Di
hadapan cermin lihat tubuhmu yang masih terbalut mukena, menjuntai menutupi awakmu.
Menutupi aib-aibmu. Tiba-tiba
kau lihat bayangan
sosok gadis muda di hadapanmu. Sosok itu ialah gadis pendosa
yang baru saja membuat kau gemetar saat berhadapan
dengan Kirana. Dengan gusar kau kunci pintu kamar, belingsatan, lalu terjerembap ke
lantai. Disergap ketakutan kau merangkak, gadis itu terus mengikutimu. Bersusah-payah kau menuju pesujudan dan
segera meraih tasbih. Sambil tergugu, kau memohon ampun atas
dosa-dosa gadis sialan itu.
***
Di kota ini tak ada suara jangkrik
apalagi tonggeret. Tak ada juga suara kendaraan berlalu lalang, maka subuh itu
amat tenang –setenang bulir-bulir embun pada
rerumputan yang lelap dicumbu dingin semalaman. Di kota ini banyak bunga
dengan kumbang yang mau punah, kota ini juga bukan gunung tapi ada banyak kabut dan tabun.
Perempuan setengah bermukena dan lelaki tua berkalungkan
sorban menenteng sajadah yang berayun
bersama angin, mereka menghambur
keluar dari pintu surau. Jamaah salat subuh itu makin hari makin sepi saja, tapi tak lebih sepi daripada
langkahmu. Orang-orang pulang salat subuh beriringan dengan keluarganya,
sedangkan kau, hanya berteman bayanganmu. Kau selalu salat di masjid sebab kau harus memimpin kajian ibu-ibu selepas salat, pun
tak ada sosok imam di rumahmu. Seseorang yang
pernah bergelar suami dalam hidupmu telah menalak kau bertahun-tahun silam, beberapa jam setelah ikrar pernikahan
kalian ucapkan, ya, itulah kenyataan paling pahit dalam hidupmu. Tapi pantas
kau terima.
Tak hanya karena tak ada imam, satu-satunya anak gadismu juga tak bisa dijadikan
makmum untuk berjamaah. Bukan karena telinganya yang sering tuli pada seruan azan, namun karena gadis kepala
batu itu tengah minggat dari rumah. Minggat sebagai aksi protes pada aturan dan perintahmu yang ia anggap
telah mengekangnya sebagai
anak muda. Protes karena kau terlalu sering pergi mengisi kajian ke majelis- majelis pengajian daripada
memerhatikannya. Protes karena hidup bersamamu dipenuhi aturan. Protes karena banyak pertanyaannya yang tak bisa kau jawab, sedangkan pertanyaan para jamaah kajianmu di
majelis-majelis itu tak satu pun kau biarkan tak menemui titik terang.
Anak gadismu, semakin
hari semakin matang. Kerling
matanya menyimpan kejelitaan. Rambut panjangnya indah terurai –barangkali terlalu indah buat ia rahasiakan, sampai tak mau menutupnya.
Belum lagi lekuk tubuhnya, tahun ke tahun membuatnya
kian ranum. Wajahnya yang memesona dengan senyum semanis madu. Ahai, gigi mutiara,
ditambah setitik lesung di pipi kanannya, alis tipis, juga bola matanya yang berkilauan sebening embun
pagi. Mengingat anak gadismu membuat sepi semakin memeluk hatimu.
Saban malam kau tunaikan qiyamul lail dengan khusyuk, memohon petunjuk pada Tuhan tentang bagaimana cara menjaga
titipan-Nya (anakmu semata wayang itu) Tuhan
langsung menanggapi permohonanmu. Dia getarkan hati putrimu! Sampai anak gadismu
itu mengambil keputusan untuk minggat
dari rumah. Sungguh, kau hamba yang
teramat Dia cintai, sampai Dia menguji ketabahanmu lagi. Tapi sekali lagi, itu pantas
kau terima.
Dalam surat yang ditinggalkan putrimu, katanya ia mau
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
di kepalanya, pertanyaan tentang apa itu cinta? Pertanyaan yang tak bisa kau jawab selain: cinta adalah bagaimana Tuhan mengasihi kita. Kau benar, tapi sayangnya bukan jawaban itu yang
putrimu inginkan. Kau telah kehabisan cara untuk
mendidik anak berkepala batu itu seorang diri. Namun, kepergiannya membuat jiwa keibuanmu meronta, kau berharap
anakmu mau pulang kembali dan menemani masa
tuamu.
