Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi-puisi Jang Sukmanbrata

Admin by Admin
18 November 2022
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

 

MENGUNYAH BINTANG 

 

I

bintang
tak lagi bening

cakrawala
menenun kain 

bentangannya
di mata kiri

kukhawatirkan
di malam sepi

pengemis
tanpa sebungkus nasi 

kata kata
hanya barisan prajurit puisi tak menjelmakan keadaan lebih baik 

senyuman
tak lebih manis 

tawanan
kelaparan bukanlah wabah;

“Simpan
dalam diam, kawan!”

corona
senang berpesta saat lengah jejak kebodohan pikiran menjadikan ular besar di
gorong gorong kota, 

kekesalan
jadi kolam renang anak – anak pemulung limbah 

oh
kasihan si tulang si opa

bintang
tak kunjung datang,

hujan
menjamunya di awan tebal

 

II

Kita
merajut kemiskinan di laju detik mengurainya dalam pelenyapan diri

filsafat
tanpa akar digadang-gadang – serupa biji kopi terbaik buangan luwak 

dipungut
dari tunggul kayu rapuh,

di rumpun
bambu diambang punah 

begitu
bintang tak lagi terang

ketakutan
jika prosa berubah sajak

rasa
kasih digadai ke si gila hormat

kemurnian
puisi dibubuhi esai

Bintang
tak lupa bening

Sorot
mata purba muncul dari gua garba;

“Berikan
hati orang – orang bernyali singa,

kami tak
butuh karcis tanda miskin ;

kami
putra Ramadan, 

anak
Muharam, 

putri
kandung Nisfu Sya’ban 

dan anak
buah Pemilik Zaman”

Bintang
belumlah terang

jalan ke
pertanian hari tua membentang;

sedikit
sabar menunggu isyarat Tuhan

yang
menjelma di segala keadaan.

 

III

bintang
di matamu pun menyala;

biarkan
wabah jadi novel sejarah

desa kita
nyawa indah bersama;

“Raihlah
bintang yuk sebelum mulut malam melahap kencang”

Bintang
itu kaki kita yang bercahaya,

abad
silam ulama mengkarantina;

“Banyaklah
baca buku di taman, kemerdekaan adalah ombak lautan, rumput liat di celah celah
tanah kota, 

dan jalan
jalan desa.”

Menyentuhnya,
atau menggunakan

 

Padalarang, 22 Mei2020-Maret 2022




 

SAJAK LAHIR SEPERTI KANAK 

 

Ini desir
hati mengantarkan puisi 

Kata kata
dari hening tembus langit 

Anak
burung mencari pakan sendiri

 

Ini
denyut jantung meniupkan kidung

Selaksa
nafsu dibatas dikurung

Puisi
adalah kuda dipandu

Kabut
lembut menurun

 

sehelai
sayap

seliar
asap hutan

suhunan
rumah

jiwa
merah kembara

sajak
membuka taman 

 

Anak-anak
itulah taman bunga dunia

Kejujurannya,
suara Tuhan di benak.

 

Bukit
Padalarang, 21-22 Mar.2020




 

KONTEMPLASI AKHIR TAHUN

 

masih
hujan gerimis

menyapa
trotoar sepi

tetesnya
ke ulu hati

laki-laki
itu meringis

demontrasi
jadi puisi.

 

ya apatah
refleksi 

masih
duduk sendiri 

menyebut
nama sunyi 

waktu oh
bergigi taring 

lagumu
lelap di ranting

 

dingin di
ujung tahun 

menyuruh
buka buku 

jarinya
selembut kabut 

pijatan
sesegar embun 

cermin
baru kau cium

 

si kontemplasi
datang

matanya
serupa elang

melayang
atas kenangan

ia kawan
di jalan berpulang

ujung
tahun ini catatan rantau panjang

 

pesta
ayam bakar

meskipun
tak suka jiwa kita dibakar

api
unggun sudah cukup temani malam

peluk
lalu lepas si masa silam

dekap dan
bawa si masa kini 

ke depan

 

Bukit
Berlian, 19Desember2021




 

TEMBANG
LARON-LARON
 

 

Malam tak
berhitung 

kapan dia
menanggalkan selimut gelapnya

Begitu
pun siang tak mengabarkan memasang lampu beningnya

Malam
penuh cahya meliput seekor laron 

dari
kebun bunga, 

mampir di
rumah seorang petani

Bertemu
dengan tokek bambu 

Menatap
penuh kasihan,

”
Laron kau makhluk tanah yang bisa punah dimakan atau terinjak “

:”Ya
aku laron menginginkan hangat cahaya, namaku terkenal menjadi tembang, 

lambang
perjalanan menuju Tuhan. 

Rela diri
mati berkorban demi cahya”

 

Tokek
tersenyum, 

Remang di
tiang bambu hitam

titian
sunyi memuji Tuhan

mengingatkan
desir angin gunung akan datang

mata
sipitnya mengerling,

”
Laron kau bisa jatuh terpancing air “

”
mau alam, aku ada untuk cahaya dan kolam”

 

Sebaris
laron berduyun dari semak rimbun

Lagu
cinta perkasa dari sayap tipis lembut 

jatuh di
daun, sebagian mengabur di sela jendela

Jalan ke
bale kabuyutan masih berkabut

Satelit
Pentagon berputar bingung 

 

Cicak,
tokek bersiap-siap pesta laron

Laron
tahu

tak
pernah murung, oh malah beruntung

Lahir dan
mati jelas terhitung

Persembahan
agung

makhluk
lemah rela menyerah pada pemburu 

Selamat
datang laron-laron keluargaku

 

hindari
asap 

disitu
pekat jiwa 

seuntai
doa

terbang
atas kenangan

mekar
tumbuh ylang ylang

 

Kabuyutan
Rajamandala, 4Juli201
9



 

 

JEMBATAN DI TANAH RAMPASAN

 

jembatan
lengang

remang di
lorong panjang

ikuti
sinar

 

1_

dimatamu
bulan berpesta

cahaya
keluar masuk rumah

menyisakan
hangatnya pelukan 

angin
pemberontakan melucuti duka

tiada
kusesali waktu o lajunya sempurna, menjadi panglima perang di tengah dada

 

2_

semua
rencana jadi layar terpanjang

tak
mungkin bebas dari bujukan kota 

tak lepas
dari kerinduan ke desa tenang

Ini malam
tak bertepuk tangan

gemanya
saja tertinggal di besi jembatan,

langkah
langkah itu ih langkah kesepian,

kalian
sudah rampas tanah moyang; menyusun bata di atas kuburan ibu bapa,

kecelakaan
dari karma menunggu disana 

tak
mungkin aku dapat menghibur selama udara cinta, udara kebencian terpisah lorong
jembatan 

jalan
pintas kota cemas

Saya
minta kau tak lekas bergegas mari bersama mengambil tanah hak kita

 

jembatan
remang

jalan
para penyayang

bebas hai
pejuang!

 

Bukit Berlian Padalarang, Feb.2022




 

SYAIR MAWAR MERAH PUTIH 1

 

kuhembuskan
cintaku padamu 

saat
tidur 

suara
angin kebun bertingkah 

di
daun, 

aliran
cinta, oh belenggu setan dungu beribu abad lalu, kini tak terhitung, menduduki
perkara senyap, 

tipu
waktu – menyaru lumpur debu 

lepas
dari LGBT Namdruz

Terkurung
saat mesiah menyerbu, bait syair penyair terkutuk membisu 

__ adakah
ruang untuk meloncat panjang dalam alunan air sungai pegunungan?

 

di bulan
suci Muharam aku terjaga,

kerap
pandangi dua tangkai bunga,

merah
kelopaknya dikucur darah,

putih
kelopaknya celupan kesucian utusan Tuhan

Mengutuk
sepanjang peradaban, diluar sembahyang, sepanjang ziarah

lalu
menangisi penghulu pahlawan, 

kutiupkan
cintaku, dengkurmu o bara

mata
leluhur agung semakin dekat, 

wejangannya
lewat kawan lama, jumpa tak terduga; ia kupas kulit dunia;

ada yang
baru; licik – simpan dendam

Kutarik
cintaku demi tanah – hutan,

disimpan
sebagai tenaga cadangan

Hai
pengkhianat mampuslah kalian!

__
masihkah kekelaman disebut gemilang di abad cahaya berlarian?

 

Bukit Berlian, 16Agustus2022



 

  

BALADA SEMI SANG MAHDI 

 

sehari
aku tak makan, lapar dibunuh, hasrat dilepas di sungai kaki gunung

kadang
makan sekali, talas, ubi  

dan
beragam sayuran parahyangan, 

lalu
masuk ke dasar perut berombak 

menyatu
di arus sungai darah

Belajar
dari Daud kepungan musuh, puncak pengorbanannya Muhammad, dan sunyinya sang
Mahdi yang hidup sendirian di balik pintu dunia; 

sang
Pemegang mandat Tuhan 

di masa
kini – zaman penghabisan, duduk di puncak gunung berkabut.

Datanglah,
datang! aku siap tempur!

 

Matahari
belum puas pada panasnya

Langit
masih menurunkan cahaya 

Aku belum
mampu mempersembahkan puisi indah pada pemilik zaman

Telanjang
sudah di pusaran sungai purba, di kilauan batu-batu kwarsa 

Ketika
pulang, belukar merebah, 

selama
senyap hinggap, ia bertanya; kapan bisa ke kampung 12 bintang 

Ah
keinginan – ilalang penghalang pandangan tak terasa dimanjakan,

tapi
menolak di lalui cacing kuburan:

“Keluarlah
dari dunia ini, cari Tuhan lain. Kalau ada, potong telingaku!”

Semata
kasih Tuhan diperjuangkan

Datanglah,
datang! Aku hunus kujang

 

Jarak
tipis kegagalan – keberhasilan hidup tak menunggu kedatangannya, oh sedih, bila
kita tahu dia menanti, kita merapihkan dunia, 

si jahat
tertawa diatas derita,

si bodoh
leluasa berkata, fana terluka

Pohon
akasia, cemara dan ara bersama setan membangun istana

Yahuda si
pengiri bergumam;

“Kelak
kejayaan Yusuf akan pudar. Lihatlah keturunanku akan berkuasa”

Cinta
Zulaikha membunuh asmaranya, melupakan asal mulanya

Pesta
dalam kelengahan

Di sudut
kota, lelaki tua berurai airmata, “Aku serahkan diriku pada kampung
halaman ketiadaan”.

Datanglah,
datang! aku siapkan kuda

 

Jumawanya
raja kegelapan

bulan
dibaginya sebelas bagian

“Tuhan
pencipta, aku datang!”

Mata
satunya buta pada kebajikan

Perang
terbentang, nuklir menghilang

Balik ke
zaman pedang

Anak
berlarian di hujan, “ya kami tiba”

Pemudanya
menghindar reruntuhan 

mencari
Dzulfiqar yang dijanjikan, 

“Ya
singa Tuhan, kami siap di depan!”

Datanglah,
datang! Aku siap perang

 

Bukit Padalarang, 30Mei2022




 

LANGIT KAN TIDAK TUTUP?

 

1

langit
kan tidak tutup

awan
putih masih berarak

awan
hitam suka berkejaran

Tak bijak
mengurung terus di kamar

tataplah
sebentar, hirup mawar mekar

mendengar
yang lapar di kampung urban

gelisahmu
seperti tetes hujan di mata 

cermin
yang melukiskan keadaan alam

Kantormu,
mallmu, kedai kopi hiburanmu

di ruang
para pemuja ragam berhala tua lampu lampu kotanya terkadang padam memanjang
sampai ke jalan pedesaan keliaranmu disambut orang separuh kota

kejujuran
duduk nyaman di pintu terbuka, acuh, peduli dan nyali telah dilewatkan

Mengapa
kau nyuruh turun ke jalan

rakyat
gaduh dibuat proposal binal

Rasa
anyir orang orang miskin jadi peta

dinding
kusam luput menjadi pelajaran, 

itu
pelarian abadi gelandangan kaburan

Ya, tak
layak kesal berjilid-jilid

tidak
juga sesal berlembar lembar

Sini,
kucium keningmu hai kawan sefana!

setidaknya
iman berbusa bisa jadi kwas

melukis
si sepi dan memahat si bengal

walau
ternyata kamu menolak ditangkap

Ya sudah
makan tuh virus corona!

kau
maki-maki penipu di media sosial 

yang
sembunyi di mimbar tablig akbar  

di majlis
ulama kandungan perut biawak

“Selamat
meminum air kebebasan”

kataku
sambil menutup lobang biawak

(psikologi
Jung remang remang)

 

2

karena
langit tidak tutup, 

matahari
tetap mencorong 

jangan
bengong

banyu
langit juga tetap turun. 

