JIKA
Jika air danau
itu tinta
Apa dayaku
untuk menulis
Sementara seruling mengejar senyum
Bung Hatta
Harapan hanya tertangis
Pada embun daun yang tipis
Tak tertulis
Jika gunung
itu perkasa
Ia tetap tak
punya kuasa
Meskipun asap mengepul mencoreng
Meskipun gergaji tak jelas disuruh
siapa
Coba kita kembali ke hati danau
Menggosok hakikat surau
Jika air danau
itu tinta
Tak cukup
seorang untuk menulis
TAN MALAKA
Matamu melihat laut mergolak
Kata-katamu
memainkan gelombang
Matahari menarik
luku ke Barat
Dan badai
bergerak ke Timur
Engkau yang
menggali
Engkau yang
menabur
Tak setiap tanah
dan air menyiapkan lumpur
Engkau sunyi di
jalan sendiri
Karena pada
setiap kelokan
Seperti tafsir
tikungan tembok Tiongkok
Sedang tafsir
ada yang padat ada yang cair
Kami yang
seperti hidup di zaman yang lain
Siapa tahu butuh
catatan kaki untuk hari esok
HIDUP ATAU
HUTAN
Untuk Alfi
Setitik air
sebutir padi
Seutas sungai
selingkar danau
Buku mendesak
seperti angin daun bambu
Berlembar-lembar
mengiringi sayap
Kupu berkibar
menabur warna sejuta. Ini alam
Selalu ada
perjuangan selalu ada perlawanan.
Lihat, murai
menyambar ilalang, dan puyuh membelok-belok
Menghindari ular. Ada nasib tak terkejar,
Sehingga
sebagian hutang lunas terbayar
Selembar daun
seciprat lumpur
Seekor kelabang
seutas akar
Berkelebat dalam
renungan. Aku
Bergegas
mengejar larik yang lari
Tapi inilah
hidup, kawan! Ada
daging
Ada
tulang melintang menusuk-nusuk membikin
Bumi merintih memanggil
tebingnya yang
Menjulang. Pertanyaan
mengalir
Tak kunjung
selesai. Tak apa-apa
Tak usah
bagaimana, asalkan di mana-mana
Kita kembangkan
ruang-ruang, sampai
Sepi pun
mengerti sunyinya yang
Menyimpan
kilatan pedang
Dari sebuah kata
semoga, kita cari
Jejak kanvas
yang hilang
BERDIRI DI
SINI
Berdiri di sini,
di puncak ketinggian ini
Alam hanya
selembar
Bersujudlah
berbasah-basah
Maka engkau akan
berlayar
Ke dermaga di
ujung lamunan
Ujung kesetiaan
kepada diri
Kepada yang tak
terbayang sebelum kita berdiri
Berdiri di sini,
bukan hanya berdiri
Ada
yang mendesak lalu menghilang tanpa jejak
Mungkin hanya
bayang-bayang
Yang mau belajar
sembahyang
Hanya rindu,
yang tak hanya kata-kata dalam buku
Hanya cinta,
yang mengelus, dan menembus
Selain itu penat
Yang ditandai
habisnya keringat
Keringat yang
hangat menjemput tahun
Dan derap yang
melarang orang melamun
Mengasuh seluruh
sujud
Seluruh tegak
seluruh langkah
Betapa kekar dan
gagahnya badai
Telapak tumit
pantang tergadai
BERTEMU BUYA
HAMKA
Di antara
wajah-wajah yang ingin kemilau
Kabut bermain,
dan orang-orang gugup pun
Menabur
senyumnya di tepi-tepi jalan,
Atau di riuh
persimpangan, atau di tingkap
Orang jual
kerupuk, jajan, serta rumah makan.
Seperti ada ruh
yang mau ditaruh
Di sini atau ke
luas tanah yang jauh
“Para pengemudi tentunya harus hati-hati, jangan sampai
lengah
Atau tergoda.” Ucapan yang senada dengan ujar pejuang hak asasi
Padahal ia hanya
seorang pedagang telur
Mungkin ia
mengaji atau mengeja
Satu jiwa tak
bisa dibayar sejuta telur
Sedang telur,
sebutir pun tak boleh pecah
Orang di
sampingku yang berseragam abu-abu
Atau kelabu,
membuka koran,
Tanpa izinnya
aku ikut membaca halaman depan
Tentang
pengemban amanat
Yang turut
menjerumuskan hutan, lalu ia tersangkut ke pengadilan
Di tengah bumi
yang gembur
Aku tak bisa
menelan air liur
Untunglah aku
bertemu Buya Hamka
Pada sebuah
buku. Ia berkata
“Kursi-kursi
banyak. Dan orang yang ingin pun banyak
Tetapi kursiku
adalah buatanku sendiri.”
Aku mengusap
dada
Tiba-tiba terasa
senyumku nikmat. Pelan-pelan
Mengusap airmata,
mengusap daun-daun di balik dada
Tentang Penulis
D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang,
Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal,
nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura,
Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan
Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku
Airmata (1985), (5) Celurit Emas
(1986), (6) Derap-derap Tasbih
(1993), (7) Berlayar di Pamor Badik
(1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang
(1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku
Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu
(1999), (11) Kujilat Manis Empedu
(2003), (12) Cinta Ladang Sajadah
(2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan
beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam
dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara
pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis
Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA)
Brunai Darussalam (Maret 2002). Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron
mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa
kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember
2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan
dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron,
atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan
kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.