Langkah sepimu berhenti di ambang pagar. Betapa terkejutnya
dirimu melihat putrimu sedang
menyiram bunga dengan wajah berseri, seolah tak pernah ada yang terjadi. Kau tepuk-tepuk pipi keriputmu,
berharap kau terbangun dari mimpi. Tapi ini sungguhan!
Putrimu telah pulang. Tergopoh-gopoh langkahmu menghampiri gadis itu dengan mata berlinang.
“Kirana, kau pulang, Nak?” katamu masih tak percaya sambil
menyentuh pipi putrimu. Kirana meraih tanganmu
dan mengecupnya.
“Aku sudah dapat apa
yang aku cari, Bu, tentu aku
pulang,” jawab Kirana tersipu, pipinya bersemu seperti kelopak
mawar, matanya bersinar seperti bintang dan senyumnya merekah
sempurna.
Kau meraba tempurung kepalamu, mengingat ia pergi untuk
mencari apa itu cinta, dan cinta
macam apa yang telah ia temukan? Belum sempat kau bertanya, Kirana memelukmu seraya mengucap permintaan maaf.
Semerbak wangi dari tubuh Kirana menyeruak
di hidungmu. Rasanya dulu kau begitu kenal dengan semerbak itu. Wangi bunga!
Sudut matamu melirik tanaman di halaman, masih belum
berbunga. Batinmu mengeluh, minyak wangi merek apa yang kau pakai,
Kirana? Wanginya mengundang sesosok
gadis dalam benakmu. Sekelebat bayangan hitam itu muncul pada sorot mata Kirana. Tubuhmu gemetar. Kau melangkah
mundur melepasakan pelukan. Sekali lagi kau
perhatikan, tak ada bunga di sekelilingmu. Namun, rupan-rupanya wajah Kirana yang berbunga-bunga! Dengan langkah limbung
kau bergegas ke kamarmu. Meninggalkan Kirana dalam kebingungan.
***
Dari ventilasi udara di pintu kamar sang Ibu, Kirana hanya melihat
gelap. Sungguh ia tak tahan
didiamkan oleh ibunya. Benarkah wanita paruh baya itu sakit? Kirana tak bisa bersabar lagi. Ia memutar
kenop pintu kamar ibunya dengan hati-hati, ia
tak mau membuat ibunya terkejut. Kamar sang ibu terasa hangat, hanya
lampu di atas meja yang menyala
remang-remang. Dengan perlahan pula, gadis yang wajahnya masih dihiasi
senyuman manis itu duduk di sisi ibunya yang terlelap
di atas sajadah, di samping ranjang,
masih lengkap dengan mukenanya.
“Bu, ibu kenapa jadi pendiam begini,” tanya Kirana, tapi
ibunya itu diam saja. Tanpa Kirana tahu, sebenarnya hatimu sedang berkecamuk. Kehadiran Kirana di kamarmu membuat kau terkejut
bukan main, tapi kau berusaha tak bergeming.
“Kenapa Ibu tidak lagi mengabsen lima waktuku, tak
memaksaku mengaji, atau sekedar menyuruhku mandi. Kurasa setelah
aku kembali, Ibu banyak berubah,
belumkah Ibu memaafkanku?” Kirana berkata dengan lirih, sementara
kau terus berpura-pura memejamkan mata sambil beristighfar. Sejak kemarin kau memang menghindari Kirana. Memutuskan untuk berpuasa dan berdiam diri dalam kamar, namun
hari ini Kirana malah menemuimu dan tak beranjak pergi juga, gimik pura-pura tidur yang
kemarin kau lakukan tidak membuat Kirana lantas pergi di hari ini.
Kirana bersandar pada tubuhmu seraya merengek memanggilmu
bagai anak- anak, “Ibuuu ”.
Desir angin mulai menebar
semerbak wangi Kirana di ruang
kamarmu.
Tubuhmu meremang
dan isi kepalamu tak tenang.
Kirana bersiap untuk mulai bercerita, sejak kecil, gadis itu
memang tak bisa menahan diri untuk tak bercerita padamu.
“Bu, aku pernah
bertanya kan pada Ibu apa itu cinta, dan kau tahu? Sekarang aku sudah menemukannya,” katanya semangat.
Kau diam. Mencoba mencerna maksud ucapan putrimu.
“Bu,
aku jatuh cinta, tidak kah kau ingin mendengar ceritaku?” Lagi-lagi
kau terus diam tapi kali ini otakmu lebih keras mencerna.
“Apa aku harus menjadi jamaah di majelis ta’lim agar ceritaku Ibu
dengarkan?” sambung Kirana,
merajuk, bibirnya manyun. Kau menyerah, beranjak dari posisi tubuh yang berbaring, kau duduk berhadapan dengan Kirana. Kirana pun menegakkan kepalanya yang sebelumnya
lesu.
“Baiklah,
siapa yang kau maksud cinta, Nak?” tanyamu hangat. “Tentu saja lelaki, Bu,” jawab Kirana semangat
lagi.
Ah, sungguh, hatimu pasti mulai ketakutan. Kirana
menyambung, “Ah, tapi aku malu
menyebut namanya. Kubuat pengibaratan saja. Karena ia suka memperlakukan seolah aku ialah bunga, ia akan kusebut… kumbang!” Tutur
Kirana malu-malu, ada warna
kelopak mawar pada lesung pipinya, kembang api seolah menyala-nyala di kedua bola matanya.
Kehangatan yang baru saja kau bangun membeku
sektika, ucapan Kirana membuatmu terkesiap.
“Mengapa kumbang, Nak?”
Kirana pun menjawab, “Kan kumbang yang suka pada bunga,
dimana ada bunga di sana ada kumbang. Kumbang mencintai bunga, begitu pun sebaliknya.”
Mendengar itu, kau terpukau. Mungkin seharusnya kau
bertepuk tangan keras- keras.
Benar-benar putrimu sudah jatuh cinta! Kau menatap tajam-tajam mata Kirana, sambil bercakap serius, “Bunga mencintai
kumbang, tapi kumbang mencintai semua bunga. Kumbang
hanya hadir barang sesaat, ia tak tinggal,
Kirana! Ia bahkan memperlakukan setiap bunga
dengan sama, Kirana!”
Mendengar penuturanmu Kirana menggeleng tak percaya.
“Kumbangku tidak begitu, Bu!” Kirana bersungut.
Kau tertawa –tawa yang aneh– lalu berseringai sembari
berdiri dan menghampiri jendela, kau singkap tirainya,
kau buka perlahan.
Kirana pun berdiri
memandangi punggungmu. Sambil
memandangi kuntum bunga di halaman, kau berkata, “Kumbang hanyalah kumbang, Nak, dimana ada nektar dalam bunga yang menawan, ia akan tertawan. Namun, begitu ia dapatkan nektar
itu, ia sesap hingga tandas, tanpa sisa, ia akan
berlalu. Berkelana lagi mencari nektar pada bunga lain yang memesona, yang
lebih harum”.
Kirana terlihat
menyesal mendengar ucapanmu,
ia menggeleng cepat.
“Kirana?” panggilmu. Kau
hampiri lagi putrimu. “Jangan bilang
kau sudah memberikan nektarmu?” Kau bertanya dengan gusar.
Giliran Kirana tertawa. “Ia telah menjelaskan padaku
tentang cinta, Bu, cinta yang aku teramat ingin ketahui, sesuatu
yang tidak pernah bisa kau jelaskan. Ia memberiku
cinta. Kami berbagi cinta. Apa
salah jika kuberikan semuanya?!” Jelas Kirana lantang
lalu kemudian ia meninggalkan
kamarmu dengan wajah merah api. Kata-kata
Kirana menyambar hatimu,
Bugg… ! Brakkk!!
Pintu menampar tembok,
memantul, berdebam lagi lalu tertutup
rapat. Sedangkan, sebuah luka
lama dalam hatimu, yang kau balut sekian lama hari ini teriris lagi, amat perih pelik kau merasainya.
Kirana. Putrimu itu telah meruntuhkan
cermin diri yang selama ini kau jaga
sebaik-baiknya. Cermin dalam matamu pun tak bisa kau tahan untuk tak jatuh
berkeping-keping.
Duh Gusti,
sosok wanita pendosa itu! Ia kembali, ia datang lagi, ia menjelma dalam diri putriku.
Terdenger alunan roda-roda tas koper beradu dengan lantai.
Dengan cemas kau keluar dari kamar
sambil menyeka air lukamu dan mendapati Kirana akan minggat lagi. Wajah anak gadismu yang semula merah api kini jadi pucat.
“Kirana cukup!!
Mau kemana lagi?”
