MENGUNYAH BINTANG
I
bintang
tak lagi bening
cakrawala
menenun kain
bentangannya
di mata kiri
kukhawatirkan
di malam sepi
pengemis
tanpa sebungkus nasi
kata kata
hanya barisan prajurit puisi tak menjelmakan keadaan lebih baik
senyuman
tak lebih manis
tawanan
kelaparan bukanlah wabah;
“Simpan
dalam diam, kawan!”
corona
senang berpesta saat lengah jejak kebodohan pikiran menjadikan ular besar di
gorong gorong kota,
kekesalan
jadi kolam renang anak – anak pemulung limbah
oh
kasihan si tulang si opa
bintang
tak kunjung datang,
hujan
menjamunya di awan tebal
II
Kita
merajut kemiskinan di laju detik mengurainya dalam pelenyapan diri
filsafat
tanpa akar digadang-gadang – serupa biji kopi terbaik buangan luwak
dipungut
dari tunggul kayu rapuh,
di rumpun
bambu diambang punah
begitu
bintang tak lagi terang
ketakutan
jika prosa berubah sajak
rasa
kasih digadai ke si gila hormat
kemurnian
puisi dibubuhi esai
Bintang
tak lupa bening
Sorot
mata purba muncul dari gua garba;
“Berikan
hati orang – orang bernyali singa,
kami tak
butuh karcis tanda miskin ;
kami
putra Ramadan,
anak
Muharam,
putri
kandung Nisfu Sya’ban
dan anak
buah Pemilik Zaman”
Bintang
belumlah terang
jalan ke
pertanian hari tua membentang;
sedikit
sabar menunggu isyarat Tuhan
yang
menjelma di segala keadaan.
III
bintang
di matamu pun menyala;
biarkan
wabah jadi novel sejarah
desa kita
nyawa indah bersama;
“Raihlah
bintang yuk sebelum mulut malam melahap kencang”
Bintang
itu kaki kita yang bercahaya,
abad
silam ulama mengkarantina;
“Banyaklah
baca buku di taman, kemerdekaan adalah ombak lautan, rumput liat di celah celah
tanah kota,
dan jalan
jalan desa.”
Menyentuhnya,
atau menggunakan
Padalarang, 22 Mei2020-Maret 2022
SAJAK LAHIR SEPERTI KANAK
Ini desir
hati mengantarkan puisi
Kata kata
dari hening tembus langit
Anak
burung mencari pakan sendiri
Ini
denyut jantung meniupkan kidung
Selaksa
nafsu dibatas dikurung
Puisi
adalah kuda dipandu
Kabut
lembut menurun
sehelai
sayap
seliar
asap hutan
suhunan
rumah
jiwa
merah kembara
sajak
membuka taman
Anak-anak
itulah taman bunga dunia
Kejujurannya,
suara Tuhan di benak.
Bukit
Padalarang, 21-22 Mar.2020
KONTEMPLASI AKHIR TAHUN
masih
hujan gerimis
menyapa
trotoar sepi
tetesnya
ke ulu hati
laki-laki
itu meringis
demontrasi
jadi puisi.
ya apatah
refleksi
masih
duduk sendiri
menyebut
nama sunyi
waktu oh
bergigi taring
lagumu
lelap di ranting
dingin di
ujung tahun
menyuruh
buka buku
jarinya
selembut kabut
pijatan
sesegar embun
cermin
baru kau cium
si kontemplasi
datang
matanya
serupa elang
melayang
atas kenangan
ia kawan
di jalan berpulang
ujung
tahun ini catatan rantau panjang
pesta
ayam bakar
meskipun
tak suka jiwa kita dibakar
api
unggun sudah cukup temani malam
peluk
lalu lepas si masa silam
dekap dan
bawa si masa kini
ke depan
Bukit
Berlian, 19Desember2021
TEMBANG
LARON-LARON
Malam tak
berhitung
kapan dia
menanggalkan selimut gelapnya
Begitu
pun siang tak mengabarkan memasang lampu beningnya
Malam
penuh cahya meliput seekor laron
dari
kebun bunga,
mampir di
rumah seorang petani
Bertemu
dengan tokek bambu
Menatap
penuh kasihan,
”
Laron kau makhluk tanah yang bisa punah dimakan atau terinjak “
:”Ya
aku laron menginginkan hangat cahaya, namaku terkenal menjadi tembang,
lambang
perjalanan menuju Tuhan.
