diakui sebagai sastra profetik, namun yang perlu diperhatikan, bahwasanya
sastra profetik Islam menuntut para penulisnya bekerja erat dengan Tuhan,
sekaligus setiap saat sadar akan putusan hukum Islam.
***
Tulisan ini boleh
dikatakan sebagai sejenis “pembacaan atas pembacaan”, yang melaluinya, kita
kemudian dapat melihat titik temu–perihal relasi antara sufisme dengan
sastra–dalam penyelisikan yang dilakukan oleh White, Knysh, dan Musa. Ada
beberapa aspek yang menunjukkan persamaan atau titik temu, kendati ada pula
segi-segi yang berlainan. Titik temu tersebut dapat terlihat dari pengamatan
mereka terhadap penyebaran sufisme pada rentang masa atau wilayah tertentu,
yang kemudian berbaur dengan budaya masyarakat setempat, dan telah mempengaruhi
kelahiran karya sastra dengan sifat-sifat khasnya–baik di India pada abad
pertengahan, Arab era 80-an, maupun Indonesia periode 70-an.
Pada penelitian Knysh
dan Musa, kebangkitan kembali spirit sufisme dalam sastra justru dijadikan
sebagai alat pembendung pengaruh budaya Barat yang dianggap terlampau
materialistis dan sekuler, yang notabene juga memicu keresahan di kalangan
masyarakat masing-masing. Adapun perihal kriteria-kriteria karya sastra
sufistik, lazimnya terlihat penekanan pada aspek moral yang dikandung di
dalamnya. Simbol-simbol yang bertalian dengan sufisme atau hubungan dengan
Tuhan, juga didayagunakan oleh para pengarang yang menyerap spirit sufisme
dalam menghasilkan karya sastra mereka.
Tentang
Penulis:
Ilham Rabbani, lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Aktif mengelola
komunitas sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Selain pernah mendapatkan
penghargaan, tulisan-tulisannya juga terbit di beberapa bunga rampai dan media
massa, baik cetak maupun daring (Basabasi.co,
Bacapetra.co, Beritabaru.co, Kibul.in, Jejakimaji.com, SKSP-Literary.com, Cerano.id,
Haripuisi.com, Lensasastra.id, Koran Sindo,
Merapi, Minggu Pagi, Mata Budaya,
Kreativa, dan lain-lain). Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada
(UGM). Perihal Sastra & Tangkapan
Mata (2021) adalah buku esainya yang telah terbit. Dapat dihubungi via akun
Instagram @_ilhamrabbani atau surel ilhamrabbani505@gmail.com.
[1] Tulisan
ini merupakan hasil diskusi penulis dengan Ricky Yudhistira Nasution dan Dedek
Gunawan ketika menempuh studi di Magister Sastra UGM.
[2] Hadi W.M., Abdul. 2016a. Cakrawala Budaya Islam. Yogyakarta: IRCiSoD, hlm. 252–259.
[3] Bagir, Haidar. 2015. Semesta
Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi. Bandung: Mizan, hlm. 106–113;
atau Wahyudi, Agus. 2014. Bersatu:
Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta: Diva Press, hlm. 65–66.
[4] Hadi W.M., 2016a: 301–302.
[5] Hadi W.M., Abdul. 2016b. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Jakarta Selatan: Sadra
Press, hlm. 5–10.
[6] White, Charles S. J.. 1965. “Sufism in Medieval Hindi
Literature”. Dalam History of Religions,
Vol. 5, No. 1, Summer 1965, hlm. 114–132.
[7] Knysh, Alexander. 1996. “Sufi Motifs in Contemporary Arabic
Literature: The Case of Ibn ‘Arabi”. Dalam The
Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari 1996, hlm. 33–49.
[8] Musa, Mohd Faizal. 2011. “Javanese Sufism and Prophetic
Literature”. Dalam Cultura, Vol.
VIII, No. 2, 2011, hlm. 189–208.
[9] Hamka. 2016. Perkembangan
dan Pemurnian Tasawuf. Jakarta: Republika, hlm. 61–62.
[10] Hadi W.M., 2016b: hlm. 30.
[11] Kuntowijoyo. 2010. Maklumat
Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo-LSBO PP Muhammadiyah, hlm. 10.
[12] Hadi W.M., Abdul. 1985. Sastra
Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus,
hlm. vi.