BURUH PEREMPUAN
Jutaan perempuan muda memburu
gerbang menghirup kebebasan dari
tembok dan waktu yang mencengkram
Wajahnya pucat setiap hari sembunyi
dari mentari
Matanya lelah dan merah. Delapan jam
tambah lembur memelototi benang, sepatu,
mesin jahit, chip elektronik, Boneka Barbie,
dan sejuta barang-barang pabrik
Begitulah, entah eksploitasi ataukah
eksplorasi. Para buruh perempuan muda itu
dipaksa melupakan dirinya, anaknya, dan
rumah tangganya. Dengan sejumput harapan
yang habis tiap akhir pekan. Kontrak mereka
kadang tanpa tanda tangan
Seperti itulah bangsa ini membangun
modernitas. Pucuk-pucuk bangsa dilupakan
tumbuh karena perawatnya dikendalikan
impian memabukkan. Bagai zat aditif yang
sukar dilepaskan, sedang para suami diam
rela tak rela dalam ketakberdayaan dan
harga diri yang dicampakkan.
Inilah potret buruh di negeri antah berantah
yang terlelap dalam pelukan kapitalisme,
sesekali menggeliat dan menguap tapi
tidak juga bangun, Kawan
Cianjur, 2017
*Pernah dibacakan di depan Ibu Gubernur Hj. Nety Heryawan
MUSAFIR DUKA
Sendiri bagai musafir
Mencari-Mu tak sampai-sampai
Jangan pergi raihlah hamba
Walau dungu pendurhaka
Sendiri bagai musafir
Bukan tersesat tujuan pulang
Silau cahaya dunia pukau
Termangu sering dalam galau
Rabbi
Kesunyian itu mawar
Durinya tajam menusuk jiwa
Harumnya mewangi surga
Musafir kelana
Duka-cita
Berdebu
menggapai-Mu
2018
DI KETINGGIAN SEPI
Mencari sampai di ketinggian
Semakin kecil dan menghilang
Menemukan di kedekatan
Diam hening tak beri jawaban
Tak kucari di kenyataan
Bayang hadir dalam impian
Tak peduli dalam hayalan
Tatap nanar dalam postingan
Seluas langit nan biru
Angin selalu merindu
Sepadat Bandung Utara
Sesesak penuh asmara
: Kalbu meriuh gemuruh
Rasa geletar sepi terdengar
Waktu terbentang panjang
Ruang kosong berdentang
15 Juli 2019
JIWA DAN RERUNTUHAN
Ada aku di situ, menemuimu dalam riwayat:
Rara Jonggrang dan Bandung Bandawasa
Mengapa nafsu mengalahkan cinta lalu
kebencian menjadi prasyarat tingginya harga diri
Hamparan cerita dalam legenda tanah purba
dari barat ke timur Indonesia, selalu berakhir
pada tajamnya kata; supata dan tradisi lisan yang
mengguncang jiwa persada dulu dan kini, atau bahkan nanti
Keelokan tanah leluhur jangan jadi reruntuhan
di atas kebencian. Penebusan cinta jangan jadi kutukan
Adu kekuatan jangan jadi alasan ego kekuasaan
Pada akhirnya semua hilang cuma kenang di keabadian
27 Maret 2018
HUJAN DAN KEBANGSAAN
Suara hujan setiap malam
menjadi nyanyi merdu melelapkan
alirannya membawa mimpi
tentang rindu yang melenakan
Sampai subuh hujan tak berhenti
kusimak rintiknya berubah-ubah
kadang bagai musik tak berkesudahan
jazz, rock, bahkan amuk underground
Keroncong hujan Bandung Selatan
di waktu malam terendam uga zaman
Putri Lenggang Kencana mendayung
sampan, berakhir entah sampai kapan
Rinai hujan kadang seperti cianjuran
membawa sukma di kesunyatan
tentang Pajajaran di tanah Sunda
hilang elok diterkam perebutan kuasa
Lalu aku menulis hujan
mengabadikannya dalam harap
merekam berkah Tuhan
esok lagu perjuangan kumandang
dalam kemenangan sebuah bangsa
~Indonesia tanah air hamba
Cigugur Girang, 090419
TENTANG HALUAN NEGERI
MARATON MENUJU ENTAH
Penyair itu selalu kesepian
Dipintalnya kata dalam diam
Lalu merajut kenang pada orang-orang,
peristiwa, dan lalu-lalang penderitaan
Dalam ingatan tumpah senyum masa
