SASTRA DAN LITERASI
SEJARAH
Oleh: Muharysam Dwi Anantama
“Jangan
sekali-kali meninggalkan sejarah”
Semboyan
yang akrab di telinga orang Indonesia yang dilontarkan Bung Karno pada peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tahun
1966, seolah menjadi penegas, sejarah mesti diingat dan dilestarikan. Dalam pidato
yang sama, Bung Karno mengingatkan bahwa “Jika engkau meninggalkan
sejarah, engkau akan berdiri d iatas vacuum, engkau akan berdiri di atas
kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk
belaka.”
Kenyataanya, sejarah adalah milik pemenang. Dokumen-dokumen
sejarah menyajikan narasi tunggal yang terasa begitu dogmatis, pantang
ditentang. Bahkan lebih jauh, dokumen-dokumen itu yang menjadi patron
pendidikan di sekolah. Muaranya, pembelajaran yang begitu kaku dan cenderung menjemukan.
Literasi Sejarah
Membaca sejarah dapat dilakukan melalui karya sastra. Cukup
banyak karya sastra di Indonesia yang mendasarkan kisah pada fakta sejarah. Fakta-fakta
sejarah dalam karya-karya itu digunakan sebagai jembatan mengungkap peristiwa
sejarah yang lebih luas dan mendalam. Berbeda dokumen sejarah, karya sastra
sejarah memuat kandungan sastrawi di dalamnya. Sehingga, penulisan unsur-unsur
sejarah ke dalam karya sastra bukan hanya sekadar laporan peristiwa bersejarah.
Sifat sastra yang menghibur selalu coba dipertahankan penulisnya.
Teeuw dalam buku Sastra
dan Ilmu Sastra (2013) membeberkan perbedaan mendasar antara dokumen
sejarah dan karya sastra sejarah. Dokumen sejarah bertugas untuk melaporkan
fakta-fakta secermat dan selengkap mungkin, sedangkan sastra adalah cerita
rekaan yang dibalut dengan serangkaian data dan fakta. Dengan demikian, karya
sastra sejarah tetap menampilkan sederet data dan fakta tentang suatu peristiwa
bersejarah.
Karya sastra yang berbasis pada data sejarah bisa menjadi
sarana untuk masuk ke dalam ruang sejarah yang masih abu-abu. Narasi sejarah
yang hadir dalam karya sastra bisa mendukung, menghakimi, ataupun memberi
paradigma baru terhadap sejarah yang telah mapan. Sejarah telah membuktikan
jika karya sastra
kerap digunakan sebagai
senjata ampuh dalam mendongkrak
kesadaran kritis masyarakat. Misalnya,
kisah-kisah sejarah yang terdapat dalam tetralogi novel Pulau Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.
Menurut Max Lane, dalam bukunya Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia: Pramoedya, Sejarah, dan Politik (2017),
novel Bumi Manusia telah menggeser
sejarah tentang lahirnya Syarikat Islam—metamorfosis Syarikat Dagang Islam
(SDI). Sejarah yang mapan mengisahkan SDI karena adanya konfrontasi antara
pedagang pribumi dengan pedagang Tionghoa. Namun, hal itu berbeda dengan
kisahan pada Bumi Manusia yang
menyajikan kisah akar berdirinya SDI, simbol rsistensi terhadap kolonialisme
yang saat itu mulai menggurita.
Salah satu caranya menghimpun kaum dagang yang dianggap
sebagai kaum merdeka karena tidak menggantungkan nasib pada pemerintah
kolonial. Selain itu, Bumi Manusia
juga ingin menegaskan, organisasi modern pertama di Indonesia adalah Syarikat
Priyayi—cikal bakal SDI– bukan Budi
Utomo.
