GOTONG
KLIWON
Inyong wis kandha, wurungna! Saya sudah
bilang batalkan saja! Gelegar suara Mbah Karto begitu memasuki bale. Matanya nyalang menatap
orang-orang yang ada di ruang tamu.
Ningrum
langsung menegang mendengar suara orang yang begitu dihormatinya. Dan
ketegangan terasa di ruang tamu berukuran tiga kali empat meter itu. Ruang tamu
yang tadinya seperti sarang tawon langsung senyap. Semua mematung. Hanya
seskali terdengar lirih rintihan Yu Jum yang terbaring di dipan bambu.
Lihat,
Gus! Ini akibat kamu tidak mendengarkanku. Kamu anggap apa saya? Membuat
rencana tidak mendengarkan orangtua. Rencanamu membawa celaka untuk keluarga
kita, seru Mbah Karto. Wajahnya memerah. Tangannya menunjuk geram pada ayah
Ningrum.
Lenggah rumiyin, Mbah. Lurah Agus
mempersilakan ayahnya untuk duduk. Mungkin juga sebagai upaya meredakan amarah
lelaki yang sudah membesarkannya itu.
Tidak
usah! Saya hanya mau mengingatkan kamu, Gus. Batalkan acara lamaran Ningrum!
Kamu lihat sendiri, kan, sudah ada yang celaka gara-gara rencana itu. Kowe kudune eling, Agus! Mbah Karto
meminta Lurah Agus untuk mengingat petuahnya.
Mboten, Mbah. Aku tidak mau lamaran ini
batal. Sudah lama kami mempersiapkan ini semua. Tidak ada hubungannya musibah
Yu Jum dengan rencana lamaran kami. Ningrum meradang.
Sejak tadi, dia sudah
berusaha sebisa mungkin menahan gejolak di hatinya. Dia tidak mungkin diam saja
melihat semua keributan yang sudah bermula sejak seminggu lalu. Gara-gara Yu
Jum yang sedang rewang di rumahnya tanpa sengaja tertimpa rangka atap dapur,
semua menyalahkan rencana pernikahan itu.
Kowe ngerti apa, Ningrum. Bocah wingi. Kamu mengerti apa? Hanya
anak kemarin sore, potongnya dengan marah. Agus, kalau kamu masih menganggapku
bapakmu, batalkan lamaran itu. Ningrum dan Rahmat tidak jodoh.
Mbah
Karto langsung melenggang keluar membawa amarahnya. Tidak dihiraukannya
penjelasan Lurah Agus.
Serentak,
orang-orang yang ada di ruang tamu mengembuskan nafas lega. Tidak terkecuali
Ningrum. Gadis berjilbab itu merasa
lelah dengan pergolakan seminggu terakhir. Dia tidak habis pikir dengan
kakeknya yang begitu menentang rencana pernikahannya dengan Mas Rahmat. Apa
yang salah dengan sebuah rencana pernikahan?
***
Seminggu sebelumnya.
Ningrum
tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Senyum manis selalu tersungging di
bibir mungilnya. Baru saja Mas Rahmat datang menemui Bapak untuk meminta izin
untuk lebih serius tentang hubungan mereka. Ningrum tentu lega. Hubungan mereka
akan selangkah lebih maju.
Kalau
memang ingin serius, sampaikan pada orangtuamu untuk datang kemari minggu
depan. Kita adakan lamaran, titah Bapak di akhir pertemuan.
Dan
Mas Rahmat menyanggupinya. Lelaki yang sudah tiga tahun dikenalnya itu
merencanakan kedatangannya minggu depan bersama keluarga besar.
Namun
sepertinya, dewi fortuna hanya singgah sebentar untuk Ningrum. Beberapa jam
kemudian, senyuman di keluarganya berubah menjadi adu urat.
Kamu
bilang wetonnya Sabtu Wage? Ora iso,
Gus. Ningrum tidak bisa menikah dengan lelaki itu. Kamu tahu, kan, weton
Ningrum Senin Legi. Jatuhnya gotong kliwon. Ora
elok. Tidak baik! Mbah Karto langsung menginterupsi.
Inggih, Pak, saya tahu. Tetapi sekarang
ini sepertinya bukan itu yang jadi masalahnya, Pak. Yang paling penting Ningrum
dan calonnya siap membina rumah tangga. Mereka siap berkomitmen jangka panjang.
Semua pernikahan itu baik. Lurah Agus membantah halus.
Kamu
jangan ceroboh, Agus! Pernikahan gotong kliwon pantangan untuk kita. Sudah
sejak zaman dulu, aturan adat ini. Jika tetap dilaksanakan, keluarga kita akan
kena celaka. Kamu jangan seenaknya sendiri mengizinkan pernikahan ini. Mbah
Karto kukuh.
Tapi
mau bagaimana lagi, Pak? Ningrum dan Rahmat sudah cocok. Kita tidak mungkin menghalangi
acara suci ini terlaksana, kan? Hanya karena perhitungan weton. Kasihan mereka,
Pak.
Kamu
memang lurah di sini. Tapi saya ini orangtuamu dan Kakek Ningrum. Saya tidak
mau hal-hal buruk menimpa keluarga kita gara-gara pernikahan gotong kliwon. Wis pokoke inyong ora urusan! Mbah Karto
melepaskah diri dari segala urusan keluarga.
Saat
itu, di kamarnya yang hanya dibatasi tembok,
Ningrum mendengar semua percakapan dengan hati campur aduk. Dia sudah
bisa menebaknya. Rencana lamarannya tidak akan semulus yang dibayangkan.
Kelurganya masih memegang teguh adat istiadat, terutama kakeknya. Jangankan
pernikahan yang begitu sakral, bepergian saja harus melihat hari lahir atau
weton. Persoalan pernikahannya tidak akan selesai dalam hitungan jam. Dia hapal
betul watak kakeknya itu. Ah, semua sungguh membingungkan.
***
Jam
dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Itu tandanya sebentar lagi fajar
tiba. Namun, sejak semalam Ningrum tak bisa memejamkan matanya barang
sedetikpun. Pikirannya kusut. Ada begitu banyak masalah yang harus diurai satu
per satu agar semua terang. Apalagi sejak mendengar percakapannya ayah dan
ibunya malam tadi. Hatinya tidak mungkin tertutup begitu saja.
Apa
yang harus kita lakukan, Pak? Kita tidak mungkin membatalkan lamaran Ningrum.
Ibu tidak tega melihat Ningrum, Pak. Terdengar suara serak ibu seperti menahan
tangis.
Bismillah
saja, Bu. Bapak akan berusaha mencari jalan keluar. Mungkin nanti Simbah akan
luluh. Bapak tidak mungkin mengabaikan Simbah. Bagaimanapun beliau orangtua kita
yang harus memberikan restu. Lurah Agus menimpali.
Percakapan
demi percakapan terus mengalir dari kedua orangtuanya. Hal itulah yang semakin
memberatkan Ningrum. Di sisi lain, dia tidak mungkin membatalkan lamaran ini.
Rencana pernikahan ini sudah diimpikannya sejak lama. Namun, dia juga tidak
bisa menutup mata. Gara-gara rencana pernikahan ini, kedua orangtuanya selalu
berselisih dengan Mbah Karto. Bahkan mulanya, semua keluarga besarnya menghujat
rencananya. Ningrum berpikir sekarang mereka lebih terbuka dengan adat.
Sayangnya dia keliru.
Ningrum
benar-benar tidak habis pikir. Kenapa semua harus dibuat rumit dengan berbagai
aturan adat? Bukankah segala musibah, jodoh, maut, celaka, sudah ada yang
mengatur? Bukankah apa yang terjadi biasanya karena buah pikiran kita sendiri?
Ah,
Ningrum jadi teringat sudah beberapa hari ini, dia tidak curhat. Gara-gara
urusan lamaran ini, dia melewatkan waktu berdua bersamaNya di sepertiga malam.
Ningrum bangun dan menyeret kakinya menuju kamar mandi. Dia akan berwudu.
Tempat terbaik mengadu dan berkeluh kesah hanya kepada Rabb-nya. Dia ingin
bercerita sepuasnya kali ini. Dialah yang paling mengerti apa yang terbaik
untuk hambanya. Lantunan-lantunan dia panjatkan agar bisa menembus langit.
Semoga segalanya bisa membaik.
***
Pagi
itu, ketika Ningrum sedang membantu ibu memasak, ayahnya masuk rumah dengan tergopoh-gopoh.
Senyumnya merekah. Raut mendung yang seminggu terakhir menggantung di wajahnya,
kini sirna sudah.
Ibu,
Ningrum… kita sudah dapat jalan keluar. Lurah Agus tak bisa menyembunyikan
senyum sumringahnya.
Bagaimana,
Pak? Ningrum tak sabar. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Bahkan
detakannya bertalu-talu seakan ingin loncat dari tempatnya. Melihat wajah
ayahnya, tidak mungkin berita buruk yang akan didapat bukan? Apakah doa-doanya
satu per satu mulai dikabulkan? Entahlah.
Ada
apa, Pak? Ibu yang sedang mengupas bawang, mendesaknya.
InsyaAllah
Simbah sudah setuju. Maksudnya, beliau setuju menyusun ulang acara ini. Beliau
mau diskusi dengan keluarga Rahmat. Besok rencananya Bapak dan Simbah akan ke
rumah Rahmat untuk membicarakan ini.
Alhamdulillah.
Mudah-mudahan semua berjalan lancar, ya, Pak.
Ningrum tak bisa
menyembunyikan bulir bening yang jatuh di pipinya. Ini benar-benar kemajuan.
Perlahan namun pasti, benang kusut itu mulai terurai. Dia hanya berharap tidak
akan ada benang lain yang membuatnya kusut. Mungkin dia bisa sedikit saja
menarik nafas lega untuk kemajuan yang satu ini. Jika tidak ada halangan lagi,
tiga hari lagi, lamaran akan terlaksana.
****
Sesuai
rencana, hari ini Lurah Agus dan Mbah Karto akan datang ke rumah Rahmat. Mereka
akan mencari jalan keluar untuk permasalahan weton yang mengganjal. Satu jam
lalu, ayah dan kakeknya sudah meluncur ke desa Mas Rahmat. Mungkin saat ini
sudah sampai. Ningrum hanya bisa menuggu kabar selanjutnya. Namun, perasaannya
tidak enak. Dia tidak akan tenang sebelum mendapat keputusan pasti.
Sudah,
Ningrum. Kamu yang tenang saja. InsyaAllah Bapak dan Kakekmu akan mencarikan
jalan terbaik untuk kalian berdua. Ibu yang melihat Ningrum mondar-mandir hanya
bisa menghiburnya.
Ningrum
meremas ujung jilbabnya. Iya, Bu. Hanya Ningrum belum bisa tenang kalau mereka
belum kembali. Mana Mas Rahmat juga belum memberi kabar.
Sabar,
Nduk. Mungkin mereka sedang
berdiskusi sekarang ini. Rembug tuwa.
Rembuk antarorang tua. Lagi-lagi ibu hanya bisa menenangkan putri semata
wayangnya itu.
Ningrum
mengempaskan tubuhnya di kursi. Satu tangannya sibuk menyentuh nomor Mas
Rahmat. Nada dering sudah tersambung. Namun, tidak diangkat. Mungkin benar kata
ibu, mereka masih musyawarah. Dia berharap acara lamaran besok tetap berjalan
semestinya. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk menunggu hari esok.
Dua
jam….
Tiga
jam….
Empat
jam….
Lurah
Agus dan Mbah Karto belum kembali juga. Ningrum mulai gelisah lagi. Dia
bolak-balik mengubah posisi duduknya. Seperti ada wudun di pantatnya. Duduknya
benar-benar tidak nyaman. Dia penasaran dengan apa yang terjadi. Apakah
musyawarahnya begitu alot? Sampai-sampai sudah empat jam berlalu, belum juga
ada kabar tentang acara lamarannya. Ya Tuhan!
Ketika
terdengar suara deru motor memasuki halaman, Ningrum bergegas ke teras.
Bersamaan dengan itu, sebuah pesan Whatapps
masuk melalui gawainya. Tertera nama Rahmat di pesan itu. Dengan senyum lebar,
Ningrum buru-buru membuka pesan itu.
‘Dik Ningrum, terima kasih untuk jawabannya. Mungkin memang benar, kita
hanya bisa berencana tetapi Tuhanlah yang mengatur semua. Dan kali ini, Tuhan
mengatur kita belum bisa bersama. Aku sudah memperjuangkanmu, namun sepertinya
aku harus menyerah dengan tata adat keluargamu. Maafkan aku, Dik.
Ningrum tak sanggup
membaca seluruh pesan itu. Sudah jelas semua. Sudah berakhir. Tidak ada lagi
lamaran. Tidak ada lagi rencana pernikahan impian. Semuanya musnah dalam
hitungan jam.
Saat itu juga, Ningrum
merasa satu per satu tulangnya terlepas hingga tak mampu menyangga tubuhnya
lagi. Ya Tuhan, ujian macam apa ini? Kenapa jadi begini? Tidak ada jalan keluar
namanya. Ini justru jalan buntu. Jalan yang sengaja dipilih keluarganya.
Ningrum merasa seakan ada ribuan belati menikamnya. Sakit.
Harusnya dia sudah
curiga ketika bapak bilang Mbah Karto yang menawarkan akan mencarikan
solusinya. Di kejauhan, Ningrum melihat senyum Mbah Karto begitu lebar tersemat
di wajahnya. Seakan mengatakan akulah pemenangnya.
Tentang Penulis
Fajriatun Nur, seorang
ibu yang senang menulis cerita anak. Sudah menerbitkan sekitar 25 buku anak
yang diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer, Elex Media Komputindo, Tiga Ananda,
Cikal Aksara, Checklist Media dan Indiva Media Kreasi. Beberapa karyanya pernah
menghiasi Majalah Ummi, Majalah Socca, Majalah Femina, Koran Minggu Pagi, Suara
Merdeka, dan Kedaulatan Rakyat. Penulis pernah memenangkah Sayembara novel anak
KKJD Hunt Penerbit DAR Mizan tahun 2015, pememang karya terpilih Lomba Cerita
Rakyat Kemdikbud tahun 2015 dan Juara 1
Lomba Jurnalistik PKK tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2017. Selai
itu, penulis juga pernah terpilih sebagai Penulis Gerakan Literasi Nasional 2019
Badan Bahasa Kemdikbud. Menjadi juara dua dalam lomba Kanal PAUD Dirjen PAUD
tahun 2019. Dan memenangkan Sayembara Gerakan Literasi Nasional Badan Bahasa
Kemdikbud tahun 2020. Penulis bisa dihubungi di fajriatun_nur@yahoo.co.id.