Rela diri
mati berkorban demi cahya”
Tokek
tersenyum,
Remang di
tiang bambu hitam
titian
sunyi memuji Tuhan
mengingatkan
desir angin gunung akan datang
mata
sipitnya mengerling,
”
Laron kau bisa jatuh terpancing air “
”
mau alam, aku ada untuk cahaya dan kolam”
Sebaris
laron berduyun dari semak rimbun
Lagu
cinta perkasa dari sayap tipis lembut
jatuh di
daun, sebagian mengabur di sela jendela
Jalan ke
bale kabuyutan masih berkabut
Satelit
Pentagon berputar bingung
Cicak,
tokek bersiap-siap pesta laron
Laron
tahu
tak
pernah murung, oh malah beruntung
Lahir dan
mati jelas terhitung
Persembahan
agung
makhluk
lemah rela menyerah pada pemburu
Selamat
datang laron-laron keluargaku
hindari
asap
disitu
pekat jiwa
seuntai
doa
terbang
atas kenangan
mekar
tumbuh ylang ylang
Kabuyutan
Rajamandala, 4Juli2019
JEMBATAN DI TANAH RAMPASAN
jembatan
lengang
remang di
lorong panjang
ikuti
sinar
1_
dimatamu
bulan berpesta
cahaya
keluar masuk rumah
menyisakan
hangatnya pelukan
angin
pemberontakan melucuti duka
tiada
kusesali waktu o lajunya sempurna, menjadi panglima perang di tengah dada
2_
semua
rencana jadi layar terpanjang
tak
mungkin bebas dari bujukan kota
tak lepas
dari kerinduan ke desa tenang
Ini malam
tak bertepuk tangan
gemanya
saja tertinggal di besi jembatan,
langkah
langkah itu ih langkah kesepian,
kalian
sudah rampas tanah moyang; menyusun bata di atas kuburan ibu bapa,
kecelakaan
dari karma menunggu disana
tak
mungkin aku dapat menghibur selama udara cinta, udara kebencian terpisah lorong
jembatan
jalan
pintas kota cemas
Saya
minta kau tak lekas bergegas mari bersama mengambil tanah hak kita
jembatan
remang
jalan
para penyayang
bebas hai
pejuang!
Bukit Berlian Padalarang, Feb.2022
SYAIR MAWAR MERAH PUTIH 1
kuhembuskan
cintaku padamu
saat
tidur
suara
angin kebun bertingkah
di
daun,
aliran
cinta, oh belenggu setan dungu beribu abad lalu, kini tak terhitung, menduduki
perkara senyap,
tipu
waktu – menyaru lumpur debu
lepas
dari LGBT Namdruz
Terkurung
saat mesiah menyerbu, bait syair penyair terkutuk membisu
__ adakah
ruang untuk meloncat panjang dalam alunan air sungai pegunungan?
di bulan
suci Muharam aku terjaga,
kerap
pandangi dua tangkai bunga,
merah
kelopaknya dikucur darah,
putih
kelopaknya celupan kesucian utusan Tuhan
Mengutuk
sepanjang peradaban, diluar sembahyang, sepanjang ziarah
lalu
menangisi penghulu pahlawan,
kutiupkan
cintaku, dengkurmu o bara
mata
leluhur agung semakin dekat,
wejangannya
lewat kawan lama, jumpa tak terduga; ia kupas kulit dunia;
ada yang
baru; licik – simpan dendam
Kutarik
cintaku demi tanah – hutan,
disimpan
sebagai tenaga cadangan
Hai
pengkhianat mampuslah kalian!
__
masihkah kekelaman disebut gemilang di abad cahaya berlarian?