 

Tepian Bandung,13.5.2020 




 

BARBIE YANG DIBAKAR

 

: anak – anak belajar merdeka

 

Barbie,
boneka yang dibuat pemburu

Merah,
orange, kuning pucat kulitmu

membuka
ingatan pada lobang jebakan, 

tipuan
kota peradaban negeri rusuh

Dalam
balutan kabut hembusan debu 

Bayang
tiada arti – di larik lagu apapun,

selain
senyum, mata terbuka, hati tajam

memandang
alam, lekuk lembah, gunung menjulang, berbaris dan berpindahnya tak
terlihat. 

Yang
besar itu suka senyap

Terasa
pohon bergelombang, 

ombak bergerak
atas kepala

Saat
melintas jembatan batas desa

ikan
meloncat dari mataku yang lelah

menembus
ketenangan arus sungai 

 

Barbie,
boneka bagai peti pandora

membuat
anak-anak lamur matanya 

Di negeri
para mullah dilenyapkan, 

sebab
godaannya terlampau keras, 

dikendalikan
Ya’juj – Ma’juj dari gelap

Tak mau
menyerah, 

malamnya
dibakar, 

abunya
ditaburkan ke truk truk sampah 

Merdekalah
putri putriku, 

dunia
mainnya dibalut cahaya

Rumah
nyawanya manusia, 

tiada
berhala dalam khayalan,

bintang
di atas puncak pebukitan, 

tanda
patokan peziarah makam

bintang
di tengah lautan, 

panduan
nelayan pulang.

Tolong
hentikan kelewat banyak mainan

Nilai
benda dari leluhur kita adakan, bujukan si pongah telah meremang

Anak-anak,
o taman bunga di rumah, jangan rusak masa depannya

Biarkan
mandiri di garis ciptaannya,

Asyik
dalam nyanyian alamnya.

 

Padalarang, Sept.2022 




 

SANGATLAH SAYANG TANAH AIR

 

Sangatlah
megah musim mangga 

di
pancaroba negeri tropika, 

panas –
sejuk – hangat saling mendekap, hamil dalam keagungan senyuman Tuhan;
“nikmat manakah bisa kau sembunyikan?”

Daunnya
telinga serangga, 

kakinya
sayap burung kakak tua, 

jendela
bambunya gerbang sukacita seniman angklung – arumba

Dunia
salahsatu impian utama, 

helaran
para pemusik taman kota

haus pujian,
tepuk tangan atas kepala,

dan
penyair layar maya mengencani kemerdekaan yang dipenjarakan raja raja gay
baheula, tak puas mengawini ibu kandungnya

Syair
syair beterbangan searah lintasan burung migran

Musnah
meninggalkan limbah sejarah, 

pernah
sia sia lalu kembali berjaya

Adapun
harapan semu tuan Gates bebaskan digital – suntikan dana sosial cipratan
milyaran mesin hoax bagi korban keadaan

Tapi itu
bayangan 

di warga
negeri lepasan Belanda,

kampung
babakan enol tujuh belas, menolak bala celaka dua belas

Mampirlah
ke lembah Anai, 

air
terjun akan menghiburmu 

sepanjang
betah istirah, 

larutkan
– hapuskan lara sengsara. 

Hidup itu
tanaman, 

bunyi
tifa terindah dari hutan larangan,

sangatlah
damai dipejaman mata

 

Sangatlah
sayang pepaya baru matang, disambar lelawa, 

tak tahu
belajar pertama melayani manusia dan burung kepodang

Keduanya
belajar mengenal kematian 

di
kunyahan orang

Ketiganya
mengajarkan meninggalkan kemanisan

Yang muda
biarlah jadi teman di sayur asam

—
Ambung, lalu kecuplah aku di pusaran udara fana!

