Karya ini dibuat di atas kanvas berukuran 20×20 cm. Secara tipikal,
lukisan ini menggunakan teknik ekspresif. Selain menyukai seni,
Suci Wulandari, perempuan kelahiran Banyumas ini turut aktif dalam dalam
komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir dan Wadas Kelir Publisher. Sekalipun kini
ia masih berproses menyelesaikan pendidikannya, dengan mengambil jurusan Pendidikan
Islam Anak Usia Dini di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, tidak lantas
membuat Suci kehilangan kemampuannya di bidang seni rupa, khususnya lukisan.
Dibuktikan dengan lahirnya karya ini, ia dapat menunjukkan kepada kita
keterlibatan perempuan pada ranah seni.
Karya ini
bercerita tentang fenomena pertarungan anak sulung dan anak bungsu di Twitter. Suci
seolah-olah mendudukkan anak sulung sebagai sandwich generation. Sekalipun,
sebagaimana yang kita ketahui bahwa posisi sebagai anak sulung atau anak bungsu
tidak menentukan secara pasti kesengsaraan dan penderitaan. Karena tentunya,
baik anak sulung dan anak bungsu memiliki tekanannya masing-masing.
Sementara itu, jika
lukisan ini dikaji melalui simbol semiotika Charles Sanders Peirce, maka dapat
dilihat bahwa:
Visualisasi Simbol |
Ikon |
Indeks |
Simbol |
Penderitaan, kesengsaraan. |
Kedewasaan |
Tanggung jawab |
|
|
Keceriaan, bahagia. |
Tumbuh: usia. |
Tanggung jawab |
Dilihat dari
keterlibatan emosi tersebut, karya ini menggambarkan dua wajah, di mana pada
sisi kiri mencitrakan anak sulung dan pada sisi kanan mencitrakan anak bungsu.
Suci Wulandari pada konsep ini, mendudukkan peran anak sulung ke arah
“Penderitaan.” Digambarkan dengan mata dengan goresan warna putih. Selain itu,
idiom warna bercorak merah dan warna warna kecoklatan yang lebih pekat,
menunjukkan nilai penderitaan yang lebih, dibandingkan dengan kedudukan anak
bungsu, yang digambarkan lebih ceria.
Simbol dari
keterlibatan emosi ini ditekankan sekali lagi oleh Suci Wulandari pada gambaran
senyum, pada wajah anak sulung dicitrakan dengan bibir yang memutih, pucat dan
terkesan seolah-olah tidak tampak bahagia. Sedangkan bibir pada gambaran anak
bungsu, digambarkan dengan lebih ikhlas dan ceria. Tetapi apakah benar,
keikhlasan tersebut dikelola hanya melalui gambaran senyum pada sebuah lukisan?
Sampai di sini,
perlu diperhatikan bahwa Suci Wulandari juga meletakkan gambaran bunga-bunga
pada sisi wajah anak sulung, yang mana dapat dimaknai bahwa terdapat unsur
ketenangan, kedewasaan, dan keindahan. Singkatnya, Suci Wulandari masih
meletakkan keseimbangan di dalam konteks “Penderitaan” peran anak sulung dan
anak bungsu. Mengapa Suci Wulandari membuat gambaran bunga di dalam karya
tersebut? ini yang perlu kita perhatikan.
Selain dari pada itu,
tanggung jawab yang diterima oleh anak sulung dan anak bungsu menjadi bekerja
lebih efisien, ketika di antara keduanya tidak saling memperseterukan peran.
Pada akhirnya, lukisan ini dapat dijadikan sebagai gambaran emosi, sebagai
suatu kritik sosial terhadap peran dan tanggung jawab yang dipegang
masing-masing usia, untuk tumbuh dan menjadi manusia.
(Efen Nurfiana)
2000. Menyukai kucing dan bangunan-bangunan masa lampau. Saat ini, ia tengah
menempuh pendidikan S-1 dengan mengambil jurusan Pendidikan Islam Anak Usia
Dini di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Kesibukan lainnya antara
lain tergabung dalam komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir, Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban, dan Wadas Kelir
Publisher.