MOMENTUM
HENING
Di dusun yang
sunyi ini
Aku harus
belajar mengeja sepi
Mengaji sunyi
Agar darahku
Mendesirkan api
Menuju titik
Lubang abadi
Itu gerbang
Bukan lengang
kerontang
Karena sunyi
Memikul ribuan
ton
Yang ditebarkan
pagi
Kudengar lolong
anjing
Yang melecut
bulan
Di rembang malam
Melecut searak
awan
Di atas malam
Bukit menggigil
merindukan sunyi
Saat sunyi
bersilang puisi
Serintis
seruling menyayat langit
Melahirkan
hening hakiki
Hening bulan
bukan yang dulu bukan yang nanti
Yang tak akan terulang
lagi
UNTUK PAK
SYAFI’I MAARIF
Di jantung danau
kusimpan hikmah
Matahari yang
berkaca pada permukaan air
Menerjemahkan
nafas yang terengah
Bahwa tak halal
rakyat merangkak
Saat songket
mengerling semarak
Saat
senyum-senyum merekah di seling suara mengakak
Yang tercecer,
dan berceceran
Di tingkat
lembah menurun
Bukan jejak babi
dan jejak anjing
Tapi huruf-huruf
buku sejarah
Yang berlarian
dan berserakan
Karena bosan
disimpan
Dalam tengik
perpustakaan
Puisi memang
harus merasa tersesat
Tapi di jalan
yang benar
Agar akar-akar
tetap menjalar
Serta menetapkan
keyakinan
Bahwa salah dan
benar tak boleh ditukar
Anak-anak
berlarian
Berlarian di
tepi danau
Mengejar layang-layang
kakeknya yang putus
Dan lenyap
ditelan awan
Padahal layang-layang
itu sudah lama hilang
Akibat perang
Padri
Tapi kenapa
barusan muncul
Apa harus
bertanya pada sejarah?
Sejarah paling
akan menjawab
Bahwa daun
berlembar-lembar di tepi danau
Dan daun
bertiras-tiras di bukit-bukit
Mengisyaratkan
hadirnya orang-orang berotot kawat
Yang merasa
benar di jalan sesat
Kalau orang itu
nanti datang
Kita jemput,
kita sambut
Kita mandikan
mereka di jantung danau
Agar mereka
percaya kepada kalau
Kepada isyarat-isyarat
yang samar
Bukan pada
kepastian yang melahirkan pedang
HATI YANG
BASAH
Satu saat orang perlu belajar
pada gemuruh,
Detak jantung dan tetes peluh
Yang tak bisa dihitung tak bisa
diseduh
Dan matahari, yang sudah lama tak
muncul
Akan menganggap gunung-gunung tak
lagi bisu
Orang-orang bersujud
Takbir susul menyusul
Syukur terwujud
Tahlil memantul-mantul
Inilah hidup yang dihargai,
diresapi
Oleh orang yang merasa diberi
hidup, dihayati
Meskipun ia telah mati
Langkah dan sujud tak akan basi
Tengoklah Hatta, tengoklah Hamka
Lihatlah Natsir, perhatikan
Syahrir
Di antara Hamka dan Syahrir
Banyak sekali daftar mengalir
Yang tak bisa dihapus banjir
Nama-nama yang telah menaksir
takbir
Dengan tinta dan penjara
Satu saat orang perlu mengeja
sejarah
Mengaji detak jantung dan tetes
darah
Kalau sejarah sejenis batu asah
Yang tajam adalah hati yang basah
DALAM LIPUTAN
KABUT
Di Aie Angek, rumah berkabut
Tapi bukan berkabung
Setengah bulan berturut-turut
Puisi hadir tak tertampung
Siapa tahu aku hanya pancuran
Bagi air menderu, bagi ruh alam
yang terkembang
Bagi hari-hari dan sejarah,
bergegas silau tapi harus dicatat meski penat
Harus ditulis, meski dingin
sangat mengiris
Dingin yang sembilu, dingin yang
mendesakkan kelu
Sesekali menderapkan harap
Seperti pemantik api yang kerling
gemerlap
Mengharamkan aku tiarap
Ke lembah air mengalir
Menyapa angin mendesir
Berdeburan jantung penyair
Setetes embun di ujung daun
Di sini terasa airmata ibu
Yang siap menjadi tinta menulis
pantun
Manisnya amboi, pahitlah madu
KAKEK BILANG
waktu terlipat, berlipat-lipat
tiba-tiba aku merasa tua
dengan buku-buku, jejak-jejak
senyum
yang tidak banyak dan tidak utuh
belum bercak-bercak yang tak
terbasuh
kakek bilang, mau menjadi orang
pandai
kita bisa berguru
bisa membaca dan bersahabat
dengan waktu
sampai keringat menjelma jalan
menjelma jembatan
tapi menjadi orang yang mujur
yang kita perlu tak cuma guru
tak cuma buku
di balik senyum dan waktu ada
hakikat senyummu
bukan bom tapi berdentum
ada yang seperti tidak teratur
tapi bertuju, dan menunjam
mencari yang tak terhitung tetapi
Satu
Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal, nasional, dan
internasional. Buku puisinya (1) Semerbak
Mayang (1977), (2) Madura, Akulah
Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk
Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku
Airmata (1985), (5) Celurit Emas
(1986), (6) Derap-derap Tasbih
(1993), (7) Berlayar di Pamor Badik
(1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang
(1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku
Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu
(1999), (11) Kujilat Manis Empedu
(2003), (12) Cinta Ladang Sajadah
(2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan
beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam
dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara
pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis
Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA)
Brunai Darussalam (Maret 2002). Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan
tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau
Madura. Pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan
penghargaan kepada dua budayawan dan dua sastrawan pada acara Kongres
Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron, atas kontribusinya sebagai
penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan kebajikan sastra dan religi ke
seluuruh Indonesia.