Bukit Berlian, 16Agustus2022
BALADA SEMI SANG MAHDI
sehari
aku tak makan, lapar dibunuh, hasrat dilepas di sungai kaki gunung
kadang
makan sekali, talas, ubi
dan
beragam sayuran parahyangan,
lalu
masuk ke dasar perut berombak
menyatu
di arus sungai darah
Belajar
dari Daud kepungan musuh, puncak pengorbanannya Muhammad, dan sunyinya sang
Mahdi yang hidup sendirian di balik pintu dunia;
sang
Pemegang mandat Tuhan
di masa
kini – zaman penghabisan, duduk di puncak gunung berkabut.
Datanglah,
datang! aku siap tempur!
Matahari
belum puas pada panasnya
Langit
masih menurunkan cahaya
Aku belum
mampu mempersembahkan puisi indah pada pemilik zaman
Telanjang
sudah di pusaran sungai purba, di kilauan batu-batu kwarsa
Ketika
pulang, belukar merebah,
selama
senyap hinggap, ia bertanya; kapan bisa ke kampung 12 bintang
Ah
keinginan – ilalang penghalang pandangan tak terasa dimanjakan,
tapi
menolak di lalui cacing kuburan:
“Keluarlah
dari dunia ini, cari Tuhan lain. Kalau ada, potong telingaku!”
Semata
kasih Tuhan diperjuangkan
Datanglah,
datang! Aku hunus kujang
Jarak
tipis kegagalan – keberhasilan hidup tak menunggu kedatangannya, oh sedih, bila
kita tahu dia menanti, kita merapihkan dunia,
si jahat
tertawa diatas derita,
si bodoh
leluasa berkata, fana terluka
Pohon
akasia, cemara dan ara bersama setan membangun istana
Yahuda si
pengiri bergumam;
“Kelak
kejayaan Yusuf akan pudar. Lihatlah keturunanku akan berkuasa”
Cinta
Zulaikha membunuh asmaranya, melupakan asal mulanya
Pesta
dalam kelengahan
Di sudut
kota, lelaki tua berurai airmata, “Aku serahkan diriku pada kampung
halaman ketiadaan”.
Datanglah,
datang! aku siapkan kuda
Jumawanya
raja kegelapan
bulan
dibaginya sebelas bagian
“Tuhan
pencipta, aku datang!”
Mata
satunya buta pada kebajikan
Perang
terbentang, nuklir menghilang
Balik ke
zaman pedang
Anak
berlarian di hujan, “ya kami tiba”
Pemudanya
menghindar reruntuhan
mencari
Dzulfiqar yang dijanjikan,
“Ya
singa Tuhan, kami siap di depan!”
Datanglah,
datang! Aku siap perang
Bukit Padalarang, 30Mei2022
LANGIT KAN TIDAK TUTUP?
1
langit
kan tidak tutup
awan
putih masih berarak
awan
hitam suka berkejaran
Tak bijak
mengurung terus di kamar
tataplah
sebentar, hirup mawar mekar
mendengar
yang lapar di kampung urban
gelisahmu
seperti tetes hujan di mata
cermin
yang melukiskan keadaan alam
Kantormu,
mallmu, kedai kopi hiburanmu
di ruang
para pemuja ragam berhala tua lampu lampu kotanya terkadang padam memanjang
sampai ke jalan pedesaan keliaranmu disambut orang separuh kota
kejujuran
duduk nyaman di pintu terbuka, acuh, peduli dan nyali telah dilewatkan
Mengapa
kau nyuruh turun ke jalan
rakyat
gaduh dibuat proposal binal
Rasa
anyir orang orang miskin jadi peta
dinding
kusam luput menjadi pelajaran,
itu
pelarian abadi gelandangan kaburan
Ya, tak
layak kesal berjilid-jilid
tidak
juga sesal berlembar lembar
Sini,
kucium keningmu hai kawan sefana!
setidaknya
iman berbusa bisa jadi kwas
melukis
si sepi dan memahat si bengal
walau
ternyata kamu menolak ditangkap
Ya sudah
makan tuh virus corona!
kau
maki-maki penipu di media sosial
yang
sembunyi di mimbar tablig akbar
di majlis
ulama kandungan perut biawak
“Selamat
meminum air kebebasan”
kataku
sambil menutup lobang biawak
(psikologi
Jung remang remang)
2
karena
langit tidak tutup,
matahari
tetap mencorong
jangan
bengong
banyu
langit juga tetap turun.