 

sangatlah
riskan berlayar malam tanpa arahan bintang

Setali
tiga uang,

hiburan
profan melenakan, 

dangdut
dibiarkan sebebas bebasnya,

lupa
moyang susah payah bangun peradaban

Lompat
dari kepingan kepalsuan 

–
menyusun seni keluhuran;

“Jangan
bilang aku berjasa, itu tiketku dari wali jawara semua peperangan, 

jago
hinakan amarah

Sejarah
dunia merah putih hitam kuning dimulai darinya, salamlah sayang!

 

sangatlah
indah air mata senjakala,

buliran
jingga

surya
jatuh kasmaran ke pejuang 

yang
merangkak di gelap, 

“kau
bagian dari cahaya”

Kilauan
di terang jiwa 

sangatlah
damba

 

Bandung,1 Okt.2022 



 

 

BURUNG â€“ BURUNG ZUHUD

 

Tahun ke
tahun

cuaca
negeriku tak menentu, 

panas
kemaraunya menjepit nyali hidup, 

kering
siangnya dengan seutas pilu, malam kerontangnya berlumuran debu, langkah
terbendung – dingin mengurung,

– biru
sekujur tubuh, 

Burung
burung, ya suaranya menjauh, 

Larik
larik doa dimandikan rintik hujan,

 

Doa indah
dibungkus seribu daun, 

minta
datang si Hud Hud ratu burung

untuk mohon
izin pada Daud, 

seratus
mazmurnya digubah kidung 

agar
sayap lembutnya sarat rindu, mengusap rambutku, 

cericit
merdunya buyarkan rasa canggung, 

Kau tahu,
abad ini dirundung bingung. 

Tuhan,
aku malu, 

gugup
ditertawakan waktu.

 

Di tahun
ini, 

hujan tak
berhenti,

tapi hawa
panas tak beranjak pergi, 

dinginnya
sulit bersimpati kepada yang miskin sekalipun,

membuat
burung burung bersimpuh di hutan hutan jauh, 

di gunung
gunung berkabut para hyang, di rumah batu dewa leluhur, 

namun
tiada sahut menyahut

Sayapnya
semua menutup.

O
Malaikat petugas mengurus hewan, kemana kamu, 

 

Tahun
ganti tahun,

umur
bagai telur diujung tanduk, 

Cita-cita
serupa burung jalak di punggung kerbau, 

mengharap
lama membajak sawah, 

Harap
cemas kutendang ke bianglala, 

“Aku
butuh kepastian, bukan utopia bertopikan koboy Texas!”

Burung
burung kurindu,

belum jua
beri lagu.

Tapi,
terdengar sayup 

kepak
kepak sayap mendekat, 

o burung
burung sehat, perkasa mengantarkan belalang pada burung burung yang sayapnya
patah, 

yang
sendirian mengurung di balik daun, 

yang
berkumpul, lemah, dan terkatung.

“Jangan
murung, nyanyilah kalian hai bangsaku! Ini pakan dari Yang Maha Kuat,

Jamur
dahan disulapnya jadi makanan lezat”.

 

“Zuhud,
zuhud kalian hai burung bersayap putih coklat, 

sayapmu akan
sekuning emas secemerlang perak selentur lumut batu”, teriak Malaikat
pengatur hujan.

Negriku
warisan leluhur agung, 

Malam
malamnya ada kecapi degung,

Gamelannya
dari logam MahaCinta.

 

Bukit Berlian, 7 Oktober 2022 



 

 

MEMBACA ASAP HUTAN

 

1. Riau Negeri Gambut

 

Hutan itu
katamu paru-paru bumi 

sambil
menghisap cerutu luar negeri

menghembuskan
asap kelu lupa anak isteri

Matahari
sebagai ayah dianggap sepi

 

Hutan
katamu lumbung bekal hidup

peta
rimba penuh tanda merah dan biru 

contrengan
hitam kalender politikus busuk

Orang
rakus takut miskin menjadi kalut

 

Hutan
Riau warisan para leluhur 

negeri
gambut pantang tersentuh api

tak boleh
disentuh perusuh 

tak
berkah diinjak penyinyir

Semua
hidup dan berumah dari kayu

Kapan
mengerti asal mula bumi

api
tersembunyi sulit dipadamkannya

gambut
istana rahasianya

”
Hujan besar jalan surga kami.” bisiknya lagi,

”
Ya, jangan beri api lagi tanah leluhur! 

