2024
Di Bukit Menoreh
Aku melihat lidah api
Menyala hingga di ubun-ubun Tidar
Paku Tanah Jawa itu
Sudah saatnya meludahkan rahasia
Menjilat-jilat cakrawala
Perut Ibu Pertiwi yang hamil tua
Menunggu detik-detik ledakannya
Kekuasaan yang mengangkangi
Adalah bara api yang bersenggama
Dalam sekam sunyi ini
Aku menyaksikan anak-anak bangsa
Bergumul dalam gelombang
duka-cita
Naga Sasra dan Sabuk Inten
Memancarkan cahaya ungu
Dari tempayan rahasia
Dalam pertapaannya yang purba
Nasi
Aksi
Narasi
Saling berlomba
Entah untuk syahwat yang mana
Di kaki Monas
Tercecer jutaan kata-kata
Terasing dan sia-sia
Terkucil dari kamus kemesraan dan
cinta
Senayan menggigil
Istana Negara terapung
Dalam keruh sungai Ciliwung
Jakarta menjelma taburan abu dan
badai jelaga
Akankah sembilan delapan terulang
kembali?
Orasi tanpa narasi
Reformasi tanpa nyala api
Revolusi sudah mati berkali-kali
Trotoar jalanan Batavia
Mendidihkan kesedihan seluruh
bangsa
Kolonialisme bertagar samsara
Demokrasi mati muda
Keadilan Sosial terlunta
Pendidikan terlantar di rawa-rawa
Aku bertanya padamu
Apa makna Sekolah Merdeka?
Kupetik puisi di putik embun
Mawar merah Indonesia Raya
Pada dawai biola
Kujeritkan lantunan doa
Inikah perjamuan terakhir
Atau asal-muasal cinta?
Gus Nas Jogja, 5 Januari 2023
HIZIB LATTO-LATTO
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucap istighfar
Kusimak gerak zaman ini
Dengan jantung berdebar
Tahun kembar telah berlalu
Kucatat hujan deras kematian itu
Dengan talqin di relung kalbu
Vaksin Pandemi berlalu
Kini datang latto-latto
Membentur-benturkan kedegilan
negeriku
Keras kepala dan keras kepala
beradu
Inikah penanda zaman itu?
Redupnya fajar akal-budi
Matinya rindu
Dan sunyinya kemanusiaan bangsaku
Hizib Latto-Latto ini kurangkai
Pada kering-kerontang ciptaku
Pada kering-kerontang rasaku
Pada kering-kerontang karsaku
Tuhanku
Selamatkan bangsa ini
Dari adu-domba
Membentur-benturkan sesama
Atas nama Agama
Atas nama Pancasila
Atas nama sakit hati diri
ini
Selamatkan negeri ini
Dari kejahatan bahasa
Sadisnya fitnah dalam kumuh
kata-kata
Manusia yang melalaikan akalnya
Selamatkan Indonesia ini
Dari kemaksiatan penguasa
Dari intelektual yang tumpul-rasa
Dari pemuka agama yang khilaf bin
lupa
Menjadi suri-tauladan umatnya
Dari mahasiswa yang beku
Dan kehilangan bara
Dari rakyat yang sekarat
Walau ditindas begitu lama
Robbana Dzolamna!
Robbana Dzolamna!
Robbana Dzolamna!
Tuhanku
Nyalakan apiMu dalam bait-bait
hizib ini
Hasbunnallahu Wani’mal Wakil
Amin!
Gus Nas Jogja, 7 Januari 2023
KALKULATOR NIKMAT
Telah kuziarahi pusar dunia
Pusat nikmat
Pasar maksiat
Titik-temu segala nafsu
Pohon-pohon Surga
Yang pernah dijamah Adam dan Hawa
Telah kurenggut kegadisannya
Telah kurengkuh keperawanannya
Mata Air Keabadian
Telah kutimba di sumur suci
Bermandi madu
Menyelami telaga anggur
Bintang-gemintang
memahkotai
Malam pertamaku
Telah kulepas busana pengantin
ini
Telah kutanggalkan segala
Yang melekat pada raga
Telanjang bersama
Belahan jiwa
Tuhanku
Nikmat dunia ini
Untuk siapa?
Berkali-kali kuhitung
Tak ada habisnya
Hingga kalkulatorku teler
Jutaan digit berbaris
Berderet-deret
Nikmat dariMu
Tak terhitung jumlahnya
Dalam ketelanjangan ini
Menggigil jiwaku
Meronta rinduku
Sukmaku mencari
NafasMu
Seribu tahun hidup pujangga
Hanya seujung kuku puisiku
Keindahan yang tak seberapa
Di simpul hikmah
Kuntum pun harum
Kupetik mekar teratai
Di bening telaga
Kutambatkan sujudku
Selama-lamanya
Sebait iman
Merawat jiwa
Meruwat syahwat
Mengantarku meregang nyawa
Aku dan puisiku
Adalah nikmat yang fana
Gus Nas Jogja, 9 Januari 2023
ALGORITMA NGGEDABRUS
Fir’aun laknatullah itu
Datang tiba-tiba dan menari di
mulutmu
Semesta pun bicara
Que Sera, Sera
Whatever Will Be, Will Be
Mendung menggelantung
Awan gelap menggelar
istighfar
Badai mendera dimana-mana
Lalu
Hujat lebat mengguyur negeri
Tapi kata maaf hanya bercipratan
di mikrofon saja
Entah kepada siapa
Keagungan hanya milik Tuhan
semata
Selincah-lincah lidah
Seindah-indah madah
Hanya Tuhan yang pantas dipuji
Berguru pada Imam Ghazali
Kupetik hikmah di kejadian ini
“Ketika engkau sedang
berjaya
Jangan pernah jumawa
Tetaplah berendah hati
Sebab hanya sepertiga manusia
Yang bertepuk dan memujamu!”
“Ketika engkau sedang jatuh
Dicaci dan diludahi
Tetaplah bertasbih
Perbanyak istighfar
Tegak-lurus mencari Ridla Ilahi
Sebab hanya sepertiga
manusia
Yang benar-benar
membencimu!”
Sepertiga manusia lainnya
Tak pernah peduli
Apakah kita akan terpuruk
Atau justru melayang tinggi
Kesambet Fir’aun
Dan Algoritma Nggedabrus
Mari kita akhiri
Hanya kepada Tuhan kita bermesra
diri
Memesrai seluruh penduduk bumi
Gus Nas Jogja, 20 Januari 2023
KHITTAH AGUNG ABAD KEDUA
Sesudah seratus tahun mengerami
telur emas Riyadlah
Membersamai pasang-surut nasib
umnat dengan Khittah
Saatnya seluruh Nahdliyyin
menatap tajam diri sendiri
Panji Satu Abad sudah
dikibarkan
Dirayakan dengan gegap-gempita
satu juta manusia
Pintu Abad Kedua telah dibuka dan
disalami
Janji rahmatan lil Alamin sudah
disemai
Nahdlatul Ulama kini menyapa
dunia
Satu Abad keprihatinan telah
berlalu
Waktu berdetak dalam labirin
ingatan
Di puing-puing peperangan melawan
nafsu dan nestapa diri sendiri
Sejarah hanya dipahat oleh
pemenang
Nahdlatul Ulama bertakbir menjadi
imam
Kusebut Khittah Agung Abad Kedua
Sebab kredo dan menifesto telah
ranggas di musim kemarau
Abad Kedua Nahdlatul Ulama
Kugali mantra sakti dari sumur
tua
Kutimba mata air kehidupan dalam
cawan suci para Pewaris Nabi Marwah keikhlasan yang berhulu di dasar samudera
Sebab jejak ulama adalah
keteladanan
Petarung kebangkitan yang berada
di garda terdepan kehidupan
Bacalah algoritma di kitab-kitab
tua
Akan kautemukan stilistika suka
dan duka di sana
Sayap-sayap doa yang hinggap di
jutaan kepala
Tumpukan bait-bait puisi yang
tetap tawakal mengerami telur takdirnya