Tepian Bandung,13.5.2020
BARBIE YANG DIBAKAR
: anak – anak belajar merdeka
Barbie,
boneka yang dibuat pemburu
Merah,
orange, kuning pucat kulitmu
membuka
ingatan pada lobang jebakan,
tipuan
kota peradaban negeri rusuh
Dalam
balutan kabut hembusan debu
Bayang
tiada arti – di larik lagu apapun,
selain
senyum, mata terbuka, hati tajam
memandang
alam, lekuk lembah, gunung menjulang, berbaris dan berpindahnya tak
terlihat.
Yang
besar itu suka senyap
Terasa
pohon bergelombang,
ombak bergerak
atas kepala
Saat
melintas jembatan batas desa
ikan
meloncat dari mataku yang lelah
menembus
ketenangan arus sungai
Barbie,
boneka bagai peti pandora
membuat
anak-anak lamur matanya
Di negeri
para mullah dilenyapkan,
sebab
godaannya terlampau keras,
dikendalikan
Ya’juj – Ma’juj dari gelap
Tak mau
menyerah,
malamnya
dibakar,
abunya
ditaburkan ke truk truk sampah
Merdekalah
putri putriku,
dunia
mainnya dibalut cahaya
Rumah
nyawanya manusia,
tiada
berhala dalam khayalan,
bintang
di atas puncak pebukitan,
tanda
patokan peziarah makam
bintang
di tengah lautan,
panduan
nelayan pulang.
Tolong
hentikan kelewat banyak mainan
Nilai
benda dari leluhur kita adakan, bujukan si pongah telah meremang
Anak-anak,
o taman bunga di rumah, jangan rusak masa depannya
Biarkan
mandiri di garis ciptaannya,
Asyik
dalam nyanyian alamnya.
Padalarang, Sept.2022
SANGATLAH SAYANG TANAH AIR
Sangatlah
megah musim mangga
di
pancaroba negeri tropika,
panas –
sejuk – hangat saling mendekap, hamil dalam keagungan senyuman Tuhan;
“nikmat manakah bisa kau sembunyikan?”
Daunnya
telinga serangga,
kakinya
sayap burung kakak tua,
jendela
bambunya gerbang sukacita seniman angklung – arumba
Dunia
salahsatu impian utama,
helaran
para pemusik taman kota
haus pujian,
tepuk tangan atas kepala,
dan
penyair layar maya mengencani kemerdekaan yang dipenjarakan raja raja gay
baheula, tak puas mengawini ibu kandungnya
Syair
syair beterbangan searah lintasan burung migran
Musnah
meninggalkan limbah sejarah,
pernah
sia sia lalu kembali berjaya
Adapun
harapan semu tuan Gates bebaskan digital – suntikan dana sosial cipratan
milyaran mesin hoax bagi korban keadaan
Tapi itu
bayangan
di warga
negeri lepasan Belanda,
kampung
babakan enol tujuh belas, menolak bala celaka dua belas
Mampirlah
ke lembah Anai,
air
terjun akan menghiburmu
sepanjang
betah istirah,
larutkan
– hapuskan lara sengsara.
Hidup itu
tanaman,
bunyi
tifa terindah dari hutan larangan,
sangatlah
damai dipejaman mata
Sangatlah
sayang pepaya baru matang, disambar lelawa,
tak tahu
belajar pertama melayani manusia dan burung kepodang
Keduanya
belajar mengenal kematian
di
kunyahan orang
Ketiganya
mengajarkan meninggalkan kemanisan
Yang muda
biarlah jadi teman di sayur asam
—
Ambung, lalu kecuplah aku di pusaran udara fana!