Kami
semua disini adalah anak api.”

 

( ada
yang menyebut hutan dan tanah Riau itu keponakannya api; batu digoreskan ke
tanah

menyalalah
api dengan berahi sampai tembus

ke
kerajaan gambut ).

 

2. Riau Hutannya Kayu Kertas

 

Riau
hutannya banyak

matahari
lewat begitu dekat

 

Di bawah
akasia 

Di kebun
sawit berminyak mantan preman

kembali
preman 

menjadi
calo tanah mengandung bara 

Hutan
sisa pun musnah

Uang
melimpah sampai sudut-sudut rumah 

 

Memusnahkan
hutan matikan jiwa

Tahun ke
tahun pejabatnya gila berpesta

Erofa
tujuan wisata bawa uang suapan hutan

Dikepung
asap

Riau
makan asap duka hutan

 

Hutan
adalah ibu 

Tanahnya
memberi makan dan minum

Airnya
menjadi darah tumpuan hidup

Suara
burung yang dibagikan angin itu lagu

Hutan
marwah melahirkan sejarah

Leluhur
yang bestari mewariskan 

 

3. Perkebunan Sawit

 

Begitu
berhenti dari pengangguran

merubah
diri sebagai orang-orangan 

dipeluk
agama, dicium harum surga buatan

tak mampu
menepiskan dingin dan panas

lembab
membatu di dinding-dinding kota 

di
rumah-rumah peladang banjar harian

Siapa
saja memasuki hutan Riau 

hilang
ingatan hidup di pulau

Keanekaragaman
hayati 

musuh
sengit

 

4. Riau Berkalang Asap

 

Riau
kerajaan asap

Riau
korban asap

Hutan
rusak rakyat belangsak

 

Burung
malam kehilangan sarang

Meratap
menangis di Malaysia

Airmata
tumpah bawah bulan purnama

Asa
ditelan asap

Jumpalitan
seperti ikan dalam keramba

 

5. Melayu Bisu

 

Menghirup
asap

Melayu
bisu

Menulis
sajak-sajak bau asap

Melayu
bisu

Syair-syair
suluk Raja Ali Haji menetap di sunyi

Jalan ke
hutan dipagar pelaku makar, o mati

Senja ke
pagi telah penuh penghianat negeri

Siapa
yang dihidupkan hatinya saat bermimpi

 

Hutan itu
hulu

Tempat
warisan leluhur bermula

Tempat
air dan udara segar

Tak
dijaga tak dijungjung rimbunnya

Melayu
bisu

 

2019. Okt.30



 

 

Tentang Penulis

 

Jang Sukmanbrata alias
Satyariga Sukmanbrata, menulis puisi sejak masa SD. Sajaknya cenderung lebih
dewasa ketimbang umurnya, Sewaktu SMA tahun 1980-an beberapa sajaknya banyak
dimuat di media cetak dewasa seperti di Koran Harian Berita Nasional/Bernas,
koran Masa Kini, Tabloid Eksponen Yogyakarta. Selain itu,
sajaknya dimuat di Buku Antologi Puisi Penyair Muda Bandung terbitan KPB tahun1982,
Majalah Yang Muda terbitan Grup Karisma-Masjid Salman ITB. Karya tulis
ulasan senirupanya perihal Alm pelukis Ahmad Sadali dimuat Tabloid Tandem
terbitan Centre Cultural France/CCF Bandung; 1986, Pemandu Redaksi
Majalah Cakrawala Kecil; Media Warta Antar-Anak binaan Yayasan Anak
Merdeka; 1988 – 1992, artikel tentang Kreativitas Anak dalam Menggambar di
Tabloid BITA-YKAI, artikel resumi hasil penelitian; Potret Anak Jalanan
Kota Kembang Bandung, Child Labour Corner bulletin YKAI dan versi English-nya
di Newsletter Childhope-Asia Facific yang berkantor di Manila. Karya
proyek sosial pendidikan alternatifnya meraih penghargaan dari Childhope
Asia
dan Childhope International Foundation, dari Unesco France tahun
1992, Unicef tahun 1994, dari Yayasan SAMIN untuk kerja pendokumentasi program
penanganan pekerja anak, dari Woman Internasional Club/WIC, Rotary Club
Bandung.

 

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In