Kareksan Rayyan
‘dang tak dang tak
ning nong ning gung’
bocah kecil menghitung nyawa yang hadir bersama kepulan
dupa saat dalang memimpin ritual dan legenda. selepas matahari tenggelam ke
dalam matamu, kau pergi sembahyang purnama melewati jalan sunyi berhias kembang
melati. anak lanangmu berbaju hitam berselendang batik kawung, kau mengajarinya
menabur wangian, tangan menyembah di dada, sebelum ritual nini mengajarinya
mengenal kiblat yang suri.
doamu kandar lewat kemenyan: aroma sakau sekujur tembakau
menyembunyikan risau di dadamu, dari pohonnya yang tinggi berguguran sepi,
burung-burung yang bertengger di reranting umurmu berkicau tentang moyang dan
kelahiran kasih sayang. jika kau percaya: di rindang daunan itu arwah mereka
singgah di antara rayyan dan wangian.
seorang romo menutup langit dengan tabir waktu. kau akan
memulai pertunjukkan sebagai dalang: akulah wayangnya! maka orang-orang
begadang menyusun malam sembari menggelar hatinya yang jembar untuk menerima
wejangan jiwa yang akbar. para biyung mengantar anaknya menuju malam lewat
tangga nada gending dan kidungan:
‘tak lelo lelo lelo ledung
tak lelo lelo lelo ledung
tak lelo lelo lelo ledung
tak lelo lelo lelo ledung’
orang-orang yang setia padamu mengucap sepasang kalimat
paling sakral sebelum memasuki pendopo usia tiada kekal: kau boleh duduk di
pangkuan malam menyaksikan langit yang menyimpan catatan takdir paling wingit.
di seberang punden itu, gong yang berseteru dengan suaramu menjadi tanda bahwa
malam tengah dipentaskan, tubuhku dimainkan sesuai nasib di garis tanganmu, dan
orang-orang yang melempar wajahnya ke arahmu telah melihat sesosok cahaya. maka
mulailah lantunan kidungmu mengajariku makna cinta yang satu: gamelan kembali
merayakan keselamatan ruh moyang, suara sinden semakin sakral mengingatkanmu
pada segenap waktu yang berdetak di jantung biyung.
tangan nayaga begitu santun menabuh rindu sembari
mengiringi tembang laku dan kepak sayap angin menggugurkan bulu-bulu malam
pengibas banyak air mata dan luka dari orang-orang yang dikutuk cerita dan
dikorbankan demi legenda yang dicipta untuk merenungi semesta. kini, sebagai
jiwa yang kau dalangi, aku menari-nari serupa api untuk membakar kantuk. namun
dingin adalah isyarat yang muskil ditangkal: tubuhmu mulai susut dari suasana,
pun gemintang di langit seberang turut menyaksikan orang-orang pulang membawa
lengang di dalam batinnya.
Banyumas, Februari 2019
Muyen
pada mulanya adalah busung, kau kidungkan
sebising suara, terngiang dari dinding yang mengabadikan sebuah nama. di hari
kelahiran anak sulungmu setelah meruwatnya dengan seusap mantra yang kau terima
dari tangan tetua.
ketika memasuki lingkaran penjaga bayimu
nyenyak ditimang tanah lapang. di musim pandemi, tetap kau kurungkan ternak
bagi anak-anak. istrimu menyiapkan segala yang perlu ditanak sebagai tanda
pertama bagi sulungmu yang memilih menyusu.
“tanah tak memilih ibunya, wahai anakku. ia
tak mengubur rindu.” semua orang menatapmu bahagia saat tetua mengajarimu tawa
sebagai bekal yang kau bawa dari tanah yang melahirkanmu: dari ibu, air susunya
yang sejak awal mula membuat dunia menjadi ada.
Banjarnegara, 1 Mei 2020
‘Aji
barangkali mantra paling mujarab
tak lain tembang srengenge sore
disindeni nawangsari
diugemi wangi melati
kau musti percaya bahwa pencipta
akan mengubah cinta
lewat legit puji kenduri sakti
dan mayang ini:
manjing lakumu, kekasih
di tiap hidup ini
langgeng lakumu, kekasih
di tiap mati ini
Banjarnegara, 26 Juni 2020
Tentang Penulis
di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP), bermain-main di Komunitas Taman
Kecil, dan menjadi teman belajar di SD Muhammadiyah 1 Banjarnegara. Menyukai
kisah epos, suara gending, dan misteri dinosaurus. Buku kumpulan puisi
pertamanya Amaya (Hyang Pustaka, Januari 2023).