sangatlah
riskan berlayar malam tanpa arahan bintang
Setali
tiga uang,
hiburan
profan melenakan,
dangdut
dibiarkan sebebas bebasnya,
lupa
moyang susah payah bangun peradaban
Lompat
dari kepingan kepalsuan
–
menyusun seni keluhuran;
“Jangan
bilang aku berjasa, itu tiketku dari wali jawara semua peperangan,
jago
hinakan amarah
Sejarah
dunia merah putih hitam kuning dimulai darinya, salamlah sayang!
sangatlah
indah air mata senjakala,
buliran
jingga
surya
jatuh kasmaran ke pejuang
yang
merangkak di gelap,
“kau
bagian dari cahaya”
Kilauan
di terang jiwa
sangatlah
damba
Bandung,1 Okt.2022
BURUNG – BURUNG ZUHUD
Tahun ke
tahun
cuaca
negeriku tak menentu,
panas
kemaraunya menjepit nyali hidup,
kering
siangnya dengan seutas pilu, malam kerontangnya berlumuran debu, langkah
terbendung – dingin mengurung,
– biru
sekujur tubuh,
Burung
burung, ya suaranya menjauh,
Larik
larik doa dimandikan rintik hujan,
Doa indah
dibungkus seribu daun,
minta
datang si Hud Hud ratu burung
untuk mohon
izin pada Daud,
seratus
mazmurnya digubah kidung
agar
sayap lembutnya sarat rindu, mengusap rambutku,
cericit
merdunya buyarkan rasa canggung,
Kau tahu,
abad ini dirundung bingung.
Tuhan,
aku malu,
gugup
ditertawakan waktu.
Di tahun
ini,
hujan tak
berhenti,
tapi hawa
panas tak beranjak pergi,
dinginnya
sulit bersimpati kepada yang miskin sekalipun,
membuat
burung burung bersimpuh di hutan hutan jauh,
di gunung
gunung berkabut para hyang, di rumah batu dewa leluhur,
namun
tiada sahut menyahut
Sayapnya
semua menutup.
O
Malaikat petugas mengurus hewan, kemana kamu,
Tahun
ganti tahun,
umur
bagai telur diujung tanduk,
Cita-cita
serupa burung jalak di punggung kerbau,
mengharap
lama membajak sawah,
Harap
cemas kutendang ke bianglala,
“Aku
butuh kepastian, bukan utopia bertopikan koboy Texas!”
Burung
burung kurindu,
belum jua
beri lagu.
Tapi,
terdengar sayup
kepak
kepak sayap mendekat,
o burung
burung sehat, perkasa mengantarkan belalang pada burung burung yang sayapnya
patah,
yang
sendirian mengurung di balik daun,
yang
berkumpul, lemah, dan terkatung.
“Jangan
murung, nyanyilah kalian hai bangsaku! Ini pakan dari Yang Maha Kuat,
Jamur
dahan disulapnya jadi makanan lezat”.
“Zuhud,
zuhud kalian hai burung bersayap putih coklat,
sayapmu akan
sekuning emas secemerlang perak selentur lumut batu”, teriak Malaikat
pengatur hujan.
Negriku
warisan leluhur agung,
Malam
malamnya ada kecapi degung,
Gamelannya
dari logam MahaCinta.
Bukit Berlian, 7 Oktober 2022
MEMBACA ASAP HUTAN
1. Riau Negeri Gambut
Hutan itu
katamu paru-paru bumi
sambil
menghisap cerutu luar negeri
menghembuskan
asap kelu lupa anak isteri
Matahari
sebagai ayah dianggap sepi
Hutan
katamu lumbung bekal hidup
peta
rimba penuh tanda merah dan biru
contrengan
hitam kalender politikus busuk
Orang
rakus takut miskin menjadi kalut
Hutan
Riau warisan para leluhur
negeri
gambut pantang tersentuh api
tak boleh
disentuh perusuh
tak
berkah diinjak penyinyir
Semua
hidup dan berumah dari kayu
Kapan
mengerti asal mula bumi
api
tersembunyi sulit dipadamkannya
gambut
istana rahasianya
”
Hujan besar jalan surga kami.” bisiknya lagi,
”
Ya, jangan beri api lagi tanah leluhur!
Kami
semua disini adalah anak api.”