lalu atau kisah pedih dan harapan
tentang sawah yang semakin hilang
kerbau dan suling yang kian parau
ramah senyuman penduduk desa
dan petani yang semakin dihindari
Bila di sekolah belajar biologi tentang
produsen dan konsumen, kini semua
menjadi konsumen yang kapitalis
menjadi konsumen yang materialistis
menjadi konsumen yang hedonis
menjadi konsumen yang liberalis
kampung digusur menjadi kota
dengan petakan toko dan ruko
ketahanan pangan hanya cerita maya
hamparan tanah pusaka beralih tangan
berpindah empu lalu siapa memangsa
siapa. Aku tak tahu
Penyair itu selalu kesepian
Pintalan kata menjadi ladang yang
disuarakan tak berbilang. Membawa
apapun yang direnungkan tentang sebuah
negeri dalam rekaman masa dan apa yang
dirasa dan apa yang dimangsa dan apa
yang dilalui dan apa yang akan menjadi
Romantisme tak mampu melawan perubahan
Tetapi setidaknya mengingatkan apa yang
mesti dilakukan bagi sebuah bahtera raya
Tentang kedaulatan, cita-cita, dan tujuan
5 Januari 2019
AHIMSA MERAH DARAH
(Tragedi Pembantaian Muslim di India)
Begitulah ketika muslim dalam minoritas
Ahimsa dan dharma hanya ada dalam kitab suci
Upanishad dan Bhagavad Dita tertutup terkunci
Mereka yang berdarah-darah bertahan nyawa
tanpa janji. Terkurung terjebak untuk dihabisi
Negeri tua telah sampai di puncak renta, lupa masa
jaya peradaban tinggi dalam sejarah yang berputar
Kini tanpa undang-undang muslim dibiarkan negara
apa gerangan tak berikan perlindungan dan hak layak
hidup dalam kesejajaran?
Umat, masihkah ada ghiroh pada dirimu?
Di seluruh penjuru dunia saudara kita disakiti
Tanpa wali tanpa khalifah melindungi
Bercerai-berai bagai buih di samudera raya
Sungguh iman sebesar dzarah lebih berharga
dari ketawa
Bersatulah, wahai!
Bangkitlah, wahai!
Masih banggakah dengan nyanyian Kuch Kuch Hota Hai?
Juga gemerincing gelang dan lambaian sari yang
mengundang? Sungguh tertutup matamu bila demikian
Matikan televisi, film India yang sesungguhnya itulah: pembantaian
Ahimsa merah darah telah menyala, membakar nurani
dan kemanusiaan. Keadilan harus ditegakkan
Setidaknya dikumandangkan
Biar Sungai Gangga mendengar seru Mahatma yang
katanya sang pejuang, lalu arusnya melarung teror dan
radikal kemanusiaan. Mana jiwa agung tanpa kekerasan
yang diwariskan pada pengikutnya? Kebencian darinyalah
bermula
25 Februari 2020
WARNA RINDU
Ada rindu berwarna biru
bagaikan lautan yang dalam
berpalung dan berlubuk
berbagai ikan berenang
dan jutaan tahun mineral
minyak bumi kekayaan
Ada rindu berwarna ungu
bagaikan beludru yang dihampar
keindahan cahaya bersemu malu
kekuatan dan keyakinan ingatan
mendudu dan melulu tentangmu
juga cinta yang tak bertemu
Ada rindu berwarna kelabu
Ketika tangan tak bersentuh tangan
Bola mata tak bisa menatap mesra
Hanya kata berjalin kata di maya
yang tak berbatas dan berlimit
Lorong waktu serasa sempit
Ada rindu dalam buncah rindu
pada absurd yang merindu biru
dan harapan rindu memikat ungu
Tapi mengapa kelabu menunggu?
Mohon Tuhan, rindu tak bilur memilu
4 Oktober 2021
SELAMAT TINGGAL
Kali ini tak ada puisi. Telah kubenamkan rindu
bersama sendu dan kucabik rasa dengan
angin Oktober yang membawa butiran hujan
lalu singgah di antara musim yang tak pasti
Suara-suara meletup di hati kiri mengenang
panjang perjalanan harus dihentikan. Tak ada
guna, aku berhenti di ujung harap yang
meleleh saat kemarau: semua, enyahlah!
Cintaku halilintar; bencimu bukan tandingan
Temui saja langit yang akan bercerita bumi
atau sungai yang kembali ke lautan. November
akan tersenyum. Selamat tinggal kekasih waktu~
6 Oktober 2021
PEREMPUAN DAN RANTING KERING
Perempuan dan ranting kering
Di bawah langit biru dan hijauan hening
Membawa beban panenan pucuk teh
Ditukar senyuman dan kepeng sekeping
Matanya indah mengerling, hari itu dan
seminggu mendatang cemerlang bening
Perempuan dan ranting kering
Berpijak pada cerita leluhur dan sejarah
ihwal perkebunan. Secangkir keharuman
pada punggung perkasa dan pipi merah
merona. Lentik cekatan jari tangan juga
keramahan negeri Pasundan.
Perempuan dan ranting kering
Kiasan estetik bersemu halimun turun
Barisan Tuan Tanah; kecantikan Nyai;
para sinyo yang lahir tanpa identitas lalu
terlunta di kelas ketiga. Semuanya riwayat
panjang dalam seduhan teh penuh aroma
: menjadi tanda yang belum tentu terbaca
20 Nov 2021
Riwayat Penyair
CHYE RETTY ISNENDES, nama popular penulis dari Sukabumi. Lahir tanggal 02 Desember. Chye (dibaca: Ci’) menempuh pendidikan di: TK Kartini Nagrak, Madrasah Diniyah Kaum Nagrak, SDN V Nagrak, di SMP Muhammadiyah 8 Nagrak, dan di SMAN Cibadak. Chye kuliah S1 di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS IKIP Bandung (1993-1998), S2 di UGM Yogyakarta (2002-2004), S3 di UPI Bandung (2010-2013.) Chye bekerja di almamaternya; Prodi S1 Bahasa Sunda UPI (1999 – sekarang). Mengajar juga di Prodi S2 Bahasa dan Budaya Sunda, dan di Prodi Linguistik (S2, S3).
Berbagai penghargaan telah diterima oleh Chye berkenaan dengan karya sastra Sunda dan karya akademiknya. Diantaranya: Diploma dari Museum Seni Anak dan Remaja Oslo, Norwegia (1991), Hadiah Lembaga Basa & Sastra Sunda 1998 (1999), Hadiah Sastra RANCAGE dari H. Ajip Rosidi (2000), Hadiah Mangle (carpon dan sajak antara tahun 2000-2002), Hadiah Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda untuk cerita pendek Sunda (2007) dan untuk sajak Sunda (2008).
Buku sastranya yang telah terbit: Kidang Kawisaya (kumpulan sajak Sunda, Girimukti Pasaka-1999), Nu Nyusuk dina Sukma (kumpulan sajak Sunda, Daluang Press-2010), Jamparing (novelet Sunda rumaja, Wisata Literasi-2012), Handeuleum ‘na Haté Beureum (novel Sunda sawawa, Yrama Widya-2014), Dua Wanoja (kumpulan carpon Sunda, Kiblat-2014), dan Dongeng-dongeng Petingan ti Sukabumi (Yrama Widya, 2015).
Buku yang berhubungan dengan akademiknya adalah: Teori Sastra (Sonagar Press, 2009), Kajian Sastra (Wisata Literasi, 2010), Kamaheran Nulis Skenario (Sonagar Press, 2016, edisi revisi 2018), Perempuan dalam Pergulatan Sastra dan Budaya Sunda (Yrama Widya, 2017), Teori Sastra Kontemporer (bersama penulis Narudin dan Toyidin, UPI PRESS, 2018), Keutamaan Perempuan Dewi Sartika (Penerjemah, Situseni 2020), Kritik Sastra: LUTUNG KASARUNG dalam Ekofeminisme Sunda (UPI Pess, 2021).
Chye juga mengeditori buku, di antaranya: Lir Cahya Nyorot Eunteung: Cipta Sastra Warga Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Sonagar Press, 2009) dan Salikur Carpon PATREM (Pustaka Jaya, 2017), Surat Penting Pustakawati 50 Carpon PATREM (Pustaka Jaya, 2020), dan Bujangga Manik, Gunung Sembung, dan Hulu Citarum (2022).
Sehubungan dengan penelitian, topik yang diminatinya adalah seputar sastra, bahasa, alam, dan budaya. Penelitian yang pernah dilakukannya berhubungan dengan karya sastra Sunda klasik dan modern, juga ihwal flora Sunda, upacara adat, adat-tradisi-budaya, dan bahasa Sunda Baduy.*