MEMELIHARA LAUT DALAM TUBUH
langit kota terkadang ungu terkadang
jingga
tetapi degup jantungnya selalu
serupa debur ombak
dan ia ingin duduk sama rendah,
berdiri sama tinggi
: “seribu pengkhianatan yang
engkau lakukan
tak ada artinya, tak akan membuatku kecewa!”
ia berjalan dari satu kota ke lain
kota memaknai arti hidup
yang getir dan berpeluh, yang
terkadang sunyi bagai belati
ia hadapi nyala api yang beringas
dengan senyum
ia tepis segala pukulan yang
mengarah ke jantung
ia akan tertawa sedalam apa pun luka
dan ia seujung kuku pun tak akan mau
kalah
: “ini tubuh telah terbiasa
dengan hempasan badai
tak perlu kelopak mawar apalagi kata-kata kering!”
ia memelihara laut dalam tubuhnya,
ia akan menelan
dengan gelombang siapa pun yang
menoreh tebing karang
: “menyingkirlah kalian bila
tidak ingin ditelan gelombang!”
ia terus berjalan dari satu kota ke
lain kota
kalau kalian memusuhinya, ia pasang
badan
tak ada kata kalah dalam kamus
hidupnya.
Jaspinka, 2021/2022
SEPANJANG JALAN BERKABUT TIPIS
sudah ia lupakan seluruh gores luka
di tubuh
ia sekarang tengah melangkah tegap
sepanjang jalan berkabut tipis
menangkap setiap kata yang
bergemeretak
dari sela rimbun daun
: “kesetiaan pada langkah sunyi
memelihara duri mawar
hingga batas langit
batu-batu kesabaran!”
gerimis bermesra cahaya lampu taman
sekelebat ia mengenangmu, weisku,
laut
dalam dada kian bergelora
dan sepanjang jalan berkabut tipis
ia ingin tidak menangis untuk sebuah
kerinduan
ia ingin tidak menyesal pada tubuh
penuh luka
ia ingin kepergiannya serupa cahaya
bulan sabit
yang diam-diam mengekalkan gelora
laut dadanya
: “pergilah untuk melunaskan
dendam!”
ia tidak ingin bersedih lagi.
Jaspinka, 2021/2022
PEREMPUAN YANG PALING HEBAT DI BAWAH
LANGIT
ia selalu membuka kelopak matanya di
puncak malam;
hingga azan subuh– diserahkannya
hati dan jiwanya kepada
yang maha segalanya— bibirnya rekah,
matanya berbinar-binar
: “aku sungguh berserah kepadamu ya
Allah, tubuh ini telah
terlalu banyak luka, peluk aku sekuat-kuatnya, sedalam-dalamnya!”
ia selalu melangkah anggun dengan
baju hijab panjangnya
ditebarnya senyum kepada orang-orang
di hadapannya
ia sembunyikan perih hati-jiwa
serapat-rapatnya
: “aku banting tulangku untuk sebuah
harga diri yang kupertaruhkan
aku ingin semuanya berakhir manis,
aku ikhlas jatuh bangun,
aku tinggalkan negeri ini—
bertahun-tahun bertualang sendiri
aku ingat betapa perih sembilu terus
mengiris seluruh jasadku
aku kehilangan sebelah buah hati dan
aku dilukai belahan jiwa
aku serupa sampah lemah tak berguna,
tak henti bercucuran airmata!”
tetapi perlahan ia bangkit, ia anyam
segala luka menjadi api
yang menyala membakar akar dan batang
dalam tubuhnya
ia bertarung dengan garis hidup yang
zigzag di tengah keriuhan kota
ia genggam bola cahaya yang
gemerlap, tetapi, tuhan, ia kembali jatuh
ke pelukan manusia setengah iblis,
ia kembali terluka sembilu
ia kembali berjalan sendirian, menata
puing-puing yang runtuh
ia terkalahkan hingga pernah
bermalam di balik jeruji besi
: “tetapi segala kepedihan dan
kepahitan hidup telah aku lupakan,
aku harus menjelma perempuan yang
paling hebat di bawah langit
aku bangun istana kecil untuk sisa
usiaku
aku ingin menemukan malaikat
bersayap pelangi yang
berhati-jiwa pualam dan tuhan,
izinkan, bunga dalam hatiku
mekar kembali, aku ingin bernyanyi
dan berpuisi sepanjang hari!”
Jaspinka, 2021/2022
MERAYAKAN RASA SAKIT
nyaris setiap malam
ia merayakan rasa sakit
pada sekujur tubuh
dengan suka cita
hingga tetes air mata
dijahitnya nganga luka
dengan sajak-sajak berdarah
dengan terus mendesiskan
nama-nama Kekasih
selama air mata tetes
ia tersenyum dan bernyanyi
: “sakit ini harus dirayakan
agar jiwa karang!”
nyaris setiap malam, ia merayakan
sembilu sunyi mengiris detak waktu
dianyamnya doa-doa
dengan air mata
ia tetap tersenyum
dengan baris-baris sajak jingga
dengan terus mendesiskan nama-
nama Kekasih yang indah
ia diam-diam merayakan rasa sakit
hingga haus lapar
hingga tak pernah tidur
hingga ngilu paling sembilu
hingga lebur detak waktu.
Jaspinka, 2021/2022
AKU MAU OASE
berulang-ulang
nyaris setiap malam senyap dingin dan bulan
tersangkut
di ranting pohon rambutan
engkau
datang mencebur ke bening kolam dalam kepalaku
:
“izinkan aku berenang seraya terus mengecup harum mawar!”
lalu
engkau benar-benar telanjang
melihat
bayang tubuhmu dalam kolam, ou, serupa serbuk edelweis
o
serupa sayap camar terluka, o serupa sepotong hati yang menyala
:
“hidup yang karang dihempas gelombang, betapa penuh lumut
luka-cinta!”
engkau
hanya bisa memohon dan meminta, tak pernah memberi
dan
seribu keinginan meruyak dalam kepala
:
“runduklah sekali saja, agar jiwa lapang!”
lalu
dirimu yang kerdil berjalan terhuyung-huyung
melewati
jalan berbatu dan berliku
dicarinya
oase untuk membaringkan seluruh sajak gersang
engkau
lalu menari berputar-putar mengelilingi oase
:
“aku mau oase abadi dengan air yang jernih!”
Jaspinka,
2021/2022
Tentang Penulis
Eddy Pranata PNP— adalah
founder of Jaspinka—Jaringan Sastra
Pinggir Kali, Cirebah, Banyumas Barat. Buku kumpulan puisi
tunggalnya: Improvisasi Sunyei
(1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di
Udara (2012), Bila Jasadku
Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak
Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi
dalam Puisi (2017),
Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019),
Tembilang (2021).
Puisinya juga disiarkan
di Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Media Indonesia, Indopos, Suara
Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Singgalang, Minggu Pagi,
Asyik.asyik.com., Pikiran Rakat, dll.