( ada
yang menyebut hutan dan tanah Riau itu keponakannya api; batu digoreskan ke
tanah
menyalalah
api dengan berahi sampai tembus
ke
kerajaan gambut ).
2. Riau Hutannya Kayu Kertas
Riau
hutannya banyak
matahari
lewat begitu dekat
Di bawah
akasia
Di kebun
sawit berminyak mantan preman
kembali
preman
menjadi
calo tanah mengandung bara
Hutan
sisa pun musnah
Uang
melimpah sampai sudut-sudut rumah
Memusnahkan
hutan matikan jiwa
Tahun ke
tahun pejabatnya gila berpesta
Erofa
tujuan wisata bawa uang suapan hutan
Dikepung
asap
Riau
makan asap duka hutan
Hutan
adalah ibu
Tanahnya
memberi makan dan minum
Airnya
menjadi darah tumpuan hidup
Suara
burung yang dibagikan angin itu lagu
Hutan
marwah melahirkan sejarah
Leluhur
yang bestari mewariskan
3. Perkebunan Sawit
Begitu
berhenti dari pengangguran
merubah
diri sebagai orang-orangan
dipeluk
agama, dicium harum surga buatan
tak mampu
menepiskan dingin dan panas
lembab
membatu di dinding-dinding kota
di
rumah-rumah peladang banjar harian
Siapa
saja memasuki hutan Riau
hilang
ingatan hidup di pulau
Keanekaragaman
hayati
musuh
sengit
4. Riau Berkalang Asap
Riau
kerajaan asap
Riau
korban asap
Hutan
rusak rakyat belangsak
Burung
malam kehilangan sarang
Meratap
menangis di Malaysia
Airmata
tumpah bawah bulan purnama
Asa
ditelan asap
Jumpalitan
seperti ikan dalam keramba
5. Melayu Bisu
Menghirup
asap
Melayu
bisu
Menulis
sajak-sajak bau asap
Melayu
bisu
Syair-syair
suluk Raja Ali Haji menetap di sunyi
Jalan ke
hutan dipagar pelaku makar, o mati
Senja ke
pagi telah penuh penghianat negeri
Siapa
yang dihidupkan hatinya saat bermimpi
Hutan itu
hulu
Tempat
warisan leluhur bermula
Tempat
air dan udara segar
Tak
dijaga tak dijungjung rimbunnya
Melayu
bisu
2019. Okt.30
Tentang Penulis
Jang Sukmanbrata alias
Satyariga Sukmanbrata, menulis puisi sejak masa SD. Sajaknya cenderung lebih
dewasa ketimbang umurnya, Sewaktu SMA tahun 1980-an beberapa sajaknya banyak
dimuat di media cetak dewasa seperti di Koran Harian Berita Nasional/Bernas,
koran Masa Kini, Tabloid Eksponen Yogyakarta. Selain itu,
sajaknya dimuat di Buku Antologi Puisi Penyair Muda Bandung terbitan KPB tahun1982,
Majalah Yang Muda terbitan Grup Karisma-Masjid Salman ITB. Karya tulis
ulasan senirupanya perihal Alm pelukis Ahmad Sadali dimuat Tabloid Tandem
terbitan Centre Cultural France/CCF Bandung; 1986, Pemandu Redaksi
Majalah Cakrawala Kecil; Media Warta Antar-Anak binaan Yayasan Anak
Merdeka; 1988 – 1992, artikel tentang Kreativitas Anak dalam Menggambar di
Tabloid BITA-YKAI, artikel resumi hasil penelitian; Potret Anak Jalanan
Kota Kembang Bandung, Child Labour Corner bulletin YKAI dan versi English-nya
di Newsletter Childhope-Asia Facific yang berkantor di Manila. Karya
proyek sosial pendidikan alternatifnya meraih penghargaan dari Childhope
Asia dan Childhope International Foundation, dari Unesco France tahun
1992, Unicef tahun 1994, dari Yayasan SAMIN untuk kerja pendokumentasi program
penanganan pekerja anak, dari Woman Internasional Club/WIC, Rotary Club
Bandung.