Karya sastra lain yang mencoba untuk memberikan perspektif
baru dalam membaca sejarah adalah karya-karya berlatar kolonial yang dihasilkan
oleh Iksaka Banu. Di antara jamaknya pilihan latar waktu dalam periodisasi
sejarah Indonesia, masa kolonialisme mendominasi hampir seluruh karya sastra
yang ditulis Iksaka. Karya-karya Iksaka berupa prosa berlatar kolonial antara
lain kumpulan cerpen Semua Untuk Hindia
dan Teh dan Pengkhianat, serta novel Sang Raja dan Pangeran Dari Timur (ditulis bersama Kurnia Effendi). Melalui
karya-karya tersebut, Iksaka memberi warna baru dalam penulisan karya sastra
sejarah di Indonesia dengan mendudukkan tokoh-tokoh orang Belanda sebagai
karakter sentral.
Sisi Kemanusiaan
Karya sastra sejarah bukanlah dokumen sejarah, tetapi dapat
digunakan sebagai medium untuk menilik tilas sejarah yang pernah terjadi.
Seperti yang dikemukanan oleh Rene Wellek dan Austin dalam buku Teori Kesusasteraan (2014). Sastrawan
menyampaikan kebenaran sekaligus juga merupakan kebenaran sejarah dan sosial. Dalam
karya sastra, pengarang mencoba menggambarkan dunia sosial. Ia mengolah dan
mengungkapkan realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari melalui karyanya.
Dalam dokumen sejarah, banyak hal yang sangat mungkin tidak
bisa terjamah. Dokumen sejarah pada dasarnya hanya merangkum fakta-fakta sosial
dan budaya secara kolektif yang terjadi pada suatu masa. Dokumen sosial
terkadang—dan lebih sering– tidak bisa mengakomodasi pengalaman individual
dalam menghadapi dan merespons suatu masa. Dalam ruang inilah karya sastra
sejarah memainkan perannya.
Misalnya, karya Arafat Nur yang berjudul Tanah Surga Merah dan Kawi
Matin di Negeri Anjing. Melalui dua novel itu, kita diajak berpetualang dan
mengamati konflik panjang di Aceh. Dalam Tanah
Surga Merah diceritakan fragmen pascagencatan
senjata di Aceh. Tokoh bernama Murad yang begitu idealis sebagai anggota
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tidak terima saat rekan seperjuangannya di GAM justru
bertindak menyengsarakan rakyat Aceh yang selama ini mereka bela. Akhirnya
Murad menghabisi nyawa temannya yang saat itu memiliki jabatan di pemerintahan.
Murad akhirnya menjadi seorang pelarian.
Kawi Matin di Negeri Anjing melukiskan kisah seorang bocah yang
menjadi bagian GAM. Bocah itu bernama Kawi Matin. Menjadi anggota GAM bukan
murni pilihannya, keadaan lingkungan memaksanya. Perlakuan aparat yang sering
sewenang-wenang, membentuknya menjadi pemberontak. Muaranya ia turut berjuang
dalam GAM. Setelah GAM dan
Indonesia berdamai, Kawi semakin merana. Bantuan pemerintah Indonesia yang
dijanjikan kepada mantan anggota GAM tidak pernah ia terima. Kawan-kawannya sesama
mantan pejuang juga tidak peduli kepada nasibnya juga keluarganya. Hal semacam
itu terkadang luput dari dokumen sejarah. Padahal sisi semacam ini bisa
menjadikan arif dan bijak dalam meneroka suatu kisah.
Berbeda Leila S Chudori yang menyoroti sejarah zaman
Orde Baru. Melalui Pulang, Leila mengupas kehidupan eksil
politik Indonesia di luar negeri. Mereka orang marjinal dan terbuang karena
dilabeli PKI. Di luar negeri, mereka tetap bangga dan cinta Indonesia.
Kecintaan terhadap Indonesia dikukuhkan dengan mendirikan restoran yang diberi
nama “Tanah Air”.
Dalam kisahan sejarah, eksil politk adalah penjahat negara
yang kontra konstitusi. Melalui Pulang,
Leila mencoba melawan wacana yang sudah mapan dengan menyajikan kisah tentang
kecintaan mereka terhadap Indonesia.***
Tentang Penulis
Muharsyam Dwi Anantama, Pengajar di
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung.