PERTALIAN
SEMESTA
Kali ini renjana telah manampakkan
Warna maroon pada kelopak usianya
Memekarkan taman-taman suci
Mendayukan angin yang sepoi
Yang menabuh dedaunan muda
Di sisi batang bambu
Di sepanjang semenanjung Cina
Bisikannya menggema di langit
Sampai purnama menggenapkan cahayanya
Warna-warni pulau di peta menjadi bukti
Akal dan hati telah melampaui angkasa ilmu
Ialah renjana, gadis purnama
Yang setiap malam rela menjamu rindu
Dengan air susunya
Setiap tetesnya dialirkan kesabaran
Merawat janin di dalam rahimnya
Yang kini masih membuai jiwanya
Di alam khayangan
Kelak menjadi titah
Di seluruh titik usianya
Kala pagi mengepakkan sayap
Kendi air panas berasap doa
Membantu langkahmu
Menembus tembok selatan
Sampai kembali malam nanti
Sambil membawakan bunga satu koper
Agar dilihatlah dunia
Yang terang meruang mewaktu
Kau sibuk menyiumi wajahnya
Lalu ia mengikat diri di tiang ranjang
Menanyai apakah ini benar-benar sudah terjadi
Sejauh itulah kehidupan
Yang terekam dalam imaji renjana
Gadis purnama, yang setiap malam
Rela menjamu rindu dengan air susunya
Maka ia menanyakan pertalian pada semesta
Perihal tali yang sewaktu-waktu merajamnya
Dengan sebuah rindu, dengan sebuah nestapa
Pesannya jelas tertuju padamu
Dengan mata penuh binar
Tanda kejujuran hatinya
Purwokerto, 13
Oktober 2019
PADA MUSIM ITU
Dengan lantunan syair
Aku mengenang
Keabadianmu di usia cinta
Menenggelamkan getir
Pada manjanya hari-hari
Oleh sebab nakalnya rindumu
Menghantuiku hingga aku
Berpeluk dengan batang eru
Pelukis hitam di pipiku
Dalam manisnya lari kecilku
Dengan bisikkan dzikir
Aku mengenang
Polah lugumu di masa jahiliyah
Yang terekam waktu
Di sudut hari di gedung tua
Cintamu begitu usil
Membenturkan pesawat kertas
Melekuk di dahiku yang lemas
Menembus sampai ingatan
Hingga kini lamanya
Dengan ini aku mengenang
Segala tawa
Pada keisengan rindumu
Melukis ledek di bibir kawan
Sebab kata terucap olehmu
Mewarna merah di wajahku
Aku mengenangmu
Di segala musim
Saat kau mulai terbang
Mencari hidup
Dan kekal menjemputmu
Sampai keabadian
Banjarnegara,
31 Mei 2020
SAJAK ARUN
Cemara hitam tertawa gigil
Sebab mungil pipiku
Tenggelam di bibir taman
Terukir garis dari rantingnya
Yang menjalar di tubuh nadi
Larimu paling laju
Di antara ejekan yang mengesankan
Bahkan di musim ketujuh
Daun-daunnya takkan mengering
Lantaran waktu tak memetiknya
Dari dahannya
Rumput di padang savana
Tak hendak mengering
Sebab hujan dan kemarau
Bergantian melimpahi
Hingga masuk usia cinta kesembilan
Aku tak hendak menyesal
Hanya bernaluri cinta kasih
Dan ia mengalahkan getir
Juga masam pada senyummu
Duka dalam cita
Menyelimuti kabu
Sebab cintamu
Seusia edelweis biru
Banjarnegara,
31 Mei 2020
SAJAK
PERMINTAAN
Musim lalu kau memintaku, Abu Ri
Melukis surga di kakiku
Untuk si mungil nanti
Aku memilih merah muda
Pada warna rumah baru kita
Menjelang malam
Kau mengajari Alif
Ba Ta
Sedang aku tersibuk
Dengan sumbu perapian
Mematangkan nasi merah
Lengkap dengan sayur dan potongan daging
Setelahnya kita larut dalam cengkerama
Mengabadikan kenangan
Di malam purnama
Menyelesaikan rindu bersama-sama
Lalu berselimut dalam cinta
Pagi terbit, kau di sampingku
Merangkai catatan indah
Dalam kamus harianku
Membalas senyum manis
Di akhir kalimatku
Salam yang hangat
Tepat pintu mobil terbuka untukmu
Melayanimu dengan kebahagiaan dunia
Sepanjang detak jantungku,
Hingga aku hidup kembali
Kelak jika aku tak lagi menghuni rumahmu
Tetaplah ada dalam hidup yang fana
Simpan saja namaku
Di dalam lemari doa
Hingga surga bahu-membahu mempersatu
Banjarnegara,
1 Juni 2020
TELAGA
Sore ini aku berkunjung ke telaga
Tempat tubuhmu tercebur dalam janji
Akan indahnya mawar di padang ilalang
Di serabut akarnya, cinta ditanam
Dengan tanah yang paling sempurna
Maka diri hendak mempercaya
Tiadalah kasih menjadi purna
Bila ajal menyeru ke pangkuannya
Sebab usia bukan lagi masalah
Pun hidup akan menjelma
Hingga ke ruang surga
Banjarnegara,
1 Juni 2020
KENANGAN ARLOJI
Telah
berlalu masa itu
Hari
sore, di mana angan
Menjadi
berseri oleh angin lembut
Yang
melabuhkan kapal-kapal tembaga
Para
nenek moyang
Tenang
danau jiwaku
Sedang
imaji mengepakkan sayap
Ke
pulau Jeju
Sebelumnya
aku sempat mengira
Kalau
pertemuan itu
Takkan
mungkin tiada jejak
Lukisannya
terlalu cerah
Pada
kanvas jemari
Yang
dapat kugenggam kapanpun
Dan
tentu bukanlah cerita
Pada
mitos-mitos kuno
Diam-diam
jalannya waktu
Masih
ditemui kedipan permata
Melalui
gelombang elektrik
Hasil
keindahan alam
Semesta
pikiran fisikawan
Kami
saling jumpa
Dalam
kedipan mata
Di
atas ranjang kamar euforia
Dengan
bahasa penduduk langit
Kami
beradu kata
Melembutkan
cinta hingga kebijaksanaan
Yang
pernah tertulis
Di
prasasti istana Mulawarman
Kini,
menjadi titah
Bagi
bocah berusia sepuluh tahun
Yang
mengemban cinta kasih ibunda
Purwokerto, 13 November 2019
MALAM DI
PUNCAK GUNUNG SAHARI
Kali ini malamku tersyukur
Di antara bintang yang tertutup awan beton
Dan berpijar di gedung tinggi itu
Bila keheningan menghampiri
Mulailah diri dipatuk kekaguman
Warna-warni malam ibu kota
Menghibur diri dari candu
Rasa duniawi
Maka di atas dipan-dipan yang menawan
Al-Fatihah
menjadi dongeng teridah
Sebelum beranjak
Kepada mimpi
Jakarta, 3
Februari 2020
PEREMPUAN
SEPANJANG WAKTU
Air
matanya adalah mahasabar
Di
atas kasur penuh rindu
Pada
buah hati yang melekat cinta
Yang
namanya diabadikan
Dalam
udara malam
Bahagianya
adalah mahaluas
Kala
si mungil puas
Melahap
sayur tanpa bahasa kias
Tertawanya
lepas
Membawa
girang lari kecilnya
Yang
landas
Nyanyiannya
adalah mahaindah
Untuk
tangis pemecah malam
Hingga
merah pada matanya
Dan
kembali kepada mimpi
Kecil
yang penuh nada suci
Doanya
adalah mahasuci
Untuk
seluruh nama
Yang
pernah di rahimnya
Mengantarnya
ke panggung dunia
Hingga
waktu yang paling senja
Hanya
iman yang siap sedia
Membawa
diri ke hangat peluknya
Sebelum
ujung dunianya
Hingga
pakaian tergantung
Di
kamar kosongnya
Purwokerto,
9 Desember 2018
DI PUNCAK
BUKIT GERMANGGIS
Aku melihat kilauan lampu
Lalu wajahmu menyelinap di antaranya
Di dingin yang menusuk ruang sendi
Bulan tersenyum pada langit gelap
Menyampaikan bahasa dari sungai darahku
Mengalirkan kata dari rumput kepada kota
Aku tak hendak beranjak ke ranjang
Sepanjang kilometer yang indah
Terbentang di antara tiang listrik dan lampu
jembatan
Tiada jurang di kata pisah
Antara jarimu dan jariku
Angin lembah di curam hatiku
Tak mampu mengalahkan rayuanmu
Cumbunya di putik anggrek merah
Aku jadikan wangian di putih gaunku
Bukit Germanggis, 27 April 2019
MAULIYA NANDRA ARIF FANI, berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Sekarang dia
menempuh pendidikan S2 di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto, Prodi
Pendidikan Agama Islam. Dia menjadi anggota di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban
(SKSP) UIN SAIZU. Karyanya dimuat di beberapa surat kabar, buku antologi
bersama, dan pernah jadi Juara 3 Lomba Puisi Nasional Event Hunter Indonesia
sehingga dia berkesempatan melakukan kunjungan sastra ke Singapura. HP
085726377842; Email mauliya.nandra@gmail.com; Facebook Mauliya Nandra Ariffani;
Instagram @mauliyanandra