“Kalau Ibu tidak suka pada kekasihku, maka Ayah harus
menikahkanku. Kata- katamu telah
membuatku ketakutan, Bu! Aku tidak mau kehilangan kekasihku, karena itu kumbangku harus kuikat, dan Ayah
satu-satunya orang yang harus membantuku menagkapnya,”
seru Kirana penuh harap.
“Tidak, Nak!”
“Apanya yang tidak?!!”
“Kau tahu, siapa
lelaki yang kau sebut Ayah itu?”
“Tentu aku tak banyak tahu, tapi aku hafal alamatnya, aku
melihatnya dari surat- surat di
lemari Ibu. Aku memang tak tahu Ayah di mana dan seperti apa, tapi aku akan mencarinya! Bahkan semua ketaktahuanku karena kau yang selalu menjauhkanku darinya!!” Sulut Kirana sambil mengacungkan jari telunjuknya di
mukamu, mata Kirana memancarkan
api. Semakin membakar hatimu. Gadis belia itu lalu melangkah menyeret kopernya. Hatimu bimbang, namun
Kuyakinkan kau kala itu. Kau berteriak sebelum
Kirana benar-benar melewati
pagar rumah.
“Dia bukan sebenar-benar Ayahmu, Kiranaaa!!” teriak kau akhirnya.
Langkah putrimu berhenti. Kau dekati gadis yang seketika
mematung itu, kau tatap dua bola mata
Kirana, ada bongkahan cermin di sana. Kau tatap tubuh Kirana yang gemetar, kau kembali temukan
cermin dan kau bisa melihat
dirimu di masa lalu padanya. Kau di masa lalu ialah si gadis
lugu yang membeli cinta dengan gunungan dosa, serupa Kirana.
“Apa maksudmu? Lalu siapa ayahku?”
Tanya Kirana memburu.
Kau berucap lebih lembut, “Jangan cari Ayahmu, Nak. Ayahmu
memang ada, tapi ia tidak akan ingat kita,
ia adalah pecinta bunga, dan bunga ada di setiap taman. Aku? Aku ini hanya salah satunya, Kirana. Mana mungkin ia akan
ingat padaku, apalagi padamu.” Kau biarkan Kirana mencerna apa yang sebenarnya terjadi, “Kau tahu mengapa
aku tak ingin kau bersama kekasihmu yang
kumbang itu?” Kirana masih menatapmu tanpa berkedip menunggu apa yang akan kauucapkan.
“Karena… Ayahmu juga seekor kumbang,” dengan bibir
bergetar, lolos juga kata-kata itu dari bibirmu.
Kaki Kirana terasa luruh. Ia terduduk sambil tersedu. Senja
yang kemerahan mulai menyingsing
perlahan. Petang hari tak lagi tenang. Tangisan Kirana bersahutan dengan kumandang azan magrib.
“Mari, Nak. Kita sucikan diri,” katamu. Dengan mata
berlinangan, kau bimbing Kirana
berdiri, aroma bunga di tubuh gadis itu tak terendus lagi, lenyap dibawa sesiut angin.
Di kota ini tak ada suara jangkrik
apalagi tonggeret. Tak ada juga suara kendaraan berlalu lalang, tapi petang itu
amat berang. Di kota ini banyak bunga dengan
kumbang yang mau punah, kota ini juga bukan gunung tapi ada banyak kabut
dan tabun. Ya, tabun-tabun dosa
berkelun-kelun membubung langit, setiap hari, dari petang ke petang.
~***~
Cilegon 2021 – Serang, 2022
Tentang Penulis
Roudhotul Jannah. Mahasiswi semester 5 Pendidikan Bahasa Indonesia
Untirta yang akrab disapa Rara ini
lahir di Cilegon, 3 Januari 2022. Tinggal di Jl. Sunan Kudus Link. Ciluit,
RT/RW 016/005, No.37, Kel. Deringo,
Kec. Citangkil Kota Cilegon. Aktif
berorganisasi di HMJ PBI dan UKM Belistra FKIP Untirta. Tahun 2021
menjadi juara 1 pada lomba Cipta
Cerpen Porseni FKIP dan Juara 1 Lomba Cipta Puisi Milpres Ikadiksi Untirta. Tahun 2022 menjadi Juara 2 Lomba
Artikel Islami Milad L-SIP FKIP Untirta. Dapat dihubungi
melalui surel roudhotuljannah375@gmail.com.