ANI
“Jangan
sekali-kali menyentuh anak kami!”
Ani
mendapat perlakuan tidak menyenangkan saat mengantar anaknya yang masih sekolah
di PAUD. Sorot matanya masih tajam memandang ibu-ibu yang mencemoohnya, tak
dihiraukannya omongan-omongan mereka. Ia melepas anaknya dengan pelukan dan
ciuman sebelum memasuki kelas, kemudian pergi dengan perlahan meninggalkan
sekolah berukuran tiga petak dan ibu-ibu yang masih menggunjingnya.
***
Ani,
remaja tumbuh dengan ayah yang tegas dan ibu yang sabar namun pekerja keras. Gadis
itu tumbuh seperti layaknya remaja pada umumnya. Sekolah di SMA, ikut eskul
basket, dan sesekali minum kopi di kedai bersama teman-temannya. Sampai suatu
ketika, petaka rumah tangga membuatnya berubah tak tentu arah.
Ayah
Ani petugas keamanan, ibunya menjaga warung sembako yang cukup besar di
seberang kantor kelurahan. Ayah Ani pulang tak tentu waktu, sementara ibunya
sibuk menjaga warung sembako dari pagi sampai sore. Mba Asih yang mengerjakan
semua pekerjaan rumah yang ditinggalkan ibu.
Namun
beberapa hari ini Ayah Ani sering pulang pagi-pagi, setelah Ibunya berangkat
membuka warung, dan setelah Ani berangkat sekolah. Berhari-hari, hingga hampir
setiap hari. Ani tidak merasakan kecurigaan kepada ayahnya sendiri. Hingga
suatu hari ia melihat ayahnya memaksa Mba Asih yang masih memegang kemoceng
untuk masuk ke kamarnya. Ani ikuti diam-diam tindakan itu dan melihatnya dalam
sela-sela lubang kunci.
“Jangan
Pak!”
“Diam!”
“Jangan
Pak!
“Jangan!”
“Diam!
Kamu mau gaji kamu tidak saya berikan?”
“Jangan
Pak!”
Ditariknya
Mba Asih hingga jatuh tersungkur di lantai. Kemoceng sudah tak dipegangnya lagi
kini. Tangannya kini memegang erat kedua lututnya yang dibuka paksa oleh tangan
kasar laki-laki itu.
Di
sela-sela lubang kunci, Ani masih menatapi dua manusia yang bergelinjangan
seperti ulat. Ayahnya dan pembantunya. Air matanya yang bening menetes satu
persatu. Tak terasa dua anak sungai mengalir dari matanya yang kecokelatan. Ani
gugu, ia mematung di depan lubang kunci. Keringat dingin menyelimuti tubuhnya
kini. Tak sampai setengah jam ia mampu mengendalikan dirinya dan berlari ke
kamarnya. Matanya yang kecokelatan itu masih menjadi muara. Dua bagian pipinya
masih mengalir sungai yang bening. Ani diam tak bisa berbuat apa-apa.
Berulang
kali ia pergoki ayahnya membawa masuk Mba Asih ke dalam kamarnya. Perempuan
yang dibawa ibunya karena ingin bekerja untuk bapaknya yang dijerat gurita
desa. Ibu yang kasihan mendengar cerita dari tetangga di kampungnya, akhirnya membawanya
untuk membantu pekerjaan di rumahnya.
Ani
masih menunggu keberanian. Ia masih tergugu-gugu setiap kali ia melihat Mba
Asih keluar dari kamar ibunya. Ia tak tahu bagaimana hancurnya ibu jika tahu atau
bagaimana malu dan marahnya ayah jika ketahuan.
***
Praaat!
Kedua
pipi Ani merah, jejak telapak tangan masih terasa di pipinya. Kepalanya pening,
telinganya merasakan kepekakan yang luar biasa. Tatapannya masih tajam walapun
terasa sedikit kabur.
“Nurut
apa kata gua! Orang datang ke sini buat cari nikmat!”
“Lu
harus nurut, buat cari selamat!”
“Itu
rumusnya!
Seorang
lelaki berbadan besar membentak Ani. Lelaki besar itu kini bertolak pinggang
dihadapan Ani yang mulai menurunkan badanya. Setengah duduk ia memandangi
lelaki besar itu. Giginya bergemeretak, mengadu satu sama lain. Ani masih
melihat wajah lelaki besar itu, wajah sok berkuasa yang angkuh tapi rapuh,
arogan tapi ketakutan, marah tapi tak berdaya. Untuk semua keluhan yang ada,
kebersalahan harus ditimpakan kepada Ani.
Wajah
lelaki besar yang membentak-bentak Ani sebetulnya kasihan sekali, karena dalam
hatinya ia pasti ketakutan. Ketakutan kepada atasannya, dan ketakutan karena ia
akan kehilangan uang.
Ani
dan perempuan-perempuan di situ selalu dianggap lemah oleh silelaki berbadan besar
itu. Lelaki itu tak tahu bahwa banyak sekali laki-laki lemah yang datang ke
situ hanya untuk memuaskan tanganya yang sudah keriput dan matanya yang
berkantung-kantung. Si lelaki
besar itu juga tidak tahu bahwa Ani dan perempuan-perempuan di situ kuat
menanggung segala panjangnya cemoohan orang-orang.
***
Matahari
hampir sampai di atas kepala, Ani pulang dari sekolah menggunakan ojek. Ia
nampak pucat hari ini. Ani merebahkan tubuhnya di atas kasur yang belum dirapikan selimutnya. Suara batuk
dan badannya yang terasa panas akhirnya membuatnya cepat tertidur.
Ayah
tidak terlihat hari ini, ibu yang sebelumnya melihat Ani diantar ojek langsung pergi
meninggalkan warungnya untuk bergegas sesegera mungkin ke rumah. Tidak ada
tanda-tanda Mba Asih di rumah. Ibu masuk tanpa mengucapkan salam, ia langsung
masuk ke kamar Ani. Dilihat putrinya yang sedang tertidur dengan keringat
sebesar biji jagung yang keluar dari pori-pori dahinya yang terlihat mengkilap.
Ibu
mengambil handuk kecil di lemari Ani dan air panas di dapur. Perempuan setengah
baya yang sedang panik dikejutkan oleh dua manusia di dapur. Mata ibu seketika
terbelalak. Ia lihat laki-laki yang telah lama bersamanya sedang beradu badan.
Perempuan yang ia bawa untuk membantu pekerjaan rumahnya pun tega membongkar
kepercayaan, kasih, dan rasa yang telah dibangun kepadanya.
Dua
manusia yang lebih mirip kucing jalanan itupun langsung mendapat murka ibu.
Segala makian dan teriakan dilemparkan seperti pelajar yang sedang tawuran.
Amukan ibu semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya segala apa yang didepannya di
lempar-lemparkan ke arah kedua manusia itu. Gelas, mangkuk, tempat sendok,
semua dihadapanya bertebaran di segala penjuru dapur.
Ayah
Ani yang akhirnya bisa mengendalikan kemarahan ibu. Didampratnya pipi kanan
perempuan setengah baya itu, hingga jatuh tersungkur. Tangisan ibu memecah
mimpi Ani. Gadis yang sedang tertidur itu kini bangkit dan segera menuju suara
ibu yang hampir terdengar ke seluruh ruangan rumah.
Ketakutan
Ani kini nyata ada di depan matanya. Kemaluan dan kemarahan Ayah, kehancuran
Ibu. Perempuan bernama Asih hanya diam saja. Ia baru saja menghancurkan
keluarga baik yang mau membantunya melepaskan tentakel-tentakel gurita dari
bapaknya. Tatapannya kosong. Perasaan gagal menjadi manusia seketika membuat
dirinya tidak bisa dikendalikan.
“Aaaargh,”
Dua
pisau dapur seketika menancap di dada dan perutnya.
Ayah
Ani diam mematung.
Ibu
dan Ani tak sadarkan diri.
***
Ani
menggadaikan jiwa dan raganya kepada kegelapan. Dunianya yang indah kini telah
sirna. Setengah dekade sejak ia melihat kematian di depan matanya, kini tak ada
lagi alasan ia harus takut dengan kehidupan. Semua yang ia terima kini hanya
luka. Tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi rasa. Semua rasa adalah luka. Dunia
adalah luka, bahkan dalam hatinya Ani selalu berkeyakinan bahwa Tuhan telah
tenggelam oleh luka-luka para manusia.
Wanita
yang paling ia cintai di alam raya hanya bisa terduduk dengan tatapan yang
kosong. Kini tubuh ibu mengurus, rambut-rambutnya telah menerang dan rontok
sedikit demi sedikit. Ayah tidak tahu ke mana. Warung sembako kini telah tiada,
tergadaikan oleh segepokan uang untuk biaya pengobatan ibu. Beberapa rumah
sakit menolaknya karena bukan merupakan penyakit yang mudah disembuhkan. Sejak
dampratan ayah siang itu, ada yang aneh di kepala ibu. Semua yang terlihat
merah ia anggap darah. Ibu teriak ketika ada warna merah di dekatnya.
Sudah
belasan klinik dan beberapa rumah sakit angkat tangan mengatas penyakit ibu.
Warung sudah tak ada, Ayah pergi entah ke mana, dan Mba Asih kini hanya Cuma
sebatas nama. Ibu akhirnya kembali lagi ke rumah. Setiap pagi dan malam,
teriakan ibu memecah keheningan rumah. Detak jam tidak terdengar ketika pagi
dan malam.
Doa-doa
dan mantra yang diucap Ani tidak pernah mempan untuk Ibu. Hingga akhirnya ia
tak percaya doa-doa dan mantra-mantra. Ani hanya diam. Ibunya didiamkan. Ia
tidak tahu harus berbuat apa-apa. Saudara-saudaranya entah ke mana.
***
“Lu
itu harusnya bersyukur, Si Abang
udah angkat lu ke sini!”
“Di
toko sepatu yang enggak laku itu lu bakal jadi jamur!”
“Di
sini, lu tinggal nurutin aja orang yang datang! Duit Datang!”
Ani
masih memegangi perutnya yang sakit. Satu sepakkan dari kaki kiri lelaki
berbadan besar berhasil merobohkannya. Ani masih menatap tajam lelaki berbadan besar, bergunung dendam ia
kepadanya. Perempuan-perempuan kelelahan, laki-laki itu tetap segar dengan
bergelas intisari di depannya. Perempuan kesakitan, lelaki itu masih memegang
satu botol lagi. Ketidakadilan ini terus berlanjut setiap hari, setiap waktu,
setiap saat perempuan-perempuan itu dikeluhkan oleh orang-orang yang datang.
Beberapa
kawan berjuang dan Ani menabung keberanian, dan uang. Mereka bersumpah akan
sesegera mungkin bisa pergi dari rumah bordil jahanam ini. kesakitan-kesakitan
yang mereka terima sudah tidak terasa lagi. Dunia adalah tempat segala luka.
Mereka yang hanya ingin bisa melihat indahnya dunia.
Melawan
dunia rasanya berat bagi Ani, melawan lelaki berbadan besar yang setiap saat
bisa mendamprat atau menendangnya dengan kaki kiri pun belum bisa terpecahkan
olehnya. Ia masih menabung dendam dan kesakitan kepadanya.
***
Hari-hari
berlalu secepat angin meniup kota meniup rambut-rambutnya hingga menutupi
matanya. Namun satu hal yang akan memberatkan langkahnya kini mulai terlihat.
Perutnya semakin membesar. Namun Ani bersyukur dengan perutnya yang semakin
membesar. Artinya sebentar lagi ia akan disingkirkan dari tempatnya mengisi tabungan
dan menumpuk dendam.
Selapis
harapan muncul di depannya. Hutang-hutangnya kepada Si Abang akhirnya lunas juga. Ani
sebentar lagi akan menemui dunianya
yang baru. Dunia tanpa dampratan, tanpa tendangan, dan tanpa kesakitan.
Ibu,
Ayah, harus ia jual kenangannya agar dapat menggapai dunia yang baru. Rumah ibu memang sudah tidak ada,
begitu pun keberadaannya. Segepok uang dibawa Ani untuk sesegera mungkin pergi
kota ini. Kota yang penuh akan luka di dadanya, kota yang tidak menghasilkan
apa-apa.
Akhirnya
ia dapati rumah sederhana dengan adanya pintu depan dan pintu belakang. Ia
tanami bunga-bunga mawar dan melati. Jendela-jendela yang berwarna hijau dengan
kaca-kaca hitam yang meneduhkan. Satu hal yang ia masih ingat, membuka warung
kecil untuk penghidupannya.
***
Sepasang
tangan kecil dan halus dengan kuku yang masih meruncing namun tidak tajam ia
usapi. Matanya yang bening tanda kesucian ia tatap dengan penuh kebahagiaan.
Luka-luka lamanya telah hilang karena tangisan insan yang baru lahir itu. Ia
ciumi dengan penuh kasih bayi kecil itu. Kebahagiaannya telah lahir, luka-luka
dan kesakitannya kini telah mati terbawa waktu yang sudah lama ingin
membawanya. Tuhan bangkit dari luka-luka dan datang membawa kebahagiaan untuk
Ani, ia mengutuki dirinya sendiri atas kesalahannya. Namun yang terpenting kini
adalah, kebahagiaannya datang.
“Tuhan!”
“Telah
lahir kembali! Ani.”
Tentang Penulis
Bayu Suta Wardianto, lahir di Tegal pada 18 Maret 1998. Seorang Guru
SMK yang juga avonturir. Pernah belajar di pendidikan formal selama 16 tahun di
Banten dan kini berlabuh di Purwokerto. Bekerja serabutan sebagai pekerja teks
di Rumah Kreatif Wadas Kelir menjadi bagian kecil dari Lembaga Kajian Nusantara
Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Proses kreatif bersastranya dimulai sejak bangku
kuliah ketika mengenal Arip Senjaya, Herwan Fr, dan
Firman Venayaksa. Namanya tercatat di buku antologi bersama Gol A Gong dalam
Kumpulan Puisi Penyair Banten “Cinta yang Menangis Cinta yang Berduka”. Buku
puisi pertamanya berjudul Tuhan, Aku Tersesat menjadi top 10
dalam ajang Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto. Buku kedua
berupa kumpulan cerita pendek yang berjudul Perempuan yang Terjerat
Kursi Taman. Tulisannya termuat diberbagai media lokal seperti Radar
Banyumas, Maarif NU Jateng, Beranda.org, Bidik Utama, dan sebagainya.
Penulis
bisa dihubungi melalui email: bayusutawr@gmail.com atau
media sosial Instagramya @suta_sartika.