Bermula dari badai kepongahan di
Negeri Hijaz
Saat Raja Saud yang malang
berdiri congkak atas nama agama
Manakala Wahabi mendikte paham
sesat beragama
Lalu membasmi jejak sejarah
dengan zalim dan semena-mena
Diotaki oleh imperium Inggris dan
kaki-tangannya
Berpayung doa Syaikhona Cholil
Bangkalan
Bertongkat restu dari
Hadratusyeikh Hasyim Asy’arie
Kyai Wahab Chasbullah merayakan
takbir di cakrawala
Lebih dari dua dasawarsa sebelum
Indonesia Merdeka
Para Ulama telah menggaris
khittahnya
Di bumi Nusantara
Kebangkitan Ulama adalah
darah-daging perjuangannya
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan
dikumandangkan
Para Pewaris Nabi itu bersatu
Merumuskan Piagam Jakarta
Lalu demi tegaknya kebhinekaan
dan daulat bangsa
Para Ulama rela mencoret tujuh
kata
Dua tahun sesudah rantai
penjajahan ditebas
Dan Proklamasi Kemerdekaan
menggelora
Syahwat kolonial tentara Sekutu
ternyata masih membara
Takbir santri-santri menggemuruh
di seantero Surabaya
Resolusi Jihad Sang Rais Akbar
memicu
Dan memacu perlawanan para santri
dimana-mana
Itulah kenapa kusebut NU digdaya
Saat Ibu Pertiwi memanggil
Manakala kemerdekaan dipenggal
kepalanya
Para Ulama bangkit dengan
jihadnya
Melawan penindas menjadi maklumat
perjuangannya
Pun ketika kebodohan mengepung
negeri
Para Kyai menjadi agen perubahan
Pesantren didirikan di seluruh
penjuru desa
Membaca dan menulis adalah
gerakan penyadaran melek kata
Iqra’ adalah nubuwah literasi
pada awalnya
Dalam pasang-surut berbangsa
Kaum sarungan itu terus
menyalakan api
Mengibarkan cahaya literasi
hingga di pesolok desa
Kebangkitan ilmu menyemarakkan
marwah manusia
Kini Abad Kedua memanggil
Resolusi Jihad di Abad Pertama
Menjelma Revolusi Jihad di Abad
Kedua
Perang suci melawan hawa nafsu
Perang terbuka melawan
keterbelakangan
Membasmi kebodohan
Mengenyahkan kemiskinan
Adalah narasi besar peradaban
Khittah Agung Nahdlatul Ulama
Adalah memanusiakan manusia
Pembebas umat dari jerat
keserakahan
Pembaharu dalam menaburkan rahmat
dan kebajikan
Nahdlatul Ulama menggendong dunia
Bermahkota Sembilan Bintang di
kepalanya
Mengepalkan tangan untuk menebar
kasih
Merengkuh cinta dari penjuru
semesta
Memesrai kehidupan lalu
memakmurkannya
Bumi dan seisinya dirawat dan
dikelola sepenuh jiwa
Pohon-pohon ditanam
Sungai-sungai dijaga
kebeningannya
Melestarikan bumi bagi Kedaulatan
pangan bersama
Nahdlatul Ulama menggendong dunia
Menggandeng kaum dzuafa dan
membahagiakannya
Membersamai fakir-miskin dimana
saja
Lalu mendigdayakannya hingga
sejahtera
Ulama-Umaro-Umat bersama
Bersatu menegakkan daulat bangsa
Berpegang teguh pada Tali Cinta
Pantang bercerai-berai dalam
merawat Indonesia
Gus Nas Jogja, 7 Februari 2023
Merayakan Pesta Satu Abad NU
H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.