AIR MATA DALAM BALUTAN BAJU PENGANTIN
Perempuan itu mengenakan baju pengantin.
Hampir setiap malam, ia datang ke stasiun. Wajahnya terlihat cemas menunggu
seseorang turun dari kereta. Berjam-jam menunggu tak ada satu penumpang pun
yang turun lantas menyapanya. Saat kereta terakhir datang, ia pergi dari
stasiun. Ia selalu sendiri dan yang ditunggu tak pernah datang. Kuteguk minuman
yang sudah kubeli untuk menghilangkan rasa haus di tenggorokan. Sudah beberapa
hari ini aku mengamatinya. Wajahnya sendu. Mataya selalu sayu.
Perempuan itu mengenakan baju pengantin. Kali
ini, ia membawa sebuah tas kecil. Barangkali ia ingin pergi ke suatu tempat.
Sayangnya, setelah kereta terakhir datang, ia kembali pulang. Sendiri. Apakah
selama hidupnya akan terus seperti ini? Seorang kakek tua berjalan di depanku.
Dia melihatku sedang mengamati perempuan itu. Dia melirik ke arahku lantas
menghembuskan nafas panjang. “Apakah kakek tahu, siapa yang dia tunggu?”
tanyaku. Kakek itu hanya diam dan
berlalu.
Perempuan itu mengenakan baju pengantin.
Kereta terakhir sudah berlalu. Perempuan itu ingin beranjak. Aku memberanikan
diri mendekatinya. Kusapa dia. Dia memandangku dan tersenyum. Senyumnya
seketika mengunci langkahku. Wajahnya terlihat begitu manis dipandang dari
dekat. Ah, perasaan apa ini? Mengapa jantungku berdetak lebih cepat. Selama
ini, aku hanya melihatnya dari jarak jauh. Mulutku terkunci rapat sampai
akhirnya aku sadar dia telah berlalu. Sial, aku belum sempat menanyakan siapa
yang dia tunggu. Rasa penasaranku belum terjawab juga. Aku mengikutinya diam-diam.
Ia sampai di sebuah rumah besar dan mewah. Seorang anak kecil laki-laki
menyambutnya dengan gembira. Ia memeluk anak kecil itu dan kemudian masuk ke
dalam rumah. Kalau itu adalah anaknya, berarti dia telah bersuami, lantas
mengapa ia selalu mengenakan baju pengantin? Aku kembali pulang dengan rasa
penasaran yang masih menggelayut di pikiranku. Anehnya, senyumnya belum hilang
juga dari ingatanku. Tidak, aku tidak boleh menyukai perempuan yang sudah
bersuami.
Perempuan itu mengenakan baju pengantin. Aku
memesan minuman hangat di sebuah kafe dekat stasiun. Aku berjumpa dengan kakek
yang beberapa hari lalu kutemui. Aku mendekat ke arahnya. Kakek itu seakan
mengerti raut wajahku yang penuh pertanyaan. Dia menghembuskan nafas panjang dan mulai
bercerita. Kakek itu mengisahkan bahwa dulu ada seorang perempuan yang menikah
dengan seorang TNI. Beberapa jam setelah pernikahannya dilangsungkan, sang
laki-laki mendapat panggilan untuk menjaga keamanan di perbatasan yang saat itu
terjadi pemberontakan. Si perempuan akhirnya mengantar suaminya sampai stasiun
dengan masih mengenakan baju pengantin. Ada kabar mengatakan bahwa semua TNI
yang menjaga perbatasan tak akan pernah kembali. Mereka semua tewas dalam
pemberontakan. Si perempuan itu seakan tuli dengan berita yang sudah tersebar
luas itu. Setiap hari, dia selalu datang ke stasiun dengan tetap mengenakan
baju pengantin itu.
Tentang Penulis
Penulis bernama Refi Mariska. Ia adalah
seorang santri di Pesantren Mahasiswa An Najah sekaligus seorang mahasiswa di
UIN SAIZU Purwokerto. Ia aktif di beberapa komunitas kepenulisan, seperti
Pondok Pena, SKSP ( Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban). Bulan november
adalah bulan kelahirannya, tepatnya pada tangal 27 Tahun 2001. Hobinya adalah menulis
dan membaca. Ia sering mengikuti event-event kepenulisan dan
karya-karyanya sudah masuk di